Wacana pembubaran Front Pembela Islam (FPI) bukan kali ini saja ramai. Ia berjalan beriringan bersama kekerasan demi kekerasan terhadap siapa saja yang dianggap musuh oleh FPI.
Meski begitu, di level ini saya masih meyakini kalau Imam Besar Habib Rizieq Syihab (HRS) tidak selamanya sepakat dengan laku-laku kekerasan tersebut. Terbukti, ia cukup terbuka kepada publik soal penentangannya atas laku kriminal yang acapkali diperagakan oleh oknum-oknum anggotanya.
Apalagi penuturan Haikal Hassan dalam Indonesia Lawyers Club (ILC) bertajuk “kelompok 212 mau ke mana” tampaknya semakin meneguhkan pandangan tersebut. Dikatakan olehnya, sewaktu demonstrasi 212 pecah, HRS sempat mencegah simpatisannya berlaku anarki, kendati pihak aparat yang bertugas menembaki mereka dengan gas air mata.
Akan tetapi, Mark Woodward (2016) punya pendapat lain. Indonesianis ini menyebut bilamana peristiwa tersebut seolah memberikan peluang bagi HRS secara khusus, dan FPI pada umumnya, untuk menghapus memori kolektif mengenai kekerasan yang telah dilakukan mereka melalui arus politik.
Lebih jauh, untuk menamakan demonstrasi “superdamai” pada gelaran yang berkulminasi pada arus 212 itu sama saja telah memutarbalikkan setrategi historisnya. Bahkan, untuk mendaku “superdamai” pada aksi tersebut, FPI pada saat bersamaan telah melakukan sesuatu yang non-sequitur, alias tidak sesuai.
Dengan kata lain, FPI terlampau banyak memiliki sejarah kekerasan dan intimidasi sejak masa berdirinya di tahun 1998. Sentilan Denny Siregar berjudul Kalau FPI Dibubarkan… setidaknya cukup gamblang menunjukkan hal itu.
Intinya, sekelompok Muslim paramiliter dengan tagline “amar ma’ruf nahi munkar” sebagai garis besar haluannya ini menargetkan “dosa dan kebiasaan buruk” pada kelompok yang dianggap berbeda, apalagi menyimpang secara syariat untuk kemudian diserang dan/atau diintimidasi.
Di lain pihak, FPI kerap mencitrakan dirinya dalam sebuah ibarat sebagai “anaknya” Nahdlatul Ulama (NU). Karenanya, kalau sesekali FPI masih terlihat “bandel”, itu mohon maklum.
Pertanyaannya, jika FPI mengklaim dirinya sebagai “anak” dari NU, apakah NU mengakui FPI sebagai anaknya? Atau paling tidak, melalui hubungan yang seperti apa sehingga NU bisa punya “anak” seperti FPI? Wallahu a’lam.
Akan tetapi, secara sederhana, ditinjau secara ritual peribadatan FPI memang cenderung akrab dengan tradisi amaliyah NU. Soal takdzim kepada cucunda Kanjeng Nabi Muhammad yang masyhur kita sebut Habaib, FPI juga masih satu pandangan dengan NU. Demikian halnya dengan teologi kalam, NU dan FPI sama-sama pengikut Abu Hasan al-Asy’ari.
Namun, buru-buru perlu disadari pula, bahwa keduanya memiliki perbedaan yang cukup fundamental, yakni soal prinsip bernegara. NU sejauh ini masih memegang teguh prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk final, sejak ditetapkan oleh para pendiri bangsa sampai setidaknya dalam bentuk seperti sekarang.
Sementara itu, HRS berikut pendukungnya menginginkan NKRI bersyariah, dengan agenda “Piagam Jakarta” reborn. Di titik kesadaran inilah, seperti dicatat Kholid Syeirazi (2017), kendati di satu pihak FPI memiliki kemiripan dengan NU, senyatanya ia juga punya titik temu dengan sejumlah ormas Islam yang mendukung agenda formalisasi syariat Islam seperti HTI, MMI, atau PKS pada pihak yang lain.
