Selasa, April 30, 2024

“Bumi Manusia” ini Berat, Dilan Saja Tak Sanggup!

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.

Sebelum kuliah di Universitas Negeri Medan, tepatnya di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, saya sudah sering menonton film Harry Potter. Film ini bagus menurut saya. Namun, teman sekelas saya kemudian memberi ultimatum: film Harry Potter tak ada apanya dibanding bukunya. Saya penasaran. Mana mungkin film yang sudah mengandalkan audio-visual-kinestetik kalah dari sebatas bacaan? Tak mungkin.

Maka, saya pun pergi ke perpustakaan. Saya baca bukunya. Dan, nyatalah bahwa memang benar adanya: film Harry Potter tak sanggup mengangkat bacaan dari buku itu secara utuh.

Mengapa? Bacaan adalah sesuatu yang imajinatif. Apa yang kubaca dan apa yang kamu baca, meski dengan sumber yang sama, belum tentu melahirkan tafsir yang sama, apalagi dengan tafsir penulis. Namun, begitulah lazimnya sebuah tulisan.

Ini kurang lebih sama dengan konsep “Matinya Pengarang” (The Death of Author) ala Roland Barthes pada 1968. Gagasan ini kemudian berkembang, persis seperti konsep mesianik: penulis mati, maka lahirlah pembaca. Penulis dan pembaca bahkan menjadi sama kedudukannya. Pasalnya, ketika tulisan diterbitkan, posisinya sebagai penulis sudah bersalin rupa jadi pembaca.

Dan satu lagi, posisi penulis yang jadi pembaca dengan pembaca yang tetap pembaca juga tak bisa dibedakan terkait siapa lebih hebat atau siapa lebih tepat. Ada analogi lucu untuk itu. Mari saya kutipkan di sini: tersebutlah dua ahli tafsir yang berdebat sengit tentang makna/penafsiran atas suatu bagian dari Kitab Suci. Perdebatan ini terjadi begitu lama, bahkan sampai keduanya meninggal dunia.

Ketika sudah berada di surga, perdebatan mereka ternyata tak kunjung usai. Melihat hal ini, Tuhan, sebagai sosok Penulis Kitab Suci, ikut campur dengan mengemukakan makna “sebenarnya” dari bagian Kitab Suci itu.

“Siasat Jumat”

Namun, kedua ahli tafsir itu masing-masing menyangkal, dengan mengatakan bahwa bagian dari Kitab Suci itu sangat mungkin ditafsirkan dengan tafsiran yang mereka miliki. Dan mereka pun melanjutkan pedebatan itu lagi hingga entah kapan (Zaim Rofiqi). Pesannya apa? Begini.

Kita baru saja mendapat agenda bioskop yang (mestinya) fenomenal: pemutaran film Bumi Manusia. Fenomenal paling tidak karena banyak faktor. Mari kita sebut sedikit saja. Siapa pun tahu, Bumi Manusia bukan sembarang novel. Novel ini menyimpan segudang sejarah yang tak bisa disepelekan: mulai dari proses pembuatannya hingga distribusinya.

Bumi Manusia sejatinya terlahir dari kliping kepunyaan mahasiswa. Dalam perjalanannya, belum sah jadi buku, Bumi Manusia sudah dibumihanguskan para tentara. Namun, Pramoedya Ananta Toer bukan manusia kaleng-kaleng. Ia mempunyai cangkang kepala dengan otak yang cerdas. Maka, meski telinganya dipopor, isi kepala itu tetap awet. Dan, yang juga tak kalah heroik, setelah jadi buku, Bumi Manusia semakin dibenci aparat. Tidak hanya buku, pembaca Bumi Manusia bahkan harus menanggung akibat yang tak enak. Ada adagium konyol begini: baca Bumi Manusia, nyawamu tak selamat.

Dampaknya, banyak orang takut untuk melihat, apalagi membaca, Bumi Manusia. Namun, tidak semua manusia tunduk pada rasa takut, tentu saja. Selalu ada orang yang bisa melawan rasa takut. Dan, Mas Pram beserta kawan-kawan, sebagaimana disitir Muhidin Dahlan, juga punya cara yang baik untuk melawan atau paling tidak meminimalisasi rasa takut. Dibuatlah, misalnya, trik dahsyat: “Siasat Jumat”. Perhitungannya matang. Bagaimanapun, Bumi Manusia harus lahir di hari Jumat. Sebab, jika langsung dimatikan oleh kejaksaan, paling tidak ada tiga hari waktu hidup Bumi Manusia menemui pembacanya.

