Sore tadi didatangi seorang teman lama. Wajahnya tampak kusam seperti menyimpan masalah besar.
“Ah, kabar kurang baik ini…” pikirku. Aku mempersilakan dia masuk. Kami ngobrol ngalor ngidul tentang banyak hal.
“Aku boleh pinjam uang?” pintanya.
Kutatap wajahnya. Dia dulu adalah orang yang menurut ukuranku sukses. Sekolahnya lancar, jago keuangan dan kerja di bank besar, pada level yang lumayan. Aku sempat cemburu dengan karirnya yang moncer, sehingga dia bisa menyekolahkan anak-anaknya di tempat yang terbaik.
Hingga pada satu waktu aku dengar dia keluar dari kerjanya di bank. Bisik-bisik dari seorang teman, dia ikut sebuah pengajian yang akhirnya menyuruh dia keluar dari bank karena upah dari bank itu dianggap hasil riba.
Temanku ini akhirnya jualan nasi goreng dengan modal yang ia punya. Enggak sukses. Ya pantas, karena seumur hidupnya dia menjadi pegawai dan tidak terlatih menjadi pengusaha. Lagian, biaya hidupnya keburu tinggi karena beban sekolah dan lain-lain.
Akhirnya habislah modalnya. Dia pun terpuruk dan kerja serabutan sana sini. Rumahnya dijual dan hasil uangnya dibuat modal lagi, habis lagi. Istri dan anak-anaknya akhirnya telantar di rumah kontrakan mereka yang sangat kecil.
Aku sendiri heran dengan konsep berfikirnya.
Kupelajari fikih tentang riba dan menemukan bahwa riba itu adalah selisih dari hutang atau akad jual beli. Bukan gaji atau upah. Karena upah itu adalah hasil jerih payah dari keringatnya sendiri sebagai pekerja.
Tapi namanya ikut pengajian ekstrem, akhirnya pengertian riba jadi berbelok ke mana-mana.
Aku sempat bilang padanya dulu, “Kalau bekerja di bank dianggap riba, tentu sejak lama MUI, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah sudah mengharamkannya. Kenapa kok tidak? Apa kamu lebih pintar dari para kyai-kyai di organisasi besar dan resmi itu?”
Tapi, ya, namanya dia beragama tanpa akal, jadinya ketemu orang yang dianggap ustaz, langsung percaya saja, yang penting jenggotnya panjang dan tebal dan fasih satu dua ayat.
Temanku seperti dicucuk hidungnya ketika dibilang ustaznya, “Kerja di bank itu haram!” Dia tidak mencoba mencari pandangan dari ulama lain yang berbeda yang tentu punya pondasi keilmuan dalam masalah riba.
Akhirnya dia susah sendiri. Menjadi miskin karena kurangnya ilmu pengetahuan tentang agama, cuman ikut-ikutan tren karena banyak orang yang melakukan. Padahal di Islam ada hadis, “Kemiskinan mendekati kekufuran…”
Temanku yang sudah diberi nikmat kepintaran malah jadi kufur karena menyia-nyiakan berkat yang diberikan Tuhan.
Lebih parah lagi, dia yang seharusnya berjihad untuk kebaikan ekonomi istri dan anaknya dan orang yang membutuhkan dalam bentuk sedekah, malah menjadi beban.
Aku tidak suka dipinjami uang, karena tahu konsep pinjam-meminjam pasti akan memunculkan masalah di depan. Kuberi saja yang dia butuhkan dengan konsep “membantu orang kesusahan”.
Ketika dia pulang, aku iseng membuka Facebook dan mencari akun temanku itu.
Aku senyum-senyum sendiri ketika membaca status-statusnya yang mencaci maki Jokowi karena sulitnya ekonomi, hutang negara sampai isu 9 naga dan ketergantungan rezim pada negara Cina.
“Oalah, run.. run..,” spontan aku bergumam.
Istriku heran. “Run itu siapa, Pa?” tanyanya.
Kujawab sambil tertawa, “Kadal gurun…”
Kuseruput kopi sambil mengingat kembali ayat Tuhan yang menyapa hamba-Nya, “Maka, nikmat manalagi yang kau dustakan?”