Ketika ribuan Mahasiswa bergerak untuk melakukan pergerakan demonstrasi di berbagai wilayah, saya langsung teringat dengan sosok aktifis yang mati muda itu, namanya Soe Hok Gie.
Seorang Mahasiswa sekaligus aktifis yang tetap menjadi aktifis dan tetap menjaga nyala api idealismenya meskipun berbagai tawaran untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan menghampirinya. Namun sayang, rekan-rekan aktifis seperjuangannya dalam barisan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa) di era Orde Lama memilih jalan lain dan kehilangan sikap idealis yang menjadi satu-satunya karakter kuat seorang aktifis.
“Ujian pertama dari KAMI datang pada saat penawaran menjadi anggota DPR-GR. Golongan moral forces menolaknya, karena melihat racun berbungkus madu di atas kursi empuk DPR-GR.
Sebaliknya golongan politisi setuju karena suara mereka diperlukan untuk voting anti Soekarno (yang makin lemah) dan menyusun UU Pemilihan Umum,” tulis Soe Hok Gie dalam artikel “Menyambut Dua Tahun KAMI: Moga-Moga KAMI Tidak Mendjadi Neo PPMI”, Kompas, 26 Oktober 1967.
Itulah sikap serta pernyataan radikal Soe Hok Gie ketika tahu bahwa sebagian rekan seperjuangnnya dalam KAMI memilih jalan perjuangan lain: masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. Sebuah jalan yang dianggap Gie sebagai sebuah jalan yang akan membuat rekan-rekannya itu ‘keblinger’ dan silau oleh kekuasaan. Gie tidak yakin jika rekan-rekannya itu mampu menjaga idelismenya ketika sudah berada di dalam sistem. Dan kegelisahan Gie terbukti.
Gie tetap pada jalannya, menjadi Mahasiswa yang berpolitik, bukan politikus yang berkartu Mahasiswa. Menyaksikan perangai cacat mantan kawan seperjuangannya, Gie tergerak memberikan apresiasi. Bersama beberapa rekannya, dia mencetuskan rencana untuk mengirimkan hadiah “Lebaran-Natal” kepada wakil-wakil mahasiswa di parlemen.
Sebuah paket diantar pada 12 Desember 1969. Isinya antara lain: pemulas bibir, bedak pupur, cermin, jarum, dan benang. Sepucuk surat dan kumpulan tanda tangan mengiringi. Sebagaimana termuat dalam harian Nusantara, 15 Desember 1969, demikian pesan dalam paket tersebut.
Bersama surat ini kami kirimkan kepada anda hadiah kecil kosemetik dan sebuah cermin kecil sehingga anda, saudara kami yang terhormat, dapat membuat diri kalian lebih menarik di mata penguasa dan rekan-rekan sejawat anda di DPR-GR.
Bekerjalah dengan baik, hidup Orde Baru! Nikmatilah kursi anda –tidurlah nyeyak!
Teman-teman mahasiswa anda di Jakarta dan ex-demonstran ’66.
Kado Istimewa Gie untuk Bung Fahri
“Makin redup idealisme dan heroisme pemuda, makin banyak korupsi.”– Soe Hok Gie dalam buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.
Saat ini, ada beberapa mantan aktifis 98′ yang masuk ke dalam lingkaran kekuasaan, salah satunya Bung Fahri Hamzah. Dalam berbagai kesempatan, dia menyangsingkan pergerakan ribuan Mahasiswa di berbagai daerah beberapa hari ini.
Berkali-kali dalam tayangan televisi saya melihat Bung Fahri menyepelekan pergerakan Mahasiswa yang turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi. Kata-katanya selalu sama, diawali dengan menegaskan bahwa dulunya dia adalah seorang Mahasiswa sekaligus aktifis 98 yang berhasil menciptakan Reformasi. Setelah itu, dengan pongah Bung Fahri mempertanyakan arah pergerakan Mahasiswa saat ini yang dilihat sebagai sebuah ketidakjelasan dan jauh dari pergerakan 98.
Sebagai mantan Mahasiswa dan mantan aktifis, Bung Fahri semestinya tidak berpikiran seperti itu. Sebab, tuntutan rekan-rekan Mahasiswa sudah jelas. Tentu sebagai mantan Mahasiswa dan mantan aktifis, Bung Fahri paham betul bahwa Mahasiswa sebagai Alarm Demokrasi yang akan berbunyi keras ketika ada kekiliruan dalam penyelenggaran pemerintahan itu sendiri.
Namun, saya memahami bahwa ketika seorang mantan Mahasiswa dan aktifis seperti Bung Fahri kehilangan idealisme dan heroisme, maka ia akan menjadi daun kering yang terseret arus politik praktis. Dan hal itulah yang saat ini dialami Bung Fahri.
Bak katak dalam tempurung, Bung Fahri benar-benar sudah tidak berdaya. Hanya dua hal yang masih ia punya, pandai berbicara dan pandai berteori belaka. Selebihnya, karakater sebagai aktifis hilang tidak tersisa.
Jika saja Gie masih hidup, tentu ia akan mengirim kado kepada Bung Fahri serupa saat mengirim kado kepada rekan-rekannya dulu yaitu berupa gincu, rok mini, bedak, cermin, dan peralatan make-up lainnya agar lebih terlihat seksi di hadapan tuannya.
Yogya, 2019
Foto: Soe Hok Gie seorang aktifis, Foto: dok istimeWA