Belakangan ini, masyarakat Indonesia terutama di Jawa Timur ramai membicarakan isi surat edaran Majlis Ulama Indonesia Jawa Timur (selanjutnya: MUI Jatim) mengenai himbauan agar umat Islam menghindari pengucapan salam lintas agama dalam sambutan-sambutan resmi acara kenegaraan maupun lainnya.
Itu artinya seorang Muslim yang kebetulan menjadi pembuka maupun penyampai sambutan atau pidato pada acara-acara resmi, dihimbau untuk tidak menambahkan ungkapan salam dari berbagai agama lain kecuali yang telah diajarkan oleh Islam, baik pemeluk agama bersangkutan ada didalamnya maupun tidak, hal ini menurutnya demi menjaga kemurnian akidah seseorang.
Meski bukan produk fatwa yang cenderung ‘mengikat’ secara teologis, himbauan tersebut, tetaplah mengandung hal-hal yang bersifat problematis yang patut diperhatikan, terutama dalam konteks kehidupan beragama dan bernegara di era modern ini.
MUI Jatim dalam edarannya menyebutkan, bahwa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, menuntut adanya prinsip toleransi yang jelas. Sehingga terdapat ketentuan dan batasan tegas yang perlu diperhatikan oleh seorang muslim dalam berkomunikasi dan berinteraksi.
Pada kasus ini misalnya, seorang muslim saat menyampaikan ungkapan pembuka dalam acara resmi tertentu cukuplah dengan ungkapan “Assalamualaikum” saja, tanpa perlu menambahkan salam dari agama lain yang digunakan oleh pemeluknya, seperti ungkapan “Namo Buddaya” oleh umat Budha, “Om Swasti Astu” oleh umat Hindhu dan ungkapan-ungkapan lain dari berbagai agama.
Pendapat seperti ini muncul dari argumentasi -MUI Jatim- bahwa salam adalah bagian dari doa, dan doa adalah ibadah, oleh karenanya tidak boleh terjadi pencampur adukan dalam ibadah.
Disamping itu, pengucapan salam lintas agama yang sering kita dengar itu disebut sebagai perbuatan baru yang dibuat-buat, atau bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi atau setidaknya oleh ulama-ulama Islam awal (salaf).
Lalu pertanyaannya, bagaiamana dan darimana pendapat eksklusif seperti ini muncul di tengah kemodernan dan kebhinekaan kita?
Kalau kita cermati, sebetulnya banyak dari berbagai instansi keagamaan yang kita miliki di Indonesia -termasuk dalam hal ini MUI Jatim- masih berpijak pada “nalar fikih” abad pertengahan dalam bersikap, dimana setiap individu dipandang secara lain, atas dasar orientasi keyakinan, jenis kelamin dan kasta sosial budak-tuan.
Sehingga produk hukum fikih atau pendapat apapun yang lahir, baik itu menyangkut relasi seorang muslim dengan non-muslim dibangun atas dasar pola nalar yang problematis seperti ini, dan hasilnya hampir bisa dipastikan akan problematis juga.
Padahal saat ini kita sudah berada di era modern, dimana setiap individu disatukan dan diikat dalam suatu wadah yang disebut negara bangsa, individu-individunya disebut warga negara, yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Atas dasar ini, seorang pemimpin muslim di Indonesia baik itu bupati, gubernur, maupun presiden yang mengayomi rakyatnya dari beragam agama, dituntut untuk dapat berlaku dan bersikap adil dalam komunikasi, tanpa harus merasa terganggu keimanannya -misal- saat mengadopsi ungkapan salam dari agama tertentu, jika itu tujuannya untuk penyamaan hak setiap warga negara.
Selain itu, pendapat yang dibangun atas “nalar fikih” abad pertengahan seperti ini sudah tidak relevan untuk kehidupan modern saat ini, karena konteks yang berbeda, dimana dahulu seseorang tidak disatukan dalam ikatan warga negara seperti sekarang ini.
Dan sebetulnya ada banyak hal dari produk fikih klasik yang seharusnya ditinjau ulang atas dasar kenyataan ini, agar fikih sebagai bagian dari sistem aturan kehidupan seorang muslim mampu beriringan dengan perkembangan zaman.
Disamping tidak ada kemajuan dalam beragama, penulis melihat pola nalar seperti ini justru akan membahayakan kehidupan warga negara dimasa mendatang jika terus dipertahankan, karena sikap diskriminatif atas dasar keyakinan jika terus dibiarkan, lama kelamaan akan memupuk fanatisme, ketidaksukaan pada “lian”, lalu bukan tidak mungkin akan menyulut kekerasan dalam kadar dan kondisi tertentu.
Argumen yang menyebutkan bahwa makna ungkapan salam adalah doa, sehingga tidak boleh dicampur dengan salam dari agama lain adalah sesuatu yang menurut penulis sangat berlebihan, kaku, ekslusif dan sangat tidak sensitif terhadap yang lain.
Berlebihan karena pandangan seperti ini tidak lebih dari sebuah kegagalan meletakan suatu hal pada tempatnya; mana yang seharusnya disebut ibadah dan mana yang sekedar sikap sosial dalam berinteraksi satu sama lain (mu’amalah).
Kita bisa saja sepakat bahwa makna yang terkandung dalam ungkapan salam adalah doa, akan tetapi tidak bisa serta merta kita putuskan bahwa seorang muslim yang menyebut salam dari agama lain berarti dia sedang melakukan ritual doa tertentu dari agama tertentu.
Sebab yang dilakukan oleh seseorang itu sebetulnya-terutama oleh pejabat publik-tidak lebih dari sekedar sikap toleransi dan adil dalam bersikap, yang menjadi konsekuensinya sebagai pejabat publik yang menaungi beragam pemeluk agama.
Penegasan seperti ini perlu agar seorang muslim tidak cenderung kaku dan ekslusif dalam bersikap, dan menganggap hal-hal yang sebetulnya sekedar bagian dari kewajaran dalam berinteraksi sosial, karena sedikit bersentuhan dengan sesuatu yang bersifat agama, maka serta merta dianggap bagian dari ibadah seutuhnya, seperti kasus diatas.
Bila pola nalar seperti ini dijadikan pijakan secara terus menerus, banyak fenomena serupa di Indonesia yang sebetulnya tidak lebih dari sekedar bentuk toleransi dalam ranah interaksi sosial (mu’amalah), ditarik ‘secara paksa’ ke ranah ibadah, akan menjadi persoalan kerukunan yang tidak lagi sederhana, bukan?
Kita ambil satu contoh lain misal, pengiriman karangan bunga sebagai bentuk simpati atas berita duka, maupun ungkapan kegembiraan atas berita bahagia, kita tahu bahwa kalimat yang tertuang dalam karangan bunga adalah doa-doa pengharapan yang baik, dan itu sudah umum dilakukan baik oleh seorang muslim ke kolega non-muslimnya maupun sebaliknya.
Bila konsisten dengan pola nalar di atas, kebiasaan umum saling mengirim karangan bunga pada momen-momen tertentu seperti di Indonesia, lagi-lagi akan menjadi persoalan baru yang tidak sederhana, bukan?
Dan banyak lagi contoh lain menyangkut fenomena umum berkaitan dengan interaksi seorang muslim dengan non-muslim di Indonesia yang tidak seharusnya dilihat dari pola nalar atau kacamata fikih klasik, karena memang perbedaan konteks yang signifikan.
Dalam ilmu ushul fikih (metode pengambilan hukum islam) ada kaidah yang terkenal berkenaan dengan ini, yang berbunyi taghayyara al-hukmu bi taghayyuril azminati wal amkinati wal ahwali, yang berarti hukum itu berubah berdasarkan perubahan waktu, tempat dan kondisi.