“Pada kesempatan yang bersejarah ini…, saya mohon izin untuk memindahkan Ibu Kota Negara kita ke Pulau Kalimantan.” Begitulah sepenggal kalimat bersejarah yang disambut oleh riuh tepuk tangan para hadirin yang hadir di Gedung Nusantara, Jakarta pada Jum’at (16/8/2019). Dalam pidato kenegaraan itu, Presiden Jokowi dengan mantap menyampaikan keputusannya untuk menggeser pusat pemerintahan ke Kalimantan.
Wacana pemindahan Ibu Kota ke daerah lain sebenarnya sudah lama didengungkan. Bahkan, Presiden Soekarno juga pernah sempat berencana memindahkan Ibu Kota ke Palangkaraya.
Selain itu, sejak bangsa ini merdeka, setidaknya sudah terjadi pergantian Ibu Kota sebanyak tiga kali. Pada tahun 1946, Ibu Kota berganti dari Jakarta ke Yogyakarta. Tahun 1948 Ibu Kota berganti dari Yogyakarta ke Bukit Tinggi dan pada tahun 1949, Ibu Kota kembali ke Jakarta.
Sebelum memutuskan dan memantapkan niat memindahkan Ibu Kota, wacana pemindahan itu menimbulkan pro dan kontra hingga sekarang. Satu hal yang paling sering diperdebatkan adalah terkait besarnya biaya yag dibutuhkan.
Menurut estimasi pemerintah, biaya pemindahan Ibu Kota bisa mencapai 33 Miliar Dolar AS atau setara dengan Rp. 469 Triliun. Biaya itu setara dengan seperempat dari total penerimaan negara sepanjang 2018 yang sebesar Rp. 1.942 Triliun.
Masalah lain adalah terkait urgensi pemindahan Ibu Kota. Banyak kalangan yang menilai bahwa pemindahan Ibu Kota bukan menjadi prioritas saat ini. Pemikiran itu muncul dengan alasan yang klise yaitu kesejahteraan rakyat yang jauh lebih penting dibandingkan dengan menghamburkan anggaran untuk memindahkan Ibu Kota.
Pemerintah tidak mau kalah, bagi pemerintahan saat ini, langkah Jokowi adalah langkah terbaik untuk melakukan pemerataan pembangunan dan ekonomi di wilayah Timur Indonesia. Selain alasan itu, tentu banyak alasan lain yang bisa digunakan pemerintah untuk menjawab ketidaksetujuan itu.
Legacy Jokowi
Pemindahan Ibu Kota sejatinya bukan hanya perkara pembangunan infrastruktur, banyak hal lain yang tentu harus dipersiapkan matang-matang. Namun sayangnya, sampai detik ini, saya belum menemukan kajian ilmiah terkait pemindahan Ibu Kota.
Alasan yang diutarakan pemerintah juga belum sepenuhnya dilandasi dengan kajian-kajian ilmiah serta belum adanya jejak pendapat yang semestinya dikedepankan dalam sistim demokrasi yang dianut negeri ini. Hal itu pula yang membuat beberapa kalangan menilai bahwa pemindahan Ibu Kota terkesan terburu-buru dan sarat akan kompensasi politik serta bagi-bagi proyek.
Namun, keputusan sudah diambil oleh Presiden Jokowi dan tentu keputusan itu juga akan didukung oleh para partai pengusungnya. Kalau sudah begini, sebagai negara demokrasi yang suara rakyat diwakilkan kepada anggota DPR, mau tidak mau, suka tidak suka, pemindahan Ibu Kota harus dipahami sebagai bentuk keinginan yang telah disetujui rakyat, meskipun tidak sedikit rakyat yang menolaknya.
Dengan demikian, pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Timur akan menjadi legacy bersejarah bagi Presiden Jokowi. Terlebih, keputusan itu diambil menjelang berakhirnya masa jabatan Jokowi di era pertama (2014-2019) menjadi presiden.
Legacy itu akan menjadi sejarah yang akan dikenang oleh bangsa ini, bahkan, meskipun pada akhirnya pemindahan Ibu Kota belum usai pada akhir masa jabatan Jokowi di periode keduanya, tetap saja Jokowi akan dikenal sebagai Presiden yang revolusioner. Kelak, bisa jadi, dalam pelajaran sejarah, nama Jokowi akan selalu muncul sebagai Presiden yang berhasil memberikan warisan berharga bagi bangsa ini.
PR Berat Bagi Presiden Selanjutnya
Perlu disadari bahwa pemindahan Ibu Kota adalah sebuah Mega Proyek yang selain membutuhkan biaya besar juga membutuhkan waktu yang tidak singkat. Jika berkaca dari pengalaman pemindahan Ibu Kota negara Brazil dan Kazakhstan, dibutuhkan waktu setidaknya 10 tahun untuk memindahkan Ibu Kota.
Sementara itu, lima tahun ke depan atau pada tahun 2024, era kedua Jokowi sebagai Presiden akan berakhir. Dengan demikian, tentu akan ada estafet untuk melanjutkan pemindahan Ibu Kota kepada presiden selanjutnya. Ibarat kata, Presiden selanjutnya akan terkena ‘getah’ dari langkah yang diambil Jokowi untuk memindahkan Ibu Kota.
Hal tersebut tentu menjadi PR yang cukup berat, terlebih lagi jika pemindahan di masa jabatan Jokowi tidak berjalan lancar sesuai dengan rencana. Dengan kata lain, selain meninggalkan legacy bagi bangsa ini, Jokowi juga akan meninggalkan ‘beban warisan’ kepada Presiden selanjutnya. Beban itulah yang akan menjadi Pekerjaan Rumah (PR) yang berat.
Namun, apapun itu, keseriusan Jokowi memindahkan Ibu Kota hampir pasti tidak akan bisa dirubah dan tinggal menunggu adanya payung hukumnya. Dengan demikian, sebagai warga negara yang baik, meskipun secara pribadi masih mempertanyakan terkait keputusan memindahkan Ibu Kota yang hanya dalam jangka waktu beberapa pekan, saya berdoa dengan setulus-tulusnya agar pemindahan Ibu Kota berjalan lancar dan memberikan manfaat bagi rakyat Indonesia.
Harapan lain yang tidak kalah penting adalah semoga pemindahan Ibu Kota tidak dihiasi dengan praktik-praktik kotor yang merugikan rakyat, bangsa dan negara. Bagaimanapun juga, kepentingan rakyat menjadi prioritas utama bagi sebuah negara.
Bahan Referensi:
[1] cnnindonesia.com/nasional/20190827065243-32-424873/ibu-kota-baru-pertaruhan-jokowi-dan-pr-presiden-selanjutnya
[2] tirto.id/di-balik-biaya-besar-pemindahan-ibu-kota-berbagai-negara-egAa