Karena itu, tidak heran jika pada gelaran aksi bela Islam—berikut jilid-jilidnya—FPI bisa begitu mesra beraliansi dengan para pengusung wacana penegakan syariat Islam di Indonesia. Maka, wajar apabila panggilan untuk bersikap resisten kepada Basuki Tjahaja Purnama mendapat sambutan yang cukup gempita dari publik.
Persoalannya, apakah dengan modal spekulasi politis yang menduga adanya agenda FPI hendak mengubah bentuk atau sekurang-kurangnya sistem bernegara kita, lantas ia perlu dibeku atau bubarkan?
Tentu tidak semudah itu. Sebab, hal ini justru akan dipandang sebagai upaya untuk semakin menciderai prinsip-prinsip demokrasi, di mana setiap lontaran ide dan gagasan itu dilindungi betul oleh undang-undang. Dilemakah? Pasti.
Lagi pula, keinginan untuk mengelola sebuah negara dengan asas, katakanlah syariat Islam, sudah ada sejak dulu. Dan, tampaknya ide untuk mendirikan negara Islam itu akan terus terpelihara.
Kang Hasanuddin Abdurrahman (2019) dalam sebuah artikelnya berjudul Menangkal Radikalisme dengan Pemberantasan Korupsi di detik.com mencatat sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi pasang-surutnya ide tersebut.
Disebut olehnya, bahwa salah satu faktor yang cukup berpengaruh adalah tingkat kepuasan setiap orang atas keadaan negara sekarang, atau terhadap kinerja pemerintah. Kalau pemerintah memuaskan dan dianggap baik, kontan keinginan untuk mengubah negara dalam format lain itu akan pupus dengan sendirinya.
Sebaliknya, kalau orang menganggap kinerja pemerintah atau pengelolaan negara ini buruk, maka gagasan itu akan semakin bergelora. Dan, salah satu parameternya adalah korupsi. Tentu, salah banyaknya tidak terhitung jumlahnya, atau seperti sering dikutip oleh Sandiaga Uno sebagai ketidakadilan hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Lalu, dari bejibun persoalan itu para pengusung wacana formalisasi syariat Islam ini melakukan propagandanya dengan menawarkan pikiran alternatif. Jika HTI secara terang-terangan mengkampanyekan sistem “khilafah” ala tafsir mereka, berbeda dengan FPI yang menawarkan “NKRI bersyariah”.
Sekilas, ide itu memang terasa mashook dalam rangka melipur penderitaan “umat”. Namun, harus segera disadari pula kalau ia juga penuh kerapuhan. Gus Nadirsyah Hosen, misalnya, sampai menerbitkan dua jilid buku untuk membincang diskursus itu.
Pendek kata, tidak ada jaminan keadilan sosial dalam formalisasi syariat Islam, menurut tafsir baik HTI, FPI, dan ormas atau parpol lainnya, selama penyelenggaranya juga korup bahkan tidak adil sejak dalam pikiran.
Korup sejak dalam pikiran ini pun bentuknya bisa bermacam-macam. Sialnya, kekorupan ini juga tak luput melawat dan bahkan cukup sering diperagakan oleh para pengusung ide formalisasi syariat Islam.
Kepongah-beringasan dan laku menang-menangan FPI yang seolah-olah paling islami sehingga merasa layak menjadi wakil Tuhan dalam membumihanguskan patologi sosial dan “iman” dari muka bumi, adalah salah satu variannya. Dan, jika penggulungan-tikarnya didasarkan pada fakta tersebut, kiranya hal itu memang perlu dipertimbangkan.
Jangan lewatkan
Dalam NKRI Tak Ada Orang Kafir!
“Islam Kaffah” yang Bagaimana?