Hari ini, 9 Desember, adalah hari istimewa. Ada sebagian dari kita merayakan Pilkada Serentak, dan sebagian lagi sedang menyemarakkan Hari Anti-Korupsi Sedunia. Tentu saja saya adalah bagian dari yang menyemarakkan Hari Anti-Korupsi Sedunia. Sejauh saya belajar tentang ilmu politik, makin ke sini saya merasa pilkada/pemilu makin tidak menjadi solusi. Rasa-rasanya nyaris seperti rutinitas belaka.
Refleksi yang saya ajukan adalah: kunci utama bukan di pucuk pimpinan saja, tapi juga di tingkat rakyat sendiri. Andaikan posisi rakyat kuat, siapa pimpinannya juga akan baik hasilnya untuk rakyat. Namun, sebaliknya, seorang pimpinan yang terlampau kuat, rakyat hanya menjadi bulan-bulanan dari ragam kebijakan yang menyengsarakan.
Kali ini saya hendak menyinggung relasi antara korupsi dan sumber daya alam. Tak banyak yang menyinggung keterkaitan masalah ini, meski bukan tidak ada. Pada 18-20 Mei 2015 lalu, saya pernah mengikuti acara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan rangkaian kegiatan koordinasi dan supervisi (Korsup) sektor mineral dan batubara (minerba). Bersama kawan-kawan lain dalam Koalisi Anti Mafia Tambang, kita menemukan kenyataan mencengangkan dari sektor minerba dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam kegiatan bertajuk membangun “Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam” tersebut, dibeberkan kenyataan bahwa dari empat provinsi di Jawa saja, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta, tercatat sekurang-kurangnya 33.888,23 hektare dari luasan izin usaha pertambangan (IUP) berada di kawasan hutan lindung maupun hutan konservasi. Masih di empat provinsi tersebut, hampir 50% IUP berstatus tidak clear and clean (non-CNC). Kenyataan yang jauh lebih parah adalah 95% para pemegang IUP tersebut sama sekali tidak memenuhi kewajiban reklamasi dan pasca-tambang.
Data dan temuan di atas hanya sebuah konfirmasi atas karut-marut aktivitas tambang beberapa tahun terakhir saja. Jauh sebelum itu, kondisinya tidak kalah menyesakkan. Hutan-hutan menjadi gundul, gunung-gunung satu per satu menghilang, semua tak lepas dari aktivitas pertambangan (dan perkebunan) skala besar.
Bagaimana semua itu bermula? Kondisi demikian berawal dari rezim otoriter-birokratik-militeristik Soeharto yang dari awal kemunculannya menyingkirkan kelompok nasionalis dan kiri yang bercita-cita membangun kedaulatan Indonesia seutuhnya. Hal ini terbaca secara jelas dari undang-undang pertama yang dibuat rezim ini, yakni Undang-Undang No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Di tahun 1967 itu pula untuk pertama kalinya Soeharto memberikan restu kepada PT Freeport (Amerika Serikat) untuk mengkooptasi Gunung Ertsberg di Papua, yang merupakan gunung dengan kandungan tembaga terbesar ketiga dan kandungan emas terbesar pertama di dunia.
Bisa dibayangkan berapa kekayaan yang dialihkan dari Indonesia ke Amerika selama hampir setengah abad itu, mengingat perjanjian yang ada pernah menyepakati pembagian keuntungan 1% untuk hasil penjualan emas dan 3,75% untuk penjualan tembaga dan perak kepada Indonesia. Sebuah perjanjian paling konyol yang pernah terjadi di dunia barangkali.
Sekarang masalah mencuat dan ramai, namun bukan dalam rangka merebut kedaulatan yang pernah hilang. Sebab, para anggota Dewan terhormat lebih suka memahami persoalan Freeport sebagai dagelan dan lawakan saja. Repotnya, kita selalu melihat aksi lucu-lucuan para angota Dewan ini, lagi dan lagi. Entah sampai kapan kalian begitu, wahai para anggota Dewan terhormat.
Pasca kejatuhan Soeharto, upaya membendung arus modal yang mengkooptasi sumber daya negeri bukannya dihambat, namun dibuka lebar-lebar dan seluas-luasnya. Hal ini persis ketika Indonesia di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersama para anggota Dewan yang terhormat mengesahkan UU No. 5 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam UU inilah segala upaya menjual sumber daya negeri secara terbuka hendak diwujudkan.