Apa pasal? Sabtu aparatur kejaksaan pakansi, sementara Minggu tanggal merah. Senin baru masuk, itu pun beberapa jam didahului upacara. Masih banyak kisah lain yang membuat Bumi Manusia ini begitu dahsyat hingga kemudian novel ini diberi label luar biasa: “Sesembahan Indonesia untuk dunia” dan Mas Pram sempat dinominasikan kuat mendapat Nobel.

Sudahlah, di zaman serba gawai ini, Anda bisa mencarinya dengan mudah. Jangan malas. Ketik kata kunci “bumi manusia” saja Anda pasti akan kenyang dengan berbagai informasi. Tak percaya, silakan mencoba sejak dari sekarang.

Baiklah, mari kita akhiri sampai di sini saja. Terlalu banyak kalau harus kita rangkum. Nah, apa yang hendak saya bilangkan sebenarnya sederhana: wajarlah kalau tahun lalu banyak orang yang memprotes agar Bumi Manusia tidak difilmkan. Seperti saya sebut di atas: bagi banyak orang, Harry Potter versi film saja kalah dari versi buku. Sebabnya sepele: pembaca adalah raja. Jadi, meski J.K. Rowling puas dengan film itu, pembaca tetap punya penilaian yang sama. Apa istimewa J.K. Rowling dibanding pembaca, bukan?

Saya pikir, atas dasar itulah Hanung Bramantyo tetap kukuh. Apalagi, konon, keluarga Mas Pram sudah setuju dengan kontrak. Jadi, soal netizen setuju atau tidak, itu tak penting dibahas, apalagi dipertimbangkan. Buku adalah buku dan film adalah film. Maka, jangan heran ketika film Bumi Manusia tak memuaskan banyak orang, bahkan malah mengecewakan. Jangan pula heran ketika dulu buku ini diberantas, ia tetapi dicari-cari oleh pembacanya hingga jauh. Kini film ini sudah dipromosikan mewah dan ditampilkan di tempat mewah, eh, tetapi malah sepi pengunjung?

Dilan Saja tak Sanggup

Iqbaal Ramadhan yang sempat jadi ikon “ini berat, biar aku saja” tak sanggup meraup penonton. Iqbaal Ramadhan malah tak berhasil jadi Minke. Ia tetap menjadi Dilan yang menyamar masuk ke tubuh Minke. Dan, saya pikir, inilah alasan yang paling sah mengapa banyak orang menyebut film ini lebih pada kisah cinta daripada kisah persamaan hak atau kesetaraan derajat. Padahal, Bumi Manusia bukan sebatas kisah cinta. Bahkan, sastrawan sekelas Ajip Rosidi menyebut adegan asmara pada Bumi Manusia sebagai yang aneh. Ia sama sekali tak terangsang dengan percintaan Minke dan Annelis.

Namun, sudahlah, Kang Ajip, ya, Ajip dan Mas Hanung, ya, Hanung. Saya justru berpikiran positif: Hanung seperti sedang semakin membedakan bahwa buku adalah buku dan film adalah film. Atau, Hanung Bramantyo seperti sedang lahir kembali setelah kematian Mas Pram. Ia lahir menjadi Mas Pram yang berbeda. Siapa bisa protes?

Jangankan saya, Mas Pram saja tak berhak karena posisi Mas Pram sebagai penulis sudah mati, bukan? Catat, bukan mati sebagai fisik, ya. Mati sebagai penulis, tepatnya. Baiklah, mari tak usah kecewa dengan film yang sempat ditolak ramai-ramai ini. Tak ada gunanya.

Bagaimanapun, buku Bumi Manusia adalah buku yang berat. Dyian saja tak sanggup, kok. Kisah perjuangan di dalamnya pun berat sehingga tak perlu ditonjolkan. Yang pasti, jika tujuan Mas Hanung memperkenalkan Mas Pram ke generasi milenial, ia sudah lumayan berhasil. Gagalnya hanya satu: mengangkat kisah Bumi Manusia ke dunia audio-visual-kinestetik. Tetapi biarlah. Jika penonton bilang begini: film kita gagal, marilah menjadi Nyai Ontosoroh yang nyata: tidak, kamu sudah mencobanya, meski terbukti….

Baca juga

Membangkitkan Minke di 11 Tahun Kematian Pram

Hanung Bramantyo dan Politik Keaktoran dalam Film

Minke, Iqbaal, dan Bumi Manusia

Pram, Kata, dan Kuasa

Menimbang Film Bumi Manusia

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.