Baiq Nuril, mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram dalam beberapa waktu terakhir menjadi sorotan. Walau sudah berhenti dari guru, namun berita tentang ibu Nuril masih hangat diperbincangkan. Hal ini tidak terlepas dari jerat hukum yang membelenggunya.
Peristiwa itu bermula pada tahun 2012 saat masih menjadi guru di SMAN 7 Mataram, Nuril sering ditelepon oleh atasannya, Muslim. Karena sering ditelepon, Nuril diisukan memiliki hubungan gelap dengan pimpinannya.
Nuril lalu merekam isi percakapan yang memang bernada asusila. Maksudnya hanya sebagai bukti untuk membela diri bahwa dia tidak menjalin hubungan terlarang sebagaimana diisukan. Lewat rekaman, Nuril mau membuktikan bahwa dia hanyalah korban dari nafsu pimpinanannya.
Tanpa disadari, pada tahun 2014 rekaman tersebut disebar oleh temannya. Muslim lalu melaporkan Nuril ke polisi. Pada 24 Maret 2017 Nuril diberhentikan dari SMAN 7 Mataram dan ditahan polisi dengan tuduhan mentransmisikan rekaman percakapan mereka.
Nuril dijerat dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 27 ayat (1) juncto pasal 45 ayat (1) dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak 1 miliar.
Kasus ini kemudian disidangkan di Pengadilan Negeri Mataram dan Nuril divonis bebas karena tidak terbukti menyebarkan rekaman percakapan. Namun Jaksa melakukan kasasi ke tingkat Mahkama Agung. Tanggal 26 September 2018 Nuril divonis bersalah oleh MA dengan pidana 6 bulan kurungan dan denda Rp. 500 juta.
Sejak kasus ini disidangkan, ibu Nuril mendapat dukungan banyak kalangan. Support mengalir deras dari berbagai pihak. Semua menyatakan keprihatinan atas kasus yang menimpa Nuril. Koalisi masyarakat sipil menggalang petisi menolak hukuman terhadap Nuril. Juga pengumpulan koin bagi Nuril.
Di beberapa tempat, mahasiswa melakukan demo menolak putusan penjara terhadap ibu Nuril. Intiya ibu Nuril harus dibebaskan. Karena dia hanya korban pelecehan dari atasannya. Bak gayung bersambut, perjuangan Nuril memperoleh keadilan mendapat sinyal baik. Kejaksaan menunda eksekusi terhadap Nuril dan tidak menahannya hingga keluar putusan Peninjauan Kembali.
Namun asa itu kini sirna karena Mahkama Agung menolak permohonan peninjauan kembali (PK) Baiq Nuril. Dengan ditolaknya PK maka putusan kasasi yang menghukum dirinya dinyatakan berlaku. Dan harapan Ibu Nuril untuk mendapat keadilan kini hanya tinggal pada Presiden.
Pudarnya Teladan Guru
Saya tidak membahas persaolan hukum yang menimpa Ibu Nuril apalagi menyoal putusan atasnya. Tentang hal ini banyak ahli sudah membahasnya. Lagi pula saya bukan ahli hukum. Saya mau menyoroti tindakan asusila secara verbal yang dilakukan Muslim kepada Ibu Nuril.
UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mensyaratkan bahwa guru professional harus memiliki empat kompetensi. Salah satunya adalah kompetensi kepribadian. Dalam Permendikbud No.16 Tahun 2017, kompetensi kepribadia meliputi lima komponen pokok.
Pertama, bertindak sesuai norma agama, hukum, sosial dan kebudayaan nasional Indonesia; kedua, menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat; ketiga, menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa; empat, menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri; dan kelima menjunjung tinggi kode etik profesi guru.
Tindakan asusila sebagaimana dilakukan Muslim terhadap Nuril menandakan hilangnya teladan moral dari guru. Percakapan bermuatan asusila adalah bukti bahwa teladan moral sebagaimana dipersyaratkan dalam kompetensi kepribadian telah absen dalam diri guru. Kasarnya keteladanan moral telah raib dalam diri guru. Hilang entah kemana.
Tentu tidak semua guru hilang keteladanan moralnya. Masih banyak guru yang menjadi teladan kebaikan. Namun kasus ini patut menjadi refleksi karena peristiwa serupa ini sudah terjadi berulang kali. Kasus-kasus amoral tersebut tidak perlu dideretkan di sini. Cukuplah diingat bahwa tindakan asusila tersebut telah memudarkan pesona dan mencoreng wibawa guru dimata siswa maupun masyarakat.
Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara memberikan tiga semboyan sebagai panduan bagi pendidik. Tiga semboyan itu adalah Ing Ngarasa Sung Tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan Tut Wuri Handayani (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik). Dalam konteks pendidikan, semboyan ini menjadi sarana untuk membentuk kepribadian siswa yang berkarakter yang termanifestasi melalui tugas mengajar dan mendidik guru.
Guru merupakan figure yang digugu dan ditiru. Segala tutur kata, tingkah laku guru akan menjadi panutan bagi murid. Pribadi guru adalah cermin bagi siswa. Dimana lewat kata-kata guru siswa menggugu dan melalui tindakan guru siswa meniru.Sebagai figure yang darinya digugu dan ditiru, guru dituntut untuk memberikan teladan yang baik.
Menjadi sumber inspirasi kebaikan bagi sesama (the significant others). Guru harus menjadikan dirinya suluh moral bagi siapa saja. Dimana guru harus menampilkan sikap bersahaja dan perilaku terpuji. Juga tutur kata yang mengandung nilai-nilai kebaikan. Yang utama dari guru adalah memberikan tuntunan hidup.
Keteladanan guru diawali dari perkataan yang membias ke tindakan. Karena itu antara kata dan perbuatan harus seiring sejalan. Ya, perkataan guru mesti seirama dengan tindakannya. Keteladanan dalam tutur kata dan sikap hidup menjadikan guru mulia dan istimewa di mata masyarakat. Lewat keteladanan guru menjadi penjaga gawang moral bagi siswa dan masyarakat.
Di era 4.0 ini yang ditandai dengan perkembangan teknologi, tidak terkecuali juga melanda dunia pendidikan. Digitalisasi pendidikan telah menjadikan arena belajar tidak tersekat ruang-ruang kelas. Tetapi itu tidak berarti bahwa kehadiran teknologi akan meniadakan peran guru. Kehadiran guru dalam proses pendidikan tetap dibutuhkan. Sosok pahlawan tanpa tanda jasa ini diperlukan untuk membentuk kepribadian anak yang berkarakter lewat keteladanan.
Ditengah perkembangan teknologi ini, guru tetap dibutuhkan melaksanakan tugas utamanya yaitu mengajar dan mendidik. Mengajar berkaitan dengan kompetensi professional dimana guru mentrasfer pengetahuan kepada siswa. Sementara mendidik berkaitan dengan kompetensi kepribadian dimana guru hadir sebagai pemberi teladan moral. Peran mengajar bisa diganti dengan teknologi tetapi tugas mendidik tidak dapat digantikan. Kehadiran guru sebagai pemberi teladan dan pembangkit inspirasi tidak terwakilkan sampai kapan pun.
Akhirnya mari kita pahat pepatah Latin berikut, “Verba movent exempla trahunt.” Kata-kata menggerakkan namun teladan memikat. Ya, guru harus memberikan teladan yang baik tidak bagi tidak hanya bagi siswa tetapi juga masyarakat luas. Karena keteladanan adalah sumber kewibawaan guru.