Laporan Utama The GeoTimes Magazine, vol. 1 No. 46 (16-22 Februari 2015)
Pembangunan fisik Waduk Jatigede selesai. Sejumlah desa bakal ditenggelamkan. Padahal, warga menolak direlokasi, sebelum pemerintah memenuhi prasyarat eksodus massal dari kampung halaman.
Dalam salah satu kampanye Pemilihan Presiden 2014, Joko Widodo menyatakan misinya adalah Indonesia mencapai ketahanan pangan. Setelah dilantik sebagai presiden, Jokowi kembali menegaskan keinginan itu. Untuk mencapai ketahahanan pangan, Jokowi berambisi besar untuk membangun 49 waduk. Ini bertambah dari rencana awal yang hanya sekitar 30 waduk.
Salah satu yang direncanakan pembangunannya selesai tahun ini adalah Waduk Jatigede, yang sudah mangkrak nyaris 46 tahun. Waduk Jatigede adalah salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014.
Pembangunan Waduk Jatigede sudah mencapai proses final. Menurut Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, pembangunan Waduk Jatigede telah mencapai 99,4 persen. Biaya yang dikeluarkan sudah mencapai US$ 467 juta atau sekitar Rp 5,604 triliun. Pemerintah masih akan menyiapkan sekitar Rp 1 triliun lagi untuk proses relokasi sekitar 11.000 keluarga yang belum dipindahkan.
Waduk ini direncanakan bisa mengairi 90 ribu hektare sawah di beberapa daerah sekitar Sumedang, dari Indramayu, Cirebon, hingga Majalengka. Nantinya waduk ini juga menghasilkan listrik tenaga air berdaya 10 megawatt dan mengalirkan air 3,5 meter kubik per detik.
“Untuk soal pembangunan waduk, saya termasuk yang mendukung program Pak Jokowi. Pembangunan waduk itu keputusan yang sangat dibutuhkan, karena multiguna,” kata Indratmo Soekarno, pengajar di Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung.
Indratmo menganggap keputusan Jokowi membangun waduk adalah keputusan “tepat”. Sebab, Indonesia masih sangat butuh waduk untuk menyikapi iklim subtropis di Indonesia. Negara subtropis seperti Indonesia butuh waduk, karena kondisinya yang selalu kekurangan air saat musim kemarau dan selalu kebanjiran ketika musim hujan. Karena itu, waduk diperlukan agar bisa mengendalikan volume air dan fungsi lain seperti pengairan atau penyedia listrik. Namun, target Jokowi untuk membangun 49 waduk masih kurang dan sedikit “tidak masuk akal”. Indonesia justru masih butuh sekitar 100 waduk lagi.
Menurut Indratmo, dari sisi waktu, mustahil Jokowi mampu memenuhi target membangun 49 waduk dalam masa kepemimpinannya. Andai tiap waduk volumenya 30 juta kubik, masih ada kemungkinan 49 waduk dibangun dalam waktu lima tahun. Tetapi volume 30 juta kubik itu tergolong kecil untuk ukuran waduk yang dibutuhkan. Sebaliknya, jika volume waduk lebih besar dari 30 juta kubik, maka target membangun 49 waduk dalam masa lima tahun pemerintahan Jokowi diragukan akan tercapai.
Di sisi lain, Indratmo menekankan empat hal penting yang perlu diperhatikan dalam membangun waduk, yaitu kelayakan teknis, kelayakan sosial, kelayakan ekonomi, dan kelayakan lingkungan. Jika masyarakat menolak, maka pembangunan Waduk Jatigede jelas tidak memenuhi syarat layak secara sosial. Secara ekonomi, masyarakat yang sudah berkorban karena terkena dampak proyek bendungan juga harus diuntungkan. Waduk Jatigede juga harus layak secara lingkungan. Menurut data, 1.389 hektare lahan Perhutani akan dikorbankan untuk pembangunan Waduk Jatigede. Total ada 810 ribu pohon bertumbangan dan keanekaragaman hayati di dalamnya bakal punah. Lahan yang diambil ini pun belum diganti, meski sudah ada beberapa calon pengganti yang direncanakan di Kabupaten Sumedang dan Ciamis.
Tak kalah penting, pemerintah dikenal tak selalu cakap dalam hal pemeliharaan infrastruktur. Perlu melihat pengalaman pemerintah dalam hal perawatan waduk. Ada beberapa contoh waduk yang terbukti lalai dirawat dengan serius. Sebagai contoh Waduk Saguling di Jawa Barat, yang sedimentasinya mencapai 4 juta kubik tiap tahun. Lebih buruk lagi Waduk Cirata, pembangkit listrik tenaga air terbesar di Asia Tenggara, yang sedimentasinya mencapai 6 juta kubik tiap tahun. “Kelemahan bangsa ini adalah tidak bisa merawat apa yang sudah ada,” kata Indratmo.
Secara makro, ada dimensi lain yang perlu dilihat dari kencangnya tren pembangunan bendungan atau waduk di Indonesia dan negara-negara berkembang lain seperti Brasil, Tiongkok, India, serta sejumlah negara di Asia Tenggara dan Afrika. Pertanyaannya, untuk siapa waduk dibangun? Apakah benar untuk kepentingan rakyat atau justru sekadar untuk memenuhi kepentingan industri terkait proyek-proyek investasi negara pemberi utang pembangunan waduk?
Studi panjang yang dirilis Oxford University pada 2014 menyimpulkan megaproyek waduk di seluruh dunia lebih besar mudarat daripada manfaatnya. Penelitian terhadap 245 waduk besar yang dibangun sejak 1934 tak menemukan indikasi manfaat yang besar untuk rakyat. Studi ini menemukan rata-rata terjadi pembengkakan biaya berlipat, di samping waktu pembangunan waduk yang sangat lama dan sering molor. Bahkan bisa dikatakan pembangunan waduk merupakan proyek yang pembengkakan biayanya paling tinggi dibandingkan proyek-proyek infrastruktur lain. Temuan ini bahkan belum memasukkan dampak kerusakan yang ditimbulkan terhadap masyarakat dan lingkungan serta pengaruhnya terhadap inflasi dan pembengkakan beban utang seiring melemahnya nilai tukar mata uang negara-negara pemilik waduk.
Pembangunan waduk pernah dikritik keras dan sempat ditinggalkan banyak negara pada 1990-an. Kecaman terhadap pembangunan waduk terjadi karena dampak buruknya terhadap lingkungan dan menyebabkan jutaan orang tercerabut dari kampung halaman. Lembaga-lembaga pemberi pinjaman utama seperti Bank Dunia kemudian mundur dan mengurangi peran dalam proyek-proyek waduk raksasa untuk pembangkit listrik. Bank Dunia dan lembaga-lembaga donor lain merupakan pemberi utangan utama sebelum tahun 1990-an. Belakangan ini, meski Bank Dunia mulai meningkatkan lagi pinjaman untuk proyek waduk dari hanya beberapa juta dolar pada 1999 menjadi US$ 1,8 miliar pada 2014, toh angka itu hanya 2 persen dari total investasi proyek listrik tenaga air di seluruh dunia.
Peran dominan Bank Dunia kini sebagian telah digantikan oleh bank-bank pembangunan nasional dan investor swasta di negara-negara berkembang seperti Tiongkok, Brasil, Thailand, dan India. Bangkitnya kolaborasi pemerintah dan swasta ini diperkuat dengan sokongan bank-bank pembangunan regional yang terbukti menjadi kekuatan finansial luar biasa. Lembaga-lembaga keuangan baru ini tak begitu dikenal reputasinya dalam hal transparansi, apalagi soal kepedulian sosial dan lingkungan.
Beberapa contoh di negara-negara lain menunjukkan bagaimana kepentingan industri tampak lebih dominan ketimbang kepentingan untuk rakyat. Laos, misalnya, membangun bendungan Xayaburi dan menjual listriknya ke Thailand, dengan mengorbankan kehidupan dan nafkah rakyat yang sepanjang sejarah bergantung hidupnya di Sungai Mekong. Di Republik Demokratik Kongo di Afrika, listrik dari bendungan Inga 3 akan dijual ke perusahaan-perusahaan pertambangan dan Afrika Selatan, di sisi lain 96 persen rakyat Kongo minim akses listrik.
Menurut laporan lembaga International Rivers yang dikeluarkan pada 2012, sejumlah perusahaan dan lembaga keuangan Tiongkok terlibat dalam proyek 308 bendungan atau waduk di 70 negara di seluruh dunia, kebanyakan di Asia Tenggara, sebagian lagi di Afrika, Amerika Latin, dan Pakistan. Proyek-proyek itu bisa dilihat pula sebagai integrasi vertikal untuk memasok listrik ke proyek-proyek industri yang dimiliki lembaga dan negara pemberi pinjaman.
Gambaran ini sedikit banyak bisa memberikan bayangan, siapa kira-kira yang bakal banyak menerima manfaat terbesar dan siapa yang kemungkinan besar akan menanggung risiko bencananya saat ini atau di masa depan.