Selain “gemar meributkan” kepentingan masing-masing, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga tidak produktif dalam bekerja dan terjangkit penyakit koruptif. Kemalasan itu dapat diukur dari jumlah produk undang-undang yang dihasilkan DPR dan mentalitas koruptif dapat ditinjau dari keterlibatan anggota DPR dalam kasus-kasus korupsi.
Terkait produktivitas, DPR memang tidak mampu bekerja maksimal. Dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019, DPR baru menghasilkan tiga undang-undang, yaitu: UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), dan UU Pemerintahan Daerah.
Dua UU (Pilkada dan Pemda) berasal dari pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) yang dikerjakan Presiden. DPR hanya mengesahkannya menjadi undang-undang. Artinya sepanjang satu tahun kerja hanya satu UU yang dihasilkan DPR. Produktivitas yang lemah itu disebabkan DPR hanya berkonsentrasi pada kepentingan politik semata.
Simak saja perdebatan DPR soal merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan kasus “Papa minta Saham” yang ujungnya berkaitan dengan melindungi “bisnis partai”. Anggota DPR yang nyata-nyata terlibat praktik-praktik koruptif juga tidak mempedulikan etika. Mereka tidak akan pernah mengakui perbuatannya meskipun telah terbukti di pengadilan, apatah lagi dengan sukarela untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Daya kerja yang lemah dan hasrat korupsi yang tinggi itu membuat DPR jauh dari tugas utamanya, yaitu membentuk undang-undang (to legislate) dan memperjuangkan aspirasi publik. Semestinya harus ada mekanisme bagi publik untuk menghukum DPR yang lalai bekerja dan korup itu.
Thomas E Cronin (Direct Democracy; 1999) menyebutkan tiga hak yang harus dimiliki publik untuk menghukum wakil rakyat yang lalai itu. Cronin mengusulkan tiga hak, yaitu inisiatif publik, referendum, dan recall. Pertama, hak inisiatif publik merupakan hak bagi masyarakat untuk mengusulkan rancangan undang-undang, baik berbentuk naskah akademik saja maupun lengkap dengan draf undang-undang. Melalui hak inisiatif publik itu akan diukur apakah DPR atau rakyat yang lebih banyak bekerja membentuk undang-undang. Melalui hak itu, rakyat dapat “mengkritik” DPR agar lebih produktif membentuk undang-undang.
Kedua, hak referendum adalah masyarakat berwenang mengumpulkan tanda tangan publik untuk mengesahkan sebuah rancangan undang-undang yang ditolak DPR. Hak referendum adalah mekanisme yang mengenyampingkan kewenangan wakil rakyat melalui hak rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Melalui hak ini, rakyat dapat memperjuangkan undang-undang yang mereka kehendaki sendiri untuk berlaku.
Rakyat mungkin akan berpotensi kesulitan mengumpulkan jumlah mayoritas suara publik dalam membentuk UU melalui hak referendum, tetapi rakyat dapat melakukan cara lain untuk mengontrol kinerja DPR. Melalui hak yang ketiga, yaitu hak recall, rakyat dapat memberhentikan anggota DPR yang dianggap tidak memperjuangkan aspirasi masyarakat. Jika hak recall diberikan kepada publik, tidak mungkin ada wakil rakyat yang kerjanya hanya merevisi UU KPK atau meminta saham saja.
Ketiga hak yang dituturkan Cronin itu akan mampu menghukum DPR yang malas dalam bekerja. DPR akan “terpaksa” menuruti kehendak rakyat untuk lebih giat menyusun undang-undang daripada menuruti hasrat partai politik. Namun, beranikah DPR melakukan revisi kewenangannya sendiri agar produk legislasi jauh lebih berkualitas? Saya terus terang ragu.
Keraguan itu beralasan karena Undang-Undang Dasar 1945 tidak memberikan kewenangan semacam itu untuk mengoreksi kinerja wakil rakyat. Rakyat dirancang di bawah kehendak politik DPR tanpa memiliki mekanisme yang mumpuni untuk melakukan perlawanan terhadap wakilnya sendiri di Senayan. Meskipun terdapat Mahkamah Konstitusi (MK) agar masyarakat dapat membatalkan atau membenahi kinerja DPR yang bermasalah, putusan MK cenderung menyesuaikan dengan kepentingan politik hakim konstitusi yang dipilih lembaga politik seperti DPR dan Presiden.
Selain tidak memiliki landasan konstitusional di UUD 1945, tiga hak publik menurut Cronin itu kian sulit diwujudkan karena politisi kita memang tidak memiliki hasrat untuk menjadi baik. Mentalitas politisi yang korup dan tidak memiliki rasa malu di hadapan publik menjadi tembok yang begitu tinggi untuk menciptakan mekanisme hukum tata negara yang meletakkan daulat rakyat di atas segala-galanya.
DPR yang sejatinya digagas untuk memperjuangkan kepentingan publik telah menjadi antitesis dari gagasan tersebut. Publik melihat DPR sebagai lawan yang tidak berkeinginan untuk menyalurkan aspirasi mereka, tetapi lebih mirip broker partai politik. Itu sebabnya tiga hak yang dituturkan Cronin adalah langkah penting untuk membenahi lembaga legislatif kita yang malas dan korup. Jika tidak, kisah “Papa minta Saham” hanyalah salah satu cerita dari hitamnya Senayan. Relakah kita?