Dua peristiwa di awal bulan Desember yang melibatkan orang Papua mengantarkan saya pada ingatan dua tahun lalu. Bukan suatu peristiwa berdarah dan pembunuhan seperti yang saat ini terjadi pada 1 Desember kala Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menggelar demonstrasi menuntut haknya untuk merdeka namun mendapatkan represi dari organisasi yang mengatasnamakan dirinya anti separatis dan dari Polisi.
Kemudian, peristiwa besoknya tentang penembakan yang terjadi di Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Papua – tapi ingatan tentang kawan saya seorang Papua dari Wamena, Dani (ini nama panggilannya saja, marganya, kata dia jangan dituliskan).
Dia anak kedua dari lima bersaudara, memilih berkuliah di Makassar di salah satu Perguruan Tinggi Swasta jurusan Teknik Sipil di tahun 2014, dia cukup tua untuk masuk ditahun itu karena kelahiran 1988, tujuh tahun lebih tua dari saya. Menurutnya untuk kawasan Indonesia Timur, Makassar merupakan kota studi. Di Makassar dia tinggal di Asrama Mahasiswa Papua.
Kami bertemu di lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN), berada pada satu posko yang sama di Desa Bulu’tana – masih termasuk dalam kawasan Malino, salah satu objek wisata alam hutan pinus dan kebun teh yang berada di Kabupaten Gowa. Sering memakai bucket het berwarna coklat lusuh, mengagumi Soekarno dan Che Guevara. Dani ditumbuhi brewok yang lebat, seminggu sudah di cukur brewoknya kembali penuh. Di antara kesembilan dari kami saya yang termasuk paling dekat dengannya. Dia paling dikenal oleh warga desa dan paling disayangi. Betapa tidak, Dani sangat rajin dan dengan mudah membaur.
Dari dia saya mengenal Papua lebih dekat walau hanya melalui cerita. Cerita yang lebih serius tiap malam terungkap ketika suasana makin larut di beranda posko. Yang paling sering adalah soal Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera.
Ada sekira 800.000 penduduk Papua yang seharusnya menentukan haknya sendiri-sendiri sesuai dengan Perjanjian New York tahun 1962 namun kelicikan dilakukan pemerintah di tahun 1969 itu dengan membuat Dewan Musyawarah Pepera (DPM). DPM terdiri dari 1025 sebagai perwakilan penduduk Papua. Belum lagi ada intimidasi militeristik yang dilakukan. Warga Papua tidak menerima dan terus melakukan perjuangannya untuk merebut kemerdekaan atas Papua barat.
Tahun 1977 keluarga Dani melakukan perjalanan dari Wamena ke Papua Nugini dengan berjalan kaki. Ada juga yang memilih mempertahankan kampung, termasuk Tete-nya baik dari Bapak dan Mama (di Timur lebih akrab memanggil kakek dengan sebutan Tete).
Mereka yang meninggalkan kampung hanya untuk mempertahankan marga biar tidak punah – soal kepunahan marga ini menjadi problem di sana, misalnya di Keerom, baru-baru ini ada lima suku yang punah: suku Yaper, suku Bagi, suku Tu, suku Totar, dan suku Tagusom. Penyerangan terjadi kata Dani karena mereka dianggap sebagai pemberontak, ada juga yang menuduh mereka OPM, ada juga yang menyebut “pasukan buatan Belanda.”
Kedua orang tua Dani yang waktu itu masih berusia belasan tahun ikut meninggalkan kampung, tapi mereka tak meneruskan ke Papua Nugini. Mama Dani di pesankan untuk sampai ke Jayapura saja sementara Bapaknya di bantu oleh Bapak tua (begitu sebutan Dani kepada paman tertuanya) yang seorang misionaris ke Jayapura. Banyak yang meninggal dalam perjalanan karena terserang malaria, ada juga yang hanyut saat menyeberang sungai. Lalau Tete Dani yang bertahan di kampung meninggal.
Kisah ini meninggalkan prasangka tapi Dani selalu meyakinkan saya, “kawan kalau sa mama dong cerita ini dong nangis,” begitu katanya sama seperti terakhir kali ketika saya menanyakan kembali kisah ini. Cerita ini awalnya dituturkan oleh sang Nene’ yang masih hidup di Sentani, “tra tau kenapa tapi cerita ini dikasi tau turun,” kembali Dani meyakinkan saya.
