Wacana jilbab kembali mengemuka belakangan pasca wawancara Ibu Dr Sinta Nuriyah bersama Deddy Corbuzier di channel Youtube-nya. Pernyataan ibu Sinta tentang jilbab kemudian menjadi hidangan lezat warganet untuk dikomentari ramai-ramai.
Pada umumnya wacana terpolarisasi menjadi dua kubu. Pertama, penghujat yang tanpa beban mengkritik (lebih tepatnya sih mencaci-maki) Ibu Sinta. Cacian yang seakan-akan absah karena banyak ayat dan hadis yang ditempelkan di situ.
Sebenarnya sangat ironis, kritik tanpa adab bersanding dengan kesucian ayat; hanya warganet kita yang ahli dalam bidang ini. Maka keluarlah label-label miring yang dilekatkan kepada beliau.
Kedua, wacana yang mencoba menjelaskan duduk perkara tentang jilbab. Yang kedua ini perputaran idenya lebih rumit. Sekian literatur dilampirkan untuk dibaca benar-benar. Ingat, dibaca benar-benar. Soal membaca saja bangsa ini sudah mengalami masalah. Apalagi membaca dengan mendalam.
Ayat al-Qur’an yang secara eksplisit menyebutkan jilbab adalah Q.S. al-Ahzab: 59, dalam rangka memahami ayat ii, terdapat tiga term yang perlu ditinjau terlebih dahulu. Pertama, jilbab. Istilah ini menunjuk pada pakaian yang lebih kecil dari jubah tetapi lebih besar dari kerudung atau penutup wajah.
Ia diletakkan wanita di atas kepala dan terulur kedua sisi kerudung itu melalui pipi hingga ke seluruh bahu dan belakangnya. (Ibn Asyur, 1984: 106) kedua, adna an-yu’rafna (lebih mudah untuk dikenali). Dengan identitas jilbab yang dipakai, hal itu menjadi penanda identitas tertentu yang membedakan dengan identitas lainnya.
Ketiga, fala yu’dzayn (sehingga tidak disakiti). Frase ini memuat tujuan utama jilbab, yakni setelah memakai identitas jilbab, tujuannya adalah agar tidak menjadi objek kejahatan (M. Quraisy Syihab, 2005: 320)
Imam as-Suyuthi dalam ad-Durr al-Mantsur menyebutkan riwayat dari Ibn Sa’d bahwasanya ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa kejahatan yang dialami oleh para perempuan di Madinah di masa ayat ini turun (as-Suyuthi, 2003: 141).
Para hidung belang menargetkan perempuan-perempuan yang keluar di malam hari untuk buang hajat. Sebenarnya para bandit kurang ajar ini hanya menargetkan para budak perempuan yang merupakan kelas perempuan paling rentan mengalami kejahatan.
Hanya saja, pakaian antara perempuan merdeka dan budak tak ada bedanya, sering kali kejahatan jalanan ini juga menelan korban para perempuan merdeka. Maka ayat ini kemudian turun memerintahkan istri-istri nabi dan para perempuannya orang-orang mukmin untuk memanjangkan jilbab sebagai identitas agar gampang dikenali dengan tujuan menghindarkan dari kejahatan para hidung belang.
Ibn Asyur dalam at-Tahrir wat-Tanwir menyebutkan sejatinya jilbab sudah menjadi identitas para wanita muslim merdeka ketika itu. Jilbab ini digunakan ketika bepergian di siang hari. Hanya saja kalau malam hari para perempuan ini tidak mengenakan jilbab, sehingga menyerupai identitas perempuan budak. Akibatnya ketika malam hari, kejahatan bisa saja menimpa para perempuan ini karena kesamaan identitas pakaian yang dikenakan (Ibn Asyur, 1984: 107).
Identitas jilbab inilah yang kemudian secara efektif menghindarkan para perempuan muslim dari kejahatan jalanan. Identitas ini meneguhkan kewibawaan dan kehormatan perempuan. dengan adanya simbol tersebut, para perempuan muslim mengidentifikasi dirinya sebagai perempuan terhormat yang membuat para pelaku kejahatan berpikir dua kali untuk menargetkan mereka sebagai korban kejahatan. Dari uraian singkat ini, jilbab bisa didudukkan sebagai identitas kehormatan.
Nilai etik dari identitas kehormatan jilbab adalah bagaimana menjaga seorang Muslimah dari kejahatan-kejahatan yang mungkin terjadi pada dirinya di masa itu. identitas ini tampaknya efektif, karena disebutkan bagaimana para hidung belang masa itu memang sebenarnya hanya mengincar para perempuan budak, yang mereka tidak diwajibkan memakai jilbab (as-Suyuthi, 2003: 141).
Selanjutnya, jilbab ini kemudian menjadi identitas formal perempuan muslim, diatur dalam kitab-kitab mazhab fikih, dengan aturan teknis panjang, lebar dan cakupannya.
Benturan wacana antara Ibu Sinta Nuriyah dan para pengkritiknya bergerak di dua level. Level pertama adalah perang narasi hukum positif dan fikih. Dalam wacana fikih klasik hingga modern, soal model jilbab bergerak dinamis. Ada yang mengidealkan menutup seluruh bagian tubuh, kecuali mata dan telapak tangan. Ada pula yang lebih longgar dalam menetapkan ketentuan bagian tubuh yang harus ditutupi.
Hal itu bergerak sesuai dengan konsep aurat yang disepakati untuk ditutup. Kedua, wacana tujuan syariat (maqasid syariah) jilbab berupa meminimalisir terjadinya kejahatan. Level ini lebih esensial daripada yang pertama. Hal ini dikarenakan ia berbicara tentang substansi interaksi kemanusiaan sebagai tujuan ditetapkannya sebuah ketentuan.
Ibu Sinta Nuriyah bergerak di level kedua yang lebih substantif. Karena kriminalitas dan kejahatan adalah gejala yang tidak bisa dihindarkan dalam ruang sosial, maka beliau mencita-citakan kehormatan kemanusiaan -terutama perempuan- yang bersih dari segala tindak kejahatan.
Perang terhadap kriminalitas adalah perang yang tidak pernah selesai. Bentuk kriminalitas terhadap perempuan terus berevolusi sesuai perkembangan zaman. Sehingga penanganannya tidak serta merta memakai satu bentuk mutlak. Konsepsi jilbab sebagai benteng kaum perempuan dari tindak kekerasan tentu perlu dikonstruksi lebih lanjut agar ia menjadi lebih efektif dalam menanggulangi kemungkinan kejahatan.
Terjebak dalam satu konsepsi tanpa mengindahkan tujuannya justru akan menjerumuskan kita pada kejahatan yang lebih canggih. Pemaksaan pemakaian jilbab terhadap perempuan justru kini adalah salah satu bentuk kriminalitas itu sendiri.