Ketua DPD RI Irman Gusman (dokumentasi dpdri.dream.co.id)
Keributan pemangkasan masa jabatan pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) masih menyisakan pertanyaan tak berjawab. Pertanyaan itu adalah: apakah memangkas masa jabatan pimpinan DPD dari 5 tahun menjadi 2 tahun 6 bulan merupakan pilihan yang sah menurut Undang-Undang Dasar 1945? Apakah pemangkasan masa jabatan itu dapat dilakukan melalui pembentukan tata tertib DPD yang baru?
Pertanyaan tersebut perlu dijawab agar DPD terhindar dari risiko parlemen terbelah. Meskipun belum maksimal berkerja, peran DPD diperlukan untuk “menutupi” kelemahan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang hanya bekerja demi partai. Membiarkan DPD terbelah dalam perebutan kursi pimpinan hanya akan merusak bangunan parlemen dua kamar yang saling mengimbangi (cheks and balances) sebagaimana dikehendaki UUD 1945.
Dasar Hukum
Bagi pimpinan DPD, pembentukan tata tertib baru yang mengatur pemangkasan masa jabatan pimpinan DPD bertentangan dengan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Pendapat pimpinan DPD itu seolah-olah perihal masa jabatan pimpinan diatur dalam UU MD3.
Padahal pendapat itu tidak benar. Faktanya, UU MD3 tidak mengatur batasan masa jabatan pimpinan DPD. Namun ketiadaan dasar hukum itu tidak hanya bagi pimpinan DPD saja. UUD 1945 dan UU MD3 tidak pula mengatur masa jabatan pimpinan MPR dan DPR.
Meski tidak diatur secara eksplisit, batasan masa jabatan pimpinan MPR dan DPR dapat ditafsirkan melalui Pasal 17 dan Pasal 87 UU MD3. Menurut pasal tersebut, pimpinan MPR dan DPR hanya dapat berhenti apabila memenuhi tiga kondisi berikut: (a) meninggal dunia; (b) mengundurkan diri; dan (c) diberhentikan.
Jika ketiga kondisi tersebut tidak terjadi, maka pimpinan MPR dan DPR tidak dapat diberhentikan sampai terpilihnya anggota MPR dan DPR yang baru melalui pemilu berikutnya. Dengan ketentuan tersebut, masa jabatan pimpinan MPR dan DPR tidak perlu diributkan.
Hal itu juga memperlihatkan bahwa pengaturan masa jabatan pimpinan legislatif pada UU MD3 bersifat timpang. Masa jabatan pimpinan MPR dan DPR dibatasi dengan tiga kondisi tersebut di atas, namun ketentuan seperti itu tidak diberlakukan bagi pimpinan DPD.
Jadi, tidak satu pasal pun dalam UU MD3 yang dapat dimaknai sebagai ketentuan untuk membatasi masa jabatan pimpinan DPD, baik bertugas hingga 5 tahun atau 2 tahun 6 bulan. Tanpa dasar hukum yang jelas dalam UUD 1945 dan UU MD3, pemangkasan terhadap masa jabatan pimpinan DPD dapat bersifat inkonstitusional.
Inkonstitusional pemangkasan masa jabatan pimpinan DPD itu semakin terasa ketika diatur berdasarkan tata tertib DPD yang baru. Tata tertib DPD hanya berkaitan dengan mekanisme pemilihan pimpinan berdasarkan Pasal 260 ayat (7) UU MD3. Pemangkasan masa jabatan pimpinan DPD bukanlah bagian dari konsep mekanisme pemilihan.
Tanpa dasar hukum yang tegas itu, keributan terkait pemangkasan masa jabatan pimpinan DPD harus dihentikan. Jika keributan itu berlarut, bukan tidak mungkin publik mulai gusar dan mempertanyakan kinerja DPD. Jangan sampai DPD berakhir sama dengan DPR: dianggap gagal mewakili aspirasi masyarakat.
Masa Jabatan dan Komunikasi
Dalam UUD 1945, satu-satunya ketentuan tentang masa jabatan berada pada Pasal 7 tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Presiden dan wakilnya hanya dapat menjabat lima tahun (untuk dua kali periode). Sepanjang Presiden dan/atau wakilnya tidak melanggar konstitusi berdasarkan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945, maka masa jabatannya tidak dapat dipangkas. Ketentuan itu disebut sebagai masa jabatan tetap (fixed term of office) yang dianut dalam sistem pemerintahan presidensiil.
Konsep masa jabatan tetap itu juga dianut Senat (baca: DPD). Bahkan untuk masa jabatan pimpinan Senat di Amerika, periodenya otomatis disamakan dengan berakhirnya masa jabatan kepresidenan. Hal itu karena pimpinan Senat (presiding officer) dirangkap langsung oleh Wakil Presiden.
Kondisi berbeda akan ditemui pada konsep masa jabatan pimpinan Parlemen dan Perdana Menteri di Inggris, Australia, Jepang, dan Kanada yang menganut sistem parlementer. Pada negara-negara tersebut masa jabatan pimpinan lembaga legislatif dan eksekutif dapat dipangkas jika partai pendukungnya mengajukan mosi tidak percaya.
Bagi Indonesia yang cenderung menganut sistem presidensiil yang mengedepankan stabilitas politik, pemangkasan masa jabatan pimpinan Lembaga Legislatif dan Lembaga Eksekutif tidak diperkenankan. Ketika sebagian besar anggota DPD berkeinginan memangkas masa jabatan pimpinannya, tindakan itu tidak hanya pertanda perubahan konstelasi politik di DPD tetapi juga sebagai upaya menggeser sistem pemerintahan. DPD harus menghentikan keributan itu sebelum dituduh menyimpangi UUD 1945.
Di sisi berbeda, keributan itu harus dimaknai positif oleh pimpinan DPD. Bukan tidak mungkin keributan itu berpangkal dari komunikasi politik yang berjarak antara pimpinan dan anggota DPD. Jika tidak ingin berumur pendek, pimpinan DPD harus lebih “membumi” dan tidak “bersolo karir” dalam menjalankan kewenangan seremonial kelembagaannya.