Dibanding dengan UU Penanaman Modal yang lama (UU No. 1/1967), UU yang baru (UU No. 5/2007) jauh lebih gila. Jika dulu hak pakai hanya diberikan seperlunya (sesuai UU Agraria), maka di UU yang baru bisa diberikan selama 70 tahun. Sedang hak guna usaha yang sebelumnya 25 tahun, di UU baru bisa selama 95 tahun. Adapun untuk hak guna bangunan yang awalnya 30 tahun, di UU baru bisa digunakan selama 80 tahun. Itu baru beberapa pasal saja, masih banyak pasal lain yang bernalar “menjual Indonesia”, termasuk produk hukum turunannya.
Kemerosotan seperti itu adalah produk dari elite kita pasca reformasi, yang kita pilih setiap lima tahun sekali. Persis di titik inilah anggapan saya: Pemilu bukan solusi. Sebab, rutinitas ini hanya melahirkan predatoris satu ke predatoris yang lain, yang ternyata tak pernah punya tekad merebut kedaulatan bangsa.
Lalu, pertanyaannya, apa hubungan semua ini dengan korupsi. Hal ini berhubungan secara pasti dengan arus desentralisasi dilangsungkan secara cepat dan serempak di Indonesia. Mungkin Indonesia adalah satu-satunya negara yang paling cepat ketika memulai perubahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Dengan adanya desentralisasi yang terlampau cepat, menjadi cepat pula pemindahan kewenangan ke daerah, termasuk kewenangan dalam mengatur sumber daya yang ada di masing-masing daerah.
Akibatnya apa, seluruh konsesi mengolah sumber daya alam nyaris sepenuhnya jatuh ke tangan korporasi privat, yang tak jarang adalah pihak asing. Itu terjadi karena tak ada persiapan sedikit pun sebelumnya bagaimana sumber daya yang ada di daerah dikelola dan dimanfaatkan untuk rakyat Indonesia sepenuhnya. Selain tanpa persiapan, parahnya lagi, negosiasi untuk mengolah sumber daya bisa dilakukan secara langsung dengan para pejabat lokal.
Pasca reformasi bisa dibilang sebagai era paling agresif dari hilangnya kedaulatan sumber daya alam di Indonesia. Tak ada lagi dimensi publik di wilayah sumber daya alam sebagaimana digariskan Pasal 33 UUD 1945. Di era inilah nyaris semua sumber daya (tambang, hutan, dll) beralih ke tangan-tangan sektor privat.
Jika dulu, Soeharto menjadi patron utama bagi siapa pun yang ingin mendapat konsesi ekonomi (politik) atas sumber daya di Indonesia, sekarang tak ada lagi patron tunggal. Para elite lokal telah menjadi patron baru, yang bisa mengatur secara legal kepada siapa konsensi atas sumber daya diberikan. Ruang inilah yang menjadi momok korupsi yang paling besar di masa kini.
Aktifitas pertambangan (dan perkebunan) skala besar kian merusak bukan isapan jempol. Silakan cek saja Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia, sejak 2011 hingga sekarang belum ada satu pun daerah yang kualitasnya tidak menurun tiap tahunnya. Cek pula siapa yang menjadi biang kerok merosotnya kualitas lingkungan itu. Satu-satunya jawaban adalah korporasi skala besar.
Di sinilah letak hubungannya, bahwa (anti) korupsi menjadi instrumen yang bisa menghambat laju penjarahan sumber daya Indonesia, sekaligus penghambat laju kerusakan lingkungan kita. Catatan menarik adalah, sejak Korsup Minerba KPK dibentuk di tahun 2014, selama setahun saja ternyata penerimaan negara bukan pajak (PNBP) untuk batubara meningkat kurang lebih Rp 10 trilliun. Padahal saat itu harga batubara sedang turun 30% dan ada larangan ekspor mineral mentah. Inilah fungsinya jika kita mengarahkan mata secara tajam ke sektor ini. Sebab, di sinilah para pemburu rente hilir mudik saling bertukar kepentingan untuk menggemukkan pundi-pundi kekayaan kelompoknya sendiri.
Jika kita tak mau ambil sikap dan mendukung gerakan anti korupsi semacam ini, mungkin sekiranya tepat keluhan: Adakah hari esok yang tersisa untuk anak cucu kita? Keluhan itu bukan mengada-ngada, melihat kenyataan bahwa sektor privat secara pelan namun pasti mulai menguasai sumber daya yang ada di Indonesia hari ini. Adapun besok, yang tersisa hanya bekas kehancurannya saja.