Sembilan program prioritas atau Nawa Cita seharusnya menjadi penunjuk arah pembangunan nasional di bawah kepemimpinan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Namun, beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat menilai langkah pemerintah tidak jelas dalam menjalankan Nawa Cita.
Sekretariat Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesastyo, mengatakan, pemerintah Jokowi mencoba merealisasikan komitmen membangun dari pinggiran dengan kebijakan alokasi dana desa sebesar Rp 20 triliun pada 2015. Namun, dalam peningkatan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional serta mewujudkan kemandirian ekonomi, komitmen itu masih patut diperdebatkan.
“Niat meningkatkan produktivitas dan daya saing sebenarnya sudah dimentahkan oleh Jokowi-JK sendiri,” kata Bambang di Jakarta, Selasa (20/10). Hal itu bisa dilihat dari penaikan harga jual eceran bahan bakar minyak (BBM) pada November 2014. Langkah ini menyebabkan biaya produksi naik dan dampak lainnya harga barang dan tarif jasa ikut naik.
Menurut Bambang, jika biaya produksi tinggi akan sangat sulit memompa produktivitas masyarakat. Sebab, dengan biaya mahal, masyarakat enggan merealisasikan kegiatan-kegiatan produktif. Ada dua alasan. Pertama, daya saingnya pasti rendah dalam menghadapi produk impor. Kedua, tidak ada yang mau berspekulasi ketika permintaan pasar sedang lesu.
Karena itu, dalam paket kebijakan ekonomi II dan III, pemerintahan Jokowi-JK mencoba menurunkan biaya produksi dalam negeri, persisnya harga energi. Namun, tindakan itu tidak terlalu berdampak signifikan, sebab pemutusan hubungan kerja (PHK) sudah terjadi di berbagai sektor usaha.
“Upaya menurunkan biaya produksi itu tidak akan efektif jika tidak diikuti penurunan suku bunga. Cita-cita Jokowi-JK mewujudkan kemandirian di bidang ekonomi patut dipertanyakan. Karena pemerintah mengandalkan kekuatan asing dalam membangun infrastruktur,” kata Bambang.
Contohnya, dalam infrastruktur strategis, Jokowi-JK mengundang kehadiran modal asing seperti proyek pembangkit listrik hidro di Tanjung Selor, Kalimantan Utara, sebesar 17 miliar dolar AS dan kereta cepat Jakarta-Bandung Rp 73 triliun. Bambang menilai, fakta ini melahirkan persepsi di publik bahwa pembangunan nasional selama satu tahun terkesan tanpa arah.
Pendapat berbeda diungkapkan Eko Sulistyo, deputi komunikasi politik kantor staf kepresidenan. Dia mengatakan pemerintah Jokowi-JK tidak leluasa mengimplementasikan Nawa Cita. Sebab, tahun anggaran sudah berjalan tapi pemerintah baru masuk sehingga tidak bisa berbuat banyak.
“Implikasinya, perencanaan proyek strategi pemerintah baru dimulai Juni 2015 dan menyebabkan penyerapan anggaran rendah,” kata Eko. Karena itu, jika konsep itu diteruskan, hal serupa terjadi di pemerintahan transisi ke depan.
Selain itu, pemerintah Jokowi mengubah nomenklatur kementerian sehingga menjadi hambatan dalam menjalankan program Nawa Cita. Tapi, tambah Eko, paling tidak pemerintah telah membangun pondasi dasar untuk modal produktif, bukan modal konsumtif yang selama ini menjadi orientasi pemerintah dahulu. “Jika orientasi konsumtif, kita akan kalah bersaing dengan dunia internasional. Bahkan di Asia saja kita tidak mampu bersaing,” kata Eko.