Lagi-lagi, umat manusia Indonesia merayakan polarisasi dengan begitu meriahnya. Kali ini, instrumen pertempuran yang dipakai adalah film, sebab Hanum & Rangga ditayangkan bersamaan dengan A Man Called Ahok.
Tak ayal, para penggembira politik pun bersaing keras. Ada yang menceritakan betapa menyentuh dan inspiratifnya Hanum & Rangga. Ada juga yang sempat-sempatnya menyebarkan tangkapan layar dari M-Tix, yang menunjukkan betapa sepinya deretan kursi saat Hanum & Rangga diputar. Haha. Aseeek.
Sebagai warga Muhammadiyah kultural sekaligus pernah memiliki sejarah kekaguman yang begitu panjang dan sentimentil kepada Bapak Amien Rais, tentu saya lebih tertarik mengomentari Hanum & Rangga. Bukan dari konten filmnya, melainkan semata-mata pada pola marketing Hanum & Rangga, berikut variabel-variabel lain yang memengaruhi hasil pemasarannya.
Begini. Hanum & Rangga memang diangkat dari novel Hanum Rais. Sebelumnya, Hanum sudah menulis novel, dan juga difilmkan dengan cukup gemilang. Bedanya, jika film-film Hanum yang lama mengambil titik tekan pada pengalaman-pengalamannya, juga tafsir-tafsirnya atas Islam dan umat muslim di Eropa, kali ini Hanum tampil dengan poin utama dirinya sendiri. Judul filmnya pun mengambil namanya, beserta nama suaminya.
Ini mungkin dirasa agak “idih” bagi banyak orang. Semacam kalimat: “Ampun deh, begitu amat sih Hanum?”
Suara-suara “idih” itu muncul karena ada rangkaian koinsidensi menarik. Kita tahu, belum lama berselang nama Hanum melejit seiring kasus Ratna Sarumpaet. Lebih lengkap lagi, saat ini Hanum juga maju sebagai calon legislatif DPRD Provinsi DIY.
Walhasil, tercampur baurlah imaji Hanum & Rangga di benak publik. Film yang dimainkan oleh Rio Dewanto dan Acha Septriasa itu tiba-tiba jadi mirip baliho Hanum Rais saja, yang dipajang di sudut-sudut jalanan Yogyakarta. Hanum & Rangga sontak terkesan jadi sekadar media untuk menaikkan nama Hanum Rais, sejalan dengan langkah politik terdahsyat dari ayahandanya, yaitu mendorong empat dari lima anaknya untuk terjun ke kancah politik Republik Indonesia.
Pendek kata, meskipun tak ada muatan politik sedikit pun di dalam Hanum & Rangga, citra yang tertangkap publik jadi jauh berbeda. Ia tidak berhasil tampil murni sebagai karya sinema, sebab ada beban-beban konteks promosi politik yang tercipta sebagai hasil dari koinsidensi dan momentum yang—bisa jadi—kurang tepat.
Kompleksnya situasi tersebut menjadi lebih parah lagi, karena tersebar foto selembar surat edaran. Surat itu dikirim dan ditandatangani oleh Hanum Salsasbiela Rais kepada Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), berisi ajakan agar segenap mahasiswa berikut staf UMS menonton film Hanum & Rangga.
Mulanya, saya tidak yakin apakah benar surat itu asli. Tetapi, begitu saya intip akun Facebook resmi UMS, surat tersebut memang mejeng di sana, diunggah sebagai ilustrasi ajakan formal dari pihak rektorat agar warga UMS berbondong-bondong menonton. (Unggahan tersebut sudah dihapus, menyusul riuhnya komentar yang bermunculan).
Sampai di situ, saya sendiri ikut-ikutan “idih”. Lho lho, kok jadi sejauh ini?
Memang tidak ada yang salah dengan sebuah ajakan, imbauan, ataupun seruan. Tidak ada unsur pemaksaan di sana, tidak ada pelanggaran hukum di sana. Namun, persis di sinilah kelengahan banyak orang akan betapa sebuah ajakan bukanlah tindakan yang bebas nilai.
Coba sekarang bandingkan dengan situasi jika, misalnya, keluarga Kraton Yogyakarta menyebarkan ajakan tertulis kepada segenap lurah di DIY untuk hadir pada pembukaan Sekaten. Ini cuma misalnya lho ya. Nah, meskipun secara tertulis tidak ada paksaan sedikit pun, apakah Anda kira para lurah itu akan dengan enteng saja bilang malas datang, karena Kraton cuma mengajak, bukan memaksa?
Hehehe, enak saja. Ya enggak bisa begitu. Kenapa? Sebab meskipun sekadar ajakan, ada relasi kuasa yang bermain dalam komunikasi ajak-mengajak itu. Ada rasa tertentu yang berada sekian tingkat di atas sungkan, untuk menolaknya.
Bandingkan juga, misalnya, andai Gibran bin Jokowi menyebarkan surat edaran yang sama ke kantor-kantor DPC PDIP se-Jawa Tengah, agar segenap warga banteng beramai-ramai membeli martabaknya. Itu memang secara harfiah cuma berupa ajakan, tapi ada bobot psikologis yang jauh lebih besar daripada sekadar ajakan.
