Saatnya kita bicara tentang mereka yang kehilangan nyawa, atau sakit-kapayahan, akibat menunaikan tanggung jawab selama hari pencoblosan. Bukan tentang elite politik yang membantah hasil hitung cepat, sebuah metode ilmiah yang telah teruji, tanpa menyodorkan secuil pun argumen ilmiah.
Saatnya kita bicara tentang puluhan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal setelah kelelahan bekerja. Terakhir, Minggu (21/4/2019) lalu, ketua salah satu KPPS di Kota Cimahi, Jawa Barat, harus meninggalkan keluarga untuk selamanya. Kesedihan serupa ditemui di beberapa kabupaten dan kota lain.
Saatnya kita bicara tentang petugas-petugas pengamanan pemilu yang kehilangan nyawa. Sedikitnya ada sembilan polisi yang dipaksa merelakan impian dan cita-cita.
Saatnya kita bicara tentang puluhan atau ribuan petugas lain yang sakit setelah menunaikan tugas selama hari pencoblosan. Juga tentang ratusan juta orang yang dengan derajat pengorbanan masing-masing memutuskan untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan menyalurkan hak suara.
Sesungguhnya, mereka inilah orang-orang yang menolak kalah. Mereka yang tidak menyerah demi menuntaskan sebuah tanggung jawab.
Ada memang sekelompok orang lain yang juga menolak kalah dalam gelaran pemilihan presiden tahun ini. Mereka yang membabi buta membantah hasil hitung cepat. Mereka yang tergesa-gesa menuding semua lembaga survei bayaran. Mereka yang balik mengklaim kemenangan berdasarkan hitung nyata (real count) yang dilakukan tim internal. Begitu katanya: hitung nyata.
Yang pertama-tama harus dicatat, hitung cepat (quick count) bukanlah lawan dari hitung nyata (real count) yang saat ini sedang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebagai sebuah metode saintifik, hitung cepat juga berangkat dari yang nyata. Data dan angka yang diolah para peneliti tidak dipanen dari langit, tapi dikumpulkan dari ribuan TPS terpilih.
Biarpun dinamai hitung cepat, ada sejarah demikian panjang di belakangnya. Metode ini bersumber ilmu statistik yang selama ratusan atau mungkin ribuan tahun dikembangkan oleh para ilmuwan. Ada proses trial and error yang menuntuk banyak pengorbanan. Untuk sebuah hajatan besar pilpres, ada pendidikan dan pelatihan bagi para petugas. Hitung cepat bukan hanya tentang hasil yang bisa diperoleh hanya dalam hitungan jam.
Apakah hasil hitung cepat bisa keliru? Ya tentu saja bisa. ‘Harus’ keliru, bahkan. Peneliti tidak menghitung satu per satu semua TPS di Indonesia. Ada prinsip keterwakilan. Itulah sebabnya mereka berbesar hati mencantumkan persentase batas kekeliruan (margin of errors).
Hasil hitung cepat dengan demikian adalah cerminan hasil hitung nyata yang prosesnya membutuhkan waktu berhari-hari. Dia bukan hasil pasti, tapi cerminannya. Kerja hitung cepat ibarat emak-emak yang sedang memasak sayur lodeh di dapur. Untuk menyebut sayur tersebut enak dan layak dihidangkan, dia cukup mencicipi satu-dua sendok kuah. Penilaian akhir tentu saja jadi otoritas seluruh anggota keluarga yang berkumpul di meja makan.
Untuk mengetahui hasil akhir pilpres, yang disepakati bersama sebagai hasil pasti, mau tidak mau, orang harus menunggui hitung nyata yang sedang dilakukan oleh KPU. Penolakan atas hasil hitung cepat sebaiknya membuat setiap orang bersabar. Bukannya buru-buru menuding semua lembaga survei sebagai lembaga bayaran yang bertugas menggiring opini. Bukannya buru-buru menungganginya dengan klaim kemenangan berdasarkan penghitungan internal yang tidak pernah dibuka ke publik.
Jauh lebih berguna jika kelompok penolak kalah menyodorkan metode saintifik yang digunakan dalam penghitungan internal itu. Silakan kaji kedua metode dalam iklim ilmiah yang membuka ruang lebar-lebar pada perbedaan pendapat. Buka semua data, hadirkan seorang penengah atau moderator. Biarkan publik menyimak lalu menyimpulkan.
Sesungguhnya demikianlah cara paling elegan untuk menolak kalah. Demikianlah elite menyumbang kematangan berpolitik pada rakyatnya. Bukan mengompori mereka dengan beragam klaim kosong. Bukan menyajikan debat kusir untuk sebuah topik yang jelas-jelas saintifik.
Pilpres, yang tahun ini dibarengkan dengan pemilihan legislatif, merupakan sebuah pesta raksasa yang melibatkan 190 juta orang pemilik hak pilih di lebih dari 800 ribu TPS. Persiapannya amat panjang, mulai dari tahapan pengadaan surat dan kotak suara sampai penyalurannya ke pelosok-pelosok negeri. Ada petugas yang harus menempuh perjalanan berjam-jam untuk memastikan hak demokrasi warga di kampung terpencil atau pulau terluar terlayani. Sebagian menempuh perjalanan darat yang tidak mudah, yang lain mengarungi laut yang tidak selalu ramah.
Di TPS-TPS itu, jutaan orang terlibat sebelum, selama, dan sesudah pencoblosan. Tidak sedikit yang terpaksa begadang menuntaskan penghitungan suara. Puluhan dari mereka harus kehilangan nyawa ketika menjalankan tugas. Entah karena kelelahan, entah karena kecelakaan di perjalanan.
Betapa menyedihkannya kalau pesta raksasa nan meriah itu, yang terwujud berkat kerja keras jutaan orang, rusak hanya karena penolakan buta atas sebuah kekalahan! Lebih menyedihkan lagi kalau penolakan itu dibuat berlarut-larut sehingga berujung pertengkaran atau bahkan perkelahian. Untuk apa?
Saatnya kita bicara tentang orang-orang yang menolak kalah secara ksatria. Tentang elite politik yang berbesar hati mengakui kemenangan lawan. Dengan pengakuan itu, mereka menolak kalah pada ketamakan yang menyempitkan arti pemilu menjadi sekadar urusan kalah atau menang.