Joko Widodo memenangi kursi kepresidenan antara lain lewat kampanye yang memukau tentang “Revolusi Mental”. Itu merupakan versi ringkas dari Nawacita, atau sembilan program, yang pada intinya ingin menegakkan kemandirian ekonomi-politik dan memperkuat kepribadian bangsa.
Namun, pada enam bulan pertama pemerintahannya, makin tampak Jokowi lebih terobsesi pada pembangunan infrastruktur fisik. Baik Presiden maupun para menteri gencar memikat investasi asing ataupun domestik dalam pembangunan infrastruktur: pelabuhan, jembatan, jalan, dan jaringan kereta api.
Taktik memasarkan Indonesia itu mungkin berhasil. Pekan ini, pemerintah Cina dikabarkan sudah memberikan komitmen untuk membangun 24 pelabuhan, 15 bandar udara, 1.000 kilometer jalan raya, dan 8.700 kilometer rel kereta api, termasuk jalur “kereta peluru” Jakarta-Bandung dan Jakarta-Surabaya.
Jika itu belum cukup, investasi swasta, dana pensiun, dan bahkan dana asuransi kesehatan masyarakat (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) kini didorong masuk pula ke sektor infrastruktur publik, termasuk pembangunan sekitar 50 bendungan. Pendek kata, kita sedang dan akan segera menyaksikan “revolusi fisik” besar-besaran.
Di sektor pertanian dan swasembada pangan, yang menjadi ambisi lain pemerintah, investasi swasta asing dan domestik juga digalakkan. Raksasa multinasional Monsanto dan Cargill, produsen benih padi, jagung dan kedelai rekayasa genetik, kini menggandeng Bank Rakyat Indonesia untuk “membantu petani meningkatkan produktivitas”. Proyek lahan pertanian skala besar (food estate) yang padat modal era Susilo Bambang Yudhoyono kini dihidupkan kembali.
Namun, ke mana arahnya? Dan, apa serta berapa yang harus dibayar Indonesia? Tak ada makan siang gratis, kata orang. Jika ada sedemikian banyak infrastruktur publik dimiliki swasta atau asing, bagaimana pemerintah bisa mengontrol manfaatnya untuk rakyat? Di mana letak kehadiran negara, salah satu slogan penting Nawacita, bagi rakyat? Di mana letak kemandirian bangsa?
Kita bisa belajar dari era Orde Baru. Jika pembangunan fisik dan ekonomi yang jadi ukuran, Presiden Soeharto sudah melakukannya dengan lumayan baik. Tapi, kita juga tahu betapa mahal ongkos yang dibayarkan: pemberangusan demokrasi, pelanggaran hak asasi manusia, korupsi dan dekadensi mental yang merajalela, dan lunturnya kemandirian bangsa.
Pada era itu, daya kompetisi Indonesia tidak membaik dan ketergantungan pada pinjaman serta modal asing begitu kental. Swasembada pangan tidak bertahan lama. “Revolusi Hijau” menjerumuskan petani ke dalam candu pupuk kimia yang merusak tanah dan menurunkan produktivitas, serta menjejali konsumen pangan dengan racun dan produk rekayasa genetik yang merusak kesehatan. Indonesia terjerembap dalam krisis multidimensi yang sekaligus mengakhiri rezim Soeharto.
Era reformasi tidak mengubah secara mendasar paradigma, atau pola pikir, pembangunan Indonesia. Obsesi pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan fisik masih dominan, yang terbukti tidak mengurangi ketergantungan, justru memperkuat. Sementara itu kita tetap kelabakan dalam mempertahankan ketahanan pangan serta energi, di tengah kebrobrokan sistem hukum dan korupsi yang tetap tak tersembuhkan. Di situlah “Revolusi Mental” menemukan gaung dan diharapkan menjadi obat mujarab.
Sayang, tampaknya Presiden Joko Widodo justru melupakan janji kampanyenya. Pemerintahan ini masih terjebak dalam mazhab lama “infrastrukturalisme” untuk mendorong “pertumbuhan ekonomi”.
Kita bukannya tidak membutuhkan pembangunan jalan dan pelabuhan. Pertumbuhan ekonomi juga bukan gagasan yang sama sekali nonsens. Tapi, sangat penting untuk mengukur dosisnya dan menakar dampaknya.
Pertumbuhan GDP (pendapatan kotor negara) bukan satu-satunya ukuran kemajuan pembangunan sebuah negeri, bahkan bukan ukuran yang tepat. Sudah tiga dekade terakhir, ekonom Mahbub ul Haq dan Amartya Sen memperkenalkan tolok ukur yang lebih komprehensif dengan memasukkan aspek sosial. Ini kemudian dikenal sebagai Indeks Pembangunan Manusia.
Tahun lalu, Michael Porter, ekonom Harvard, membuat tolok ukur yang lebih sempurna lagi: Indeks Kemajuan Sosial (Social Progress Index/SPI), yang memasukkan aspek sosial, penghormatan pada hak asasi serta kelestarian alam. Negeri-negeri terkaya di dunia seperti Jepang dan Amerika Serikat berada di peringkat 15 dan 16 kemajuan sosialnya.
Indonesia berada di peringkat 86, jauh di bawah Malaysia, Filipina, dan Thailand. Dalam aspek pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, Indonesia bahkan di bawah negeri-negeri yang sering kita pandang sebelah mata seperti Sri Lanka, Namibia, dan Botswana.
Dengan melupakan “Revolusi Mental” yang memupuk peningkatan modal sosial, pemerintahan Joko Widodo tak hanya mengkhianati janji kampanye, tapi juga menjerumuskan Indonesia dalam kesalahan sama seperti rezim-rezim sebelumnya.***