Barangkali Anda pun pernah masuk ke dalam situasi seperti itu, saat bos Anda beli rumah baru, mau pindahan, lalu bilang, “Eh, Mas, mbok saya dibantu besok Sabtu buat pindahan. Ini nggak maksa lho ya, tapi saya akan sangat berterima kasih kalau kamu mau datang.”
Anda berani cuek saja dan mematikan ponsel di hari tersebut? Hahaha. Ngimpi!
Model-model ketidakpekaan atas bahasa seperti itu sesungguhnya sangat lazim terjadi belakangan ini. Musababnya saya kira karena cara berpikir formalis dan tekstual sudah mewabah, sehingga orang malas menangkap makna, dan mengambil logika-logika eksak belaka.
Persis misalnya ketika dalam debat-debat bermuatan tafsir agama, lawan debat Anda kepepet lantas bertanya, “Maaf, Anda muslim?”
Apakah Anda akan menangkap pertanyaan tadi sekadar sebagai pertanyaan? “Lho kan cuma nanya, Anda beneran muslim apa bukan.” Iya, itu memang cuma bertanya, tapi pertanyaan yang alangkah nggapleki-nya.
Maaf, jadi ngelantur. Poinnya, surat ajakan dari Hanum tadi tidak dapat dilihat semata-mata sebagai ajakan saja. Bagaimanapun dia anak ningrat Muhammadiyah, dan UMS merupakan salah satu lembaga pendidikan Muhammadiyah yang tentu berposisi inferior di hadapan seorang legenda seagung Amien Rais.
“Ya Allah, kamu lebay banget! Hanum itu kan kader Muhammadiyah, kan ya biasa saja mengajak warga Muhammadiyah untuk mengapresiasi hasil karya kadernya! Ingat, dulu waktu film Sang Pencerah diputar, ajakan semacam itu juga disebar. Lagian, kok ambil contoh Gibran? Gibran bukan kader PDIP lho! Beda dengan Hanum yang kader Nasyatul Aisyiah!”
Satu, Sang Pencerah mengisahkan Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Kyai Dahlan adalah Muhammadiyah itu sendiri. Posisinya sangat tidak bisa dibandingkan dengan Hanum Rais.
Dua, sampai detik ini saya belum menemukan secuil jejak pun yang menunjukkan bahwa Hanum pernah menduduki posisi struktural di Nasyatul Aisyiah. Saya cari riwayatnya di internet, saya bertanya kepada kawan-kawan aktivis struktural Muhammadiyah, semua mengatakan belum pernah mendengar kiprah Hanum dalam organisasi Muhammadiyah maupun Nasyatul Aisyiah. CMIIW. Maka, relasi Hanum dan Muhammadiyah sebenarnya persis dengan relasi Gibran dan PDIP.
Tiga, ada yang bilang, “Okelah, Hanum bukan kader, melainkan warga Muhammadiyah. Terus apa salahnya warga Muhammadiyah mengajak sesama warga Muhammadiyah untuk mendukung karyanya?”
Baik. Kalau memang itu menjadi sebuah rumus baku, saya dukung total. Tapi saya sendiri posisinya persis dengan Dik Hanum, sebab mendiang bapak saya pun aktivis struktural Muhammadiyah. Nah, kalau saya mengirimkan surat kepada Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta atau Direktur RSU PKU Muhammadiyah agar para karyawan membeli buku-buku saya, apakah akan ada tindak lanjut yang setara?
Hihihi, maaf, ilustrasi barusan itu terlalu berani. Mohon maaf ya, jangan diambil hati.
Pendek kata, segenap strategi marketing yang dijalankan untuk melariskan film Hanum & Rangga sepertinya tidak dipikirkan secara matang. Banyak yang justru menjadi blunder, tidak berhasil menciptakan brand image yang kuat atas kualitas film itu sendiri.
Menurut terawangan saya, dari semua langkah yang keliru, yang paling keliru adalah pemilihan tema film di tengah situasi seperti ini. Jika memang Hanum Rais bertekad total untuk terjun ke medan politik, kisah percintaan mesranya dengan sang suami tidak akan cukup kuat menjadi magnet untuk menarik para pendukungnya.
Akan jauh lebih taktis jika kisah yang diangkat benar-benar yang memperkuat positioning Hanum di kalangan kubu oposisi, basis pasar suara yang telah established dan potensial memberikan dukungan untuknya.
Saya ambil contoh, yang mestinya difilmkan bukanlah kisah rumah tangga Hanum sendiri, melainkan relasi ayah dan anak, antara Hanum dan Amien Rais. Dalam film itu digambarkan dinamika ketika Hanum tak lelah menguatkan ayahandanya, di tengah gempuran serangan politik dan berondongan fitnah tak berkesudahan dari … hmmm … musuh-musuh Islam.
Topik semacam itu akan jauh lebih menggigit, menarik emosi publik oposisi, memoles Hanum menjadi tokoh muda muslimah Indonesia yang cemerlang, sekaligus semakin memantapkan kedudukannya di hati basis massa oposisi.
Itu baru satu opsi tema saja. Ada banyak pilihan lain, tapi masih saya rahasiakan. Sebab kalau sudah masuk ke situ, urusan dengan saya tentu akan berkembang menjadi konsultasi.
Dan semua tahu, tarif saya mahal.