Ratusan angkutan umum jenis taksi diparkir di ruas jalan Semanggi saat melakukan unjuk rasa di kawasan Senayan, Jakarta, Selasa (22/3). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja.
Di Jakarta, urusan transportasi jadi urusan masing-masing. Yang kuat yang bergerak.
Penulis Andre Vltchek menyebut Jakarta sebagai kota fasis yang sempurna. Filsuf Slavoc Zizek mengingatkan bahwa dalam kapitalisme di sebuah kota, realitas tak terlalu penting, yang penting adalah pergerakan kapital.
Wajah privat menggila hampir dalam segala hal di Jakarta. Semua sudut kota menjelma menjadi karnaval gerai bisnis, mulai dari yang paling mewah dan menor hingga yang kumuh dan bacin.
Di mata banyak warganya, Jakarta seperti dibangun untuk memusuhi penghuninya. Kota didefinisikan oleh selera pasar dan bisnis. Warga tak punya kendali atas nasib dirinya dan kota. Apa yang disebut publik seperti tidak relevan dalam pembangunan kota. Orang-orang didorong menjadi konsumen untuk hal-hal yang seharusnya tersedia sebagai layanan publik dan menjadi tanggung jawab pemerintah.
Postur Jakarta dan kota-kota penyangga di sekitarnya, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, berpopulasi sekitar 28 juta orang. Membuatnya menjadi kawasan urban terbesar nomor dua di dunia setelah Tokyo – Yokohama. Jakarta sendirian saja berpenduduk kurang dari 11 juta orang. Kota terbesar nomor 4 di dunia sekaligus satu-satunya dari 10 megacity yang belum memiliki layanan transportasi publik terpadu.
Sebuah firma riset Frost & Sullivan merilis survei “Journey Experience Index” di 23 kota dunia, termasuk Jakarta, yang dilakukan pada September 2010 sampai Februari 2011. Hasilnya tak terlalu mengherankan: Jakarta terpilih sebagai kota dengan sistem transportasi terburuk di mata penggunanya.
Hasil studi Pemerintah DKI Jakarta 2012 menunjukkan luas volume jalan di Jakarta hanya 6,2 persen dari total luas lahan. Bandingkan misalnya proporsi ideal volume jalan di kota besar lain seperti New York, Tokyo, Singapura atau bahkan kota lebih kecil seperti Bogota, Curitiba, dan Kuala Lumpur yang rata-rata 15-20 persen.
Pertambahan volume jalan di Jakarta hanya 0,9 persen, sementara pertumbuhan kendaraan pribadi melonjak nyaris 10 persen. Warga dipaksa membeli kendaraan pribadi dan memaklumi buruknya transportasi publik. Setiap tahun muncul 1,3 juta kendaraan bermotor di jalan-jalan Jakarta yang sudah tak sanggup menampung, baik secara ruang maupun dampak lingkungan.
Tanpa perubahan radikal untuk mengubah kebijakan transportasi publik, banyak ahli meramalkan 2 hingga 4 tahun ke depan Jakarta akan mengalami gridlock: macet total. Ramalan itu tampaknya terlalu murah hati dari sisi waktu. Sebab, di banyak titik dan jam tertentu, kondisi macet total itu sudah terjadi sekarang ini juga.
Kerugian akibat buruknya transportasi publik di Jakarta, menurut Asosiasi Ahli Insinyur Universitas Indonesia di tahun 2011, cukup mencengangkan. Kerugian pemborosan energi Rp 11 triliun per tahun. Kerugian produktivitas yang terbuang Rp 10 triliun per tahun, kerugian kesehatan dan lingkungan Rp 6 triliun per tahun.
Laporan lain dari Infrastructure Partnership and Knowledge Center di tahun 2012 menyebutkan sekitar Rp 1 triliun telah keluar sebagai biaya pengobatan orang Jakarta akibat infeksi saluran pernafasan.
Kerugian sosial akibat buruknya transportasi kota yang diabaikan ini diperkirakan semakin besar. Tentu saja pada akhirnya hal ini akan memukul balik sebuah kota yang pola pikirnya selalu ingin mencari untung dari warganya.
Masalah mendasar sektor transportasi publik di Jakarta dan Indonesia secara keseluruhan terletak pada hilangnya apa yang disebut publik. Apa yang disebut urusan publik dalam praktiknya dikelola pemerintah dengan pola pikir korporasi yang cenderung pada logika untung-rugi. Padahal negara dan pemerintah punya kewajiban menyediakan layanan publik (PSO).
Studi di banyak negara maju, pemerintah kota lebih memilih mendahulukan manfaat sosial dan lingkungan dalam menyelenggarakan layanan publik seperti transportasi daripada sekadar keuntungan aksi korporasi bisnis. Artinya, pemerintah sadar betul ada manfaat lain yang harus dinilai selain keuntungan materi dalam layanan publik.
Newman dan Kenworthy di tahun 1999 menunjukkan bahwa ketergantungan sebuah kota terhadap kendaraan sungguh berisiko sangat mahal secara sosial dan lingkungan. Keduanya meneliti tak ada hubungan lurus antara kemakmuran sebuah kota dan jumlah pengguna kendaraan. Kota-kota Eropa, misalnya, cenderung paling makmur di dunia, namun pengguna kendaraan pribadinya hanya setengah dari pengguna kendaraan pribadi di Amerika Serikat.
Kota-kota makmur seperti Hong Kong, Tokyo, dan Singapura 10 kali lebih besar pendapatan per kapitanya daripada Bangkok, Jakarta, Seoul, dan Beijing. Namun, pengguna kendaraan pribadi per kapitanya jauh lebih rendah.
Banyak kota besar dunia menaruh sebagian besar kemakmurannya untuk membangun infrastruktur transportasi publik yang bagus. Hasilnya tak membuat kota menjadi miskin. Studi Newman dan Kenworthy menunjukkan semakin besar sebuah kota berkomitmen membangun transportasi publik yang bagus, semakin kecil pengeluaran kota untuk ongkos sosial dan lingkungan.
Kota dengan sistem transportasi publik yang bagus, menurut mantan Wali Kota Curitiba Jaime Lerner, adalah solusi terhadap perubahan iklim, produktivitas, dan kesehatan. Argumentasi Lerner sederhana: 75 persen emisi kendaraan sangat terkait dengan tata kelola kota. Melalui sebuah konsep kota berkelanjutan, solusi atas masalah lingkungan dan sosial akan terjawab lebih cepat.
Jakarta dan Indonesia tidak perlu harus terobsesi menjadi seperti Copenhagen, Seattle, dan Sydney yang berdasarkan survei adalah kota dengan sistem komuter terpadu terbaik di dunia. Atau seperti Singapura yang terbaik di ASEAN. Indonesia hanya perlu meniru Bangkok.
Bangkok bukan kota yang sempurna, namun sudah memulai membangun transportasi massal yang serius. Seperti Jakarta, Bangkok tumbuh menjadi kota besar pusat ekonomi, pemerintahan, dan pariwisata di ASEAN. Jumlah penduduknya setengah penduduk Jakarta, tapi dengan intensitas kenaikan yang sangat cepat.
Pemerintah Metropolitan Bangkok dengan komitmen kuat berhasil membangun jalan, jalur kereta layang, kereta bandara, busway, dan kereta bawah tanah. Semuanya berhasil dilakukan dengan sebuah tujuan: melayani publik, bukan membisniskan warganya.
Jakarta sangat bisa meniru Bangkok dengan cepat dalam seluruh aspek teknis dan skema pendanaannya. Tapi Jakarta harus memulai dari sebuah komitmen untuk mendahulukan kepentingan publik daripada keuntungan kapital dalam layanan publik.
Pembangunan Jakarta yang gemerlap dan menor selama ini lebih dibentuk oleh hasrat bisnis dan selera privat. Wajah lain Jakarta dari aspek publik, terutama tranportasi, sebenarnya sangat berantakan. Kita perlu mendengarkan kata Enrique Penalosa, mantan Wali Kota Bogota: “Kota yang maju bukan tempat orang miskin punya mobil, melainkan tempat orang kaya memilih menggunakan transportasi publik.”
* Laporan Utama majalah The GeoTIMES Vol. 1 No. 20, 11-17 Agustus 2014