Menteri Luhut Panjaitan menyebut Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris, akan menjadi dewan pengarah pembangunan infrastruktur ibu kota baru. Blair akan didampingi Pangeran Muhammad bin Zayid al-Nahyan dari Uni Emirat Arab dan Masayoshi Son dari raksasa investasi Jepang Softbank Group.
Pembentukan dewan pengarah itu berkaitan dengan investasi di ibukota baru. Pemerintah Uni Emirat Arab, kata Luhut, telah menyiapkan dana sebesar USD 22,8 miliar (Rp 310 triliun) untuk proyek itu. “Ini kesepakatan investasi dari Timur Tengah terbesar dalam sejarah Indonesia,” kata Luhut.
Menteri Bappenas Soeharso Monoarfa mengatakan, masuknya “tokoh terkenal dunia itu” dalam dewan pengawas akan memikat lebih banyak investor internasional untuk ikut gerbong membangun ibukota baru.
Tapi, bagaimana reputasi Blair dan apa hubungan dengan investasi Emirat Arab?
Bagi mereka yang mengikuti dunia investasi Timur Tengah, nama Tony Blair tidak asing. Inilah mantan politisi top dunia yang belakangan jadi konsultan dan pelobi bisnis kaya raya.
Tony Blair adalah konsultan bisnis Mubadala, pengelola dana abadi (sovereign wealth fund) yang bermarkas di Abu Dhabi, Emirat Arab. Mubadala berinvestasi di berbagai belahan dunia, dari Vietnam, Serbia, Colombia, Asia Tengah hingga Afrika Barat.
Blair mundur dari jabatan Perdana Menteri Inggris pada 2007 setelah membuat pengakuan bahwa perang Irak yang dia dukung didasarkan pada dalih palsu (Saddam Hussein tak punya senjata pemusnah massal seperti dituduhkan Amerika).
Pada 2008, dia membentuk Tony Blair Associate, perusahaan konsultan gado-gado: semi komersial, semi charity/keagamaan dan semi publik. Menyusul sejumlah skandal, perusahaan itu dia bekukan pada 2016, dan di-re-branded dengan nama baru: Tony Blair Institute for Global Change.
Meski menyebut Saddam diktator, Blair tidak sungkan menjadi penasehat rezim militer brutal dan sultan-sultan Arab yang tidak demokratis.
Setelah mundur dari kursi perdana menteri, Blair sempat terpilih menjadi utusan khusus (special envoy) untuk perdamaian Timur Tengah, jabatan yang jelas tak netral mengingat dia adalah anggota Labour Friends of Israel, kelompok pelobi pro-Israel.
Bagaimanapun, jabatan itu dia manfaatkan untuk membangun konsultasi bisnisnya, mengambil keuntungan dari dua sisi, Arab maupun Israel.
Memanfaatkan reputasi sebagai PM Inggris terlama, Blair menjadi konsultan dan penasehat baik negara-negara pemberi investasi (seperti Kuwait, Qatar dan Emirat Arab) maupun penerima investasi (seperti Kazakhtan, Azerbaijan dan Mesir).
Blair tahu benar memanfaatkan reputasinya sebagai PM Inggris terlama untuk menangguk keuntungan dari dua sisi, tanpa mempertimbangkan adanya konflik kepentingan.
Media di Inggris, termasuk the Financial Times, sudah banyak membeberkan sepak terjang Blair. Dan pada 2016, terbit buku yang lebih menyeluruh: “Blair Inc – The Power, The Money, The Scandals” (John Blake Publishing Ltd).
Bagaimana prospek Blair di Indonesia?
Di Mesir seperti di Indonesia, Blair menjadi penasehat Presiden Abdul Fattah al-Sisi dalam menarik investasi Arab Teluk, antara lain untuk membangun ibu kota baru Mesir.
Pada 2015, Emirat Arab berkomitmen menggelontorkan USD 43 miliar untuk proyek ibu kota baru itu. Tapi sampai sekarang, realisasinya belum beranjak jauh akibat tawar-menawar alot antara investor dan pemerintah Mesir.