CEO Bukalapak, memang ngawur. Pertama, dia memakai data usang. Kedua, dia usil nyentil soal pilpres. Tapi, esensi yang dikatakannya benar: perhatian pemerintah terhadap riset sains dan teknologi memang masih rendah. Sangat rendah, bahkan jika kita memakai data mutakhir.
Menurut “R&D Magazine” terbitan awal tahun ini, Indonesia masuk dalam kelompok 40 negara dengan anggaran riset terbesar di dunia: yakni US$ 9,9 miliar (2017).
Tapi, jika yang dimaksud adalah kepedulian atau perhatian pemerintah, anggaran Indonesia tadi sangat rendah: hanya 0,3% dari GDP. Indonesia ada di urutan paling bontot dari 40 negara tadi. Prosentase anggaran kita hanya separo dari Pakistan dan Bangladesh. Kalah jauh dari Malaysia dan Singapura. Ini merupakan catatan penting bagi pemerintah Jokowi dan siapapun yang akan terpilih berikutnya.
Bagaimana prediksi 2019? Menurut majalah tadi, Indonesia masih paling bontot dari 40 negara dalam prosentase anggara terhadap GDP dan paling kecil dalam rasio jumlah periset per 1 juta penduduk. Anggaran baru satu aspek saja. Kita belum membicarakan apa yang diriset dan prioritasnya bagi negeri kita.
Berbeda dengan Achmad Zaky, saya tidak terlalu silau pada Revolusi Industri 4.0. Riset-riset terapan untuk memecahkan masalah nyata dalam bidang pertanian, pangan, energi dan teknologi tepat guna adalah prioritas. Jadi agak menggelikan jika kemudian Achmad Zaky yang juga pelaku Revolusi Industri 4.0, mengalami perundungan sampai ada ajakan boikot bukalapak, hanya karena ia melakukan kritik?
Dulu kita menertawakan orang-orang yang hendak melakukan boikot terhadap Sari Roti, Metro TV dan Traveloka. Apakah mengkritik pendanaan riset di Indonesia sama dengan mengkritik Jokowi?Achmad Zaky mungkin salah memberi data, tapi kritiknya sah. Kepedulian terhadap riset di negara ini masih rendah. Lagipula, jika memang mengkritik Jokowi, apakah harus direspon dengan pemboikotan? Lalu apa yang boleh dikritik?
Dulu saya pernah menulis Kemajuan ilmu-teknologi memungkinkan perusahaan memproduksi barang (mobil, kulkas, lampu, AC) yg hemat energi dan murah. Tapi, mengapa konsumsi energi justru terus meningkat? Karena makin murah sebuah produk, makin banyak produk itu dijual dan dipakai; jika perlu sekali pakai dan buang karena murahnya.
Efisiensi energi akan sia-sia jika kita tidak mengimbanginya dengan gayahidup minimalis: hidup sederhana, sedikit barang, hemat uang, bekerja lebih sedikit dan karenanya lebih banyak waktu senggang untuk menikmati hidup. Pernyataan Ahmad Zaky ini hanya menggambarkan betapa gagapnya kita dengan budaya riset dan pengembangan teknologi.
Riset akan membuat kita memiliki pemahaman mendalam terhadap masalah. Pemerintah dan lembaga riset, seperti universitas, semestinya punya keberpihakan terhadap kepentingan publik. Banyak universitas dunia kini mempromosikan bidang kajian baru: komunikasi sains. Input ilmu pengetahuan sangat penting dalam kebijakan publik: dari pencegahan bencana hingga tata kota, dari pembangunan pertanian hingga kelautan.
Intelektual universitas baik doktor atau profesor berhutang kepada publik untuk mendekatkan riset mereka dengan kehidupan sehari-hari: vulkanologi, hidrologi, botani, klimatologi. Persamaan level pengetahuan mendorong semua komponen masyarakat berkolaborasi memecahkan problem bersama. Bagi saya yang penting, apa sebenarnya fungsi riset itu? Untuk kepentingan publik atau kepentingan industri?
Dua buku EF Schumacher, “Kecil itu Indah” dan “Keluar dari Kemelut”, nampaknya perlu dibaca dan didiskusikan kembali untuk mencari arah baru pembangunan nasional kita. Ditulis pada 1970-an, pesannya justru kian relevan. Pertumbuhan ekonomi vs kerusakan lingkungan; GDP vs kebahagiaan; “kemajuan” vs kesederhanaan; materialisme sains vs spiritualisme; konsumerisme/keserakahan vs kecukupan.
Cara pandang kita terhadap riset juga punya celah. Dulu Muhammad Natsir, pernah menyebut riset harus punya nilai bagi industri. ”Inovasi tidak bisa muncul tanpa adanya perekayasa. Hasil riset untuk menjadi sebuah inovasi dan teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat, harus dapat dihilirisasi dan dikomersialisasikan ke industri kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat,” katanya.
Lalu bagaimana dengan riset yang berkaitan dengan konflik sosial budaya? Kemanusiaan? Teknologi Kebencanaan. Bukankah hal-hal yang semacam ini tidak punya daya dukung langsung terhadap industri? Apa ya mau dilupakan? Lantas jika mengkritik pemerintah yang pro Industri tapi tidak Pro manusia, apakah saya akan diboikot juga?