Apakah ini sebuah cara untuk memupuk dendam kepada pemerintah? Melihat Dani, saya yakin tidak. Ia masih menyimpan harapan jika haknya sebagai orang Papua untuk juga hidup sejahtera dan tidak teralienasi dari zaman dan bumi Indonesia.
Ada sentimen terhadap Ibukota yang terus dijangkit psoriasis ekonomi (kapitalis). Sentimen itu begitu terasa jika melihat wawancara Tempo.co di youtube bersama juru bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Bazoka Logo. satu alegori menohok yang ia sebutkan, yaitu “Pemerintah Kolonial Jakarta” untuk menandakan bahwa sistem pemerintah dijalankan dengan asas demokrasi “dari Jakarta oleh Jakarta dan untuk jakarta.”
Sebuah sindiran yang saya rasa pantas dikatakan oleh orang Papua yang terus merasai segala ketimpangan yang terjadi. Coba bicara dengan mereka tapi ingat jangan menganggap anda lebih bermartabat dibanding mereka. Gelagat itu sempat kami rasakan ketika melihat Dani sering dimintai oleh warga untuk membantunya entah mengerjakan apa saja: mengangkat bambu besar seorang diri, mencampur adonan semen, dll. Dia merasa ada ketidakenakan jika menolak permintaan warga sehingga kami akhirnya sepakat melarang Dani sering muncul di hadapan warga selain mengerjakan program kerja.
Dia setuju sama setujunya dengan orang Papua yang menjadikan 1 Desember menjadi hari peringatan untuk kemerdekaan Papua Barat. 1 Desember 1961 adalah hari dimana sebuah lembaga bernama Papua Raad mendeklarasikan diri sebagai sebuah negara yang berdaulat dengan lambang negara Bintang Kejora. Kemerdekaan bagi Papua sudah dijanjikan oleh Belanda, karena saat Indonesia diproklamirkan sebagai sebuah bangsa Papua masih di bawah administrasi Kerajaan Belanda waktu itu.
Selang sembilan belas hari, Soekarno berupaya merebut kembali Papua dan mengirim pasukan militer. Anderas Harsono seorang Jurnalis cum aktivis HAM dalam blognya andreasharosono.net menuliskan bahwa pasukan yang menyusup ke Papua mengakibatkan gelombang eksodus warga Papua ke Papua New Guinea.
Ketidakpastian Papua pun terus berlanjut dan puncaknya pada Pepera. Apalagi setelah masuknya freeport yang diterima oleh rezim orde baru dengan tangan terbuka. Perusahaan ini terus mengeruk bumi Papua, dari open pit (penambangan terbuka) sampai dengan menambang bawah tanah. Sejak 2010 tambang bawah tanah yang bernama Deep Ore Zone (DOZ) beroperasi – ada tiga tambang bawah tanah, dua lainnya adalah Big Gossan, dan Deep Miil Level Zone (DMLZ).
Tanah harus dilindungi tanpa dalih adakah keuntungan manusia dibalik itu semua. Dalih terhadap keuntungan itu akan menempatkan manusia sebagai makhluk yang paling berhak menguasai alam. Bagaimana dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan? Relasi terhadap tanah dan alam terjadi apabila tanah tetap lestari. Dani yang mencintai kampung halamannya dan tanah leluhurnya juga biasa menggurutu soal eksploitasi yang terjadi di Papua.
Jika ia mencoba mengejar cerita tentang perjuangan masyarakat Papua dari Mamanya, Dani mendapat jawaban, “kalau ini cerita tidak baik jangan kita pelajari nanti kita jadi salah jalan.” Mamanya takut kalau Dani akan mendapat bahaya bahkan maut jika terlibat dengan gerakan..
Tapi rasa haru langsung sirna ketika Dani mulai membelokkan cerita tentang ganja Papua yang katanya enak. Iya, aku juga pernah mendengar itu dari orang lain. Dengan serampangan Dani mencomot sebuah kalimat di kitab Kejadian 1:29, “Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan…” sebagai upaya melegalisasi ganja, candanya di beranda Posko.