Minggu, November 24, 2024

Trickle Down Effect: Kemana Air Sebenarnya Menetes?

Fahrulraz M. Faruk
Fahrulraz M. Faruk
Pegiat Dunia Penulisan
- Advertisement -

Bendungan  sebagai tempat untuk menampung air seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai sarana irigasi untuk mengairi sawah-sawah. Sifat air yang selalu mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah bisa menjadi sebuah analogi sempurna bagaimana ekonomi seharusnya bekerja.

Trickle down effect sebagai sebuah teori ekonomi, dianggap mampu menggambarkan fenomena ini. Manfaat dari kegiatan ekonomi yang besar akan berimbas kepada kegiatan ekonomi yang lebih kecil. Dengan kata lain keuntungan yang diperoleh oleh kelompok masyarakat kaya, akan menetes pada kelompok masyarakat miskin lewat perluasan lapangan pekerjaan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah “apakah teori ini benar-benar terbukti?” “Bagaimana fakta lapangannya ?” “Kemana air sebenarnya menetes?”

Beberapa permasalahan ekonomi diantaranya kemiskinan, menjadi salah satu isu hangat di negara-negara dunia ketiga. Muncul pertanyaan apakah pertumbuhan ekonomi akurat dalam menjelaskan kondisi perekonomian suatu negara, terutama permasalahan yang terkait dengan kