Minggu, November 24, 2024

Khutbah High-Politics, Bukan Haid-Politik

Mawardin Sidik
Mawardin Sidik
Peneliti di Pusat Polling Indonesia (PUSPOLL)
- Advertisement -

Jangan bawa-bawa konten kampanye politik dalam khutbah jum’at di masjid. Imbauan seperti itu sering kita dengar dari MUI dan kalangan Ormas Islam. Sungguhnya itu sebuah permintaan yang positif.

Bayangkan, jika seorang khatib menyelipkan suatu agenda politik kelompok tertentu, jelas kacau. Lebih kacau lagi sembari memojokkan kelompok politik lain. Selain berpotensi memecah belah umat, tapi juga mengurangi keutamaan ritual shalat jum’at.

Saat ini, kita sedang menyambut pesta demokrasi pilpres dan pileg 2019. Masalahnya, kadang kita menjumpai beberapa oknum khatib yang menyampaikan pesan-pesan politik praktis. Suruh memilih calon ini dan itu, sekaligus menolak pihak lain.

Lebih kompleks lagi manakala si khatib berlindung dibalik pahaman bahwa perkara agama dan politik tidak bisa dipisahkan. Dalam konteks inilah dibutuhkan kearifan untuk menimbang resiko-resiko yang muncul tatkala politik yang penuh intrik dibawa-bawa ke dalam mimbar jum’atan.

Adalah benar bahwa agama dan politik tidak bisa dipisahkan. Tapi politik yang apa dan bagaimana dulu?

Di musim politik kini, terkadang politik dipersempit maknanya hanya dalam urusan capres: memilih Jokowi-Amin atau Prabowo-Sandi. Padahal, politik itu lebih dari sekadar urusan merebut kekuasaan. Sementara ibadah shalat jum’at harus dijaga sakralitasnya. Masjid harus steril dari permainan politik jangka pendek yang bisa memicu perpecahan.

Ironisnya, tak sedikit kita jumpai khatib menganjurkan atau menolak capres (dan calon kepala daerah) atau partai politik tertentu, kendati diungkapkan secara tersirat. Kepelikan bertambah runyam ketika “kampanye terselubung”  itu dijustifikasi lewat teks-teks agama sesuai nafsu kekuasaannya.

Kompleksitas persoalan ini memerlukan kategorisasi yang jelas, yaitu kembali ke pertanyaan awal tadi: politik yang apa dan bagaimana dulu?

Pada prinsipnya, risalah politik hukumnya halal dijadikan tema dalam khutbah Jumat. Yang dimaksud adalah politik nilai yang bersifat keumatan dan kebangsaan. Inilah politik tingkat tinggi (high politics) itu. Khutbah ‘high-politics’ berisi pesan-pesan politik substantif untuk mengajak jama’ah kepada cinta kasih, keadilan, kejujuran, perdamaian, dan lainnya.

High politics diletakkan dalam koridor mengajak kebaikan (amar ma’ruf) dan melarang keburukan (nahi munkar). Dengan begitu, khatib dapat bertindak sebagai bintang pemandu sekaligus tangki moral bagi para politisi, apa pun latar belakang warna politiknya. Narasi-narasi ketakwaan yang aktual seperti amanah dalam memegang jabatan, keberpihakan pada rakyat, anti korupsi, anti intoleransi, dan sebagainya dapat diaksentuasi oleh khatib.

- Advertisement -

Memang kelihatan klasik, tapi ibarat memutar lagu lama, tak ada salahnya diputar terus dengan nada yang merdu. Jangan sampai khatib melontarkan suara-suara bernada sumbang, mengoyak emosi jama’ah melalui gaya komunikasi provokatif dengan kata-kata kasar.

Syukur-syukur kalau jama’ah punya saringan nalar yang rasional dan kritis. Yang bahaya adalah jama’ah dengan tingkat kognisi yang belum memadai. Terjadilah infeksi saluran perasaan, amarah, reaksioner. Inilah konsekuensi dari khutbah ‘haid politik’. Maksudnya seperti orang haid atau menstruasi, sedikit-sedikit marah, emosi, ngamuk dan kegalauan stadium berat.

Model khutbah jumat ‘haid politik’ biasanya sarat dengan pesan-pesan agresif. Bukannya menyampaikan catatan koreksi yang konstruktif, malah menghina pemerintah. Bukannya meneguhkan integrasi antara Islam dengan Pancasila, malah mentogutkan dasar negara itu. Bukannya membawa pesan pemersatu bangsa, malah merusak bhineka tunggal ika dan mengacak-acak NKRI.

Khutbah berwatak kasar seperti itu sedapat mungkin dihindari dan dicegah. Alih-alih mendapat pencerahan selepas shalat jum’at, para jamaah malah pulang dengan darah yang mendidih. Karena itu, ada baiknya kita perlu memikirkan manajemen komunikasi khutbah.

Sebagai komunikator (monolog), seorang khatib disarankan memiliki kecanggihan mengartikulasikan pesan-pesan dan nilai. Wawasan kebangsaan yang luas adalah nilai plus, malah sangat dianjurkan. Dalam menyampaikan isi khutbah, transfer pengetahuan seyogyanya bertabur hikmah dan penuh kesantunan.

Yang pokok, tentu khatib harus menguasai ayat-ayat, hadis, dan diperkaya dengan pendapat para ulama maupun ilmuwan sains. Jangan lupa peka terhadap isu-isu aktual, agar khutbah kelihatan menarik, dan tidak garing. Agar jama’ah tidak ngantuk.

Idealnya, khatib menguasai pokok-pokok ilmu agama sekaligus ilmu pengetahuan umum.

Dari segi konten, persoalan kontemporer dapat dijadikan rujukan untuk dicarikan solusinya. Ayat dan hadis yang relevan dikutip. Pada saat yang sama, kreatifitas khatib dituntut untuk menawarkan solusi ilmiah sekaligus amaliyah, secara tekstual maupun kontekstual. Materi khutbah disusun secara singkat, padat, dan jelas dengan bahasa yang sederhana.

Hal-hal yang harus dihindari adalah tidak mencaci-maki, mengobarkan api permusuhan lantaran beda pilihan politik. Stigmatisasi kafir, musyrik, murtad, sesat, munafik, bid’ah, penista agama, dan cap negatif tidak boleh disemburkan, karena bisa mengganggu stabilitas temperatur batin jama’ah.

Politik kekuasaan yang bersifat profan tidaklah pantas diangkut ke mimbar jum’at yang sakral. Khatib juga tidak boleh menyampaikan politisasi unsur SARA, hoax, ghibah, dan fitnah. Khutbah seperti ini dapat meningkatkan emosi jama’ah.

Sebagai catatan, jama’ah atau audiens tidak boleh diabaikan keberagamannya. Tingkat pengetahuan jamaah pun berbeda satu sama lain. Termasuk afiliasi politiknya. Artinya, khutbah jum’at mewakili spektrum keberagaman jama’ah.

Adapun efek yang diharapkan adalah jamaah diajak untuk melakukan refleksi-kontemplatif bagaimana mentransformasikan spirit agama untuk kebajikan bersama. Sehingga jamaah mendapat pencerahan untuk meningkatkan ketakwaan ‘high-politics’, yang berdampak positif bagi seluruh warga negara Indonesia dan punya resonansi global.

Sudah saatnya kaum progresif atau moderat merebut mimbar jumat untuk menyebarkan high politics demi mewujudkan umat nusantara yang berkemajuan. Jika kaum moderat hanya sekadar penonton, hanya mengeluh di medsos, maka bukan tidak mungkin mimbar jum’at malah akan diserobot oleh kelompok ekstrem yang haid politik.

Kita mendambakan khatib-khatib yang bisa membatinkan kecerdasan dan kearifan Nurcholish Madjid, Gus Dur, Buya Syafii Maarif, Yusril Ihza Mahendra, TGB M. Zainul Majdi, Jalaluddin Rakhmat, KH. Wahfiudin Sakam, Syekh Abdul Somad dll, yang berkarakter progresif, inklusif dan cinta damai.

Mawardin Sidik
Mawardin Sidik
Peneliti di Pusat Polling Indonesia (PUSPOLL)
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.