Tak banyak yang tahu jika Bung Karno saat diadili di Landraad Bandung dan Bung Hatta saat diadili di Den Haag tidak pernah didakwa dengan Makar atau Anslaag.
Pada saat gerakan nasionalisme lagi sangat kuat, lalu muncul Revolusi yang digerakkan oleh PKI pada 1926. Revolusi yang muncul di Sumatera Barat dan Jawa Barat tersebut dibarengi dengan pengumuman pembentukan Republik. Namun, seperti yang dikuatirkan oleh Tan Malaka, revolusi itu hanya sekedar “putch” yang cepat dihabisi oleh pemerintah Hindia Belanda. Akan tetapi akibat dari revolusi itu ternyata begitu membekas di kalangan masyarakat Belanda di Hindia Belanda.
Ketika PNI muncul di 1927, kalangan masyarakat Belanda di Hindia Belanda menjadi resah. Meski Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff tidak melihat kesamaan gerakan antara PKI dan PNI, namun masyarakat Belanda yang masih konservatif melihat PNI sebagai ancaman baru bagi kedudukan dan supremasi dari masyarakat Belanda di Hindia Belanda pada saat itu
Gubernur Jenderal d Graeff yang beraliran liberal tidak langsung melakukan penindakan. Ia yang beraliran liberal itu memandang bahwa pemerintah Hindia Belanda masih bisa bekerja sama dengan golongan nasionalis terutama nasionalis moderat yang diwakili oleh para Bupati di Hindia Belanda. Ia bahkan memuji peranan para Bupati tersebut dalam sidang Dewan Rakyat.
Namun, masyarakat Belanda terus mendesakkan tuntutan kepada Gubernur Jenderal de Graeff agar segera dilakukan penindakan terhadap PNI. Sang Gubernur Jenderal tetap tidak bergeming, karena ia percaya bahwa kerjasama dengan golongan nasionalis sangat diperlukan dan ia juga percaya bahwa PNI tidak akan melakukan tindakan sembrono seperti yang dilakukan oleh PKI
Dibawah kepemimpinan Bung Karno, PNI menjadi semakin radikal dan hal ini semakin memicu tekanan yang sangat hebat dari masyarakat Belanda (yang masih konservatif) kepada sang Gubernur Jenderal (yang beraliran liberal). Tekanan itu juga muncul di kalangan pemerintahan di Batavia. Ia mulai berubah pikiran, namun sebagai seorang liberal dan taat terhadap hukum, Gubernur Jenderal de Graeff enggan menggunakan kekuasaan luar biasanya sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, ia memilih menggunakan jalur hukum. Menurutnya, cukuplah kekuasaan luar biasa itu digunakan terhadap PKI dan untuk terakhir kalinya. Sang Gubernur Jenderal lalu mengumumkan sikap pemerintahannya dalam sidang Dewan Rakyat di Batavia.
Pada 24 Desember 1929, Jaksa lalu memerintahkan polisi untuk melakukan pengeledahan terhadap rumah para pemimpin PNI sekaligus melakukan penangkapan terhadap para pemimpin PNI tersebut. Bung Karno sebagai pemimpin PNI juga turut ditangkap. Awalnya Jaksa hendak mendakwa Bung Karno dan para pemimpin PNI lainnya dengan tuduhan anslaag/makar. Namun, ternyata mereka sama sekali tidak menemukan bukti bahwa para pemimpin PNI termasuk Bung Karno sedang mempersiapkan anslaag/makar tersebut, maka dicarilah tuduhan lain.
Pada 18 Agustus 1930, persidangan terhadap para pemimpin PNI dimulai. Di Landraad Bandung, Bung Karno didakwa dengan pasal penghasutan (Pasal 153 bis KUHP – telah dihapus berdasarkan UU No 1 Tahun 1946) dan terlibat dalam organisasi kejahatan (pasal 169 KUHP). Dakwaan ini sesungguhnya lemah, namun karena sudah diambil tindakan penegakkan hukum, pemerintah Hindia Belanda, yang diwakili Jaksa tetap berkeras untuk menggunakannya.
Menariknya Gubernur Jenderal Hindia Belanda, de Graeff yang beraliran liberal, saat itu malah mengira si Bung Besar akan bebas, mengingat lemahnya dakwaan terhadap si Bung Besar. Ia juga tak pernah berharap bahwa Bung Karno akan diputus bersalah, buatnya, cukuplah bila si Bung Besar diadili di Pengadilan dan hal itu diharapkan akan membawa efek gentar terhadap gerakan nasionalis radikal.
Namun, sejarah berkata lain, pada 22 Desember 1930 pukul 09.00 di Gedung Landraad Jalan Viadutch Negorij Bandung, Ketua Landraad Bandung Tn. Mr. Sigenbeek van Heukelom memvonis hukuman 4 tahun penjara bagi Bung Karno karena terbukti terlibat dalam organisasi kejahatan. Itu sebabnya Mr. Sartono, seorang ahli hukum cum politikus, mengambil keputusan untuk membubarkan PNI.
Sebuah keputusan yang dikecam oleh Bung Hatta. Tentu saja kita harus maklum perbedaan sudut pandang yang digunakan oleh Mr Sartono dan Bung Hatta. Sebagai ahli hukum, Mr Sartono berpandangan bahwa jika Bung Karno terbukti terlibat dalam organisasi kejahatan, maka secara mutatis mutandis, PNI adalah organisasi kejahatan. Sementara Bung Hatta menggunakan sudut pandang politik.
Bagaimana dengan Sang Gubernur Jenderal de Graeff? Ia mengaku terkejut dan tak percaya dengan keputusan pengadilan tersebut. Sesunggunya, Ia tak pernah berharap si Bung Besar akan diputus bersalah, karena itu Ia menyayangkan keputusan Pengadilan tersebut. Meski tak suka dengan keputusan tersebut, Sang Gubernur Jenderal tak segera bereaksi, ia memilih menunggu untuk bisa memperbaiki keputusan tersebut. Ia juga sempat menulis surat pada bos – bosnya di Belanda yang intinya menekankan putusan pengadilan terhadap bung Karno tersebut sangat memalukan martabat dari Hukum Belanda. Ia meyakini, jika pengadilan di gelar di Belanda, maka si Bung Besar akan dibebaskan.
Saat waktunya tepat, Gubernur Jenderal de Graeff memberikan semacam “grasi” kepada Bung Besar sehingga Bung Besar tak perlu menjalani seluruh hukumannya. Bung Karno lalu dibebeaskan pada 31 Desember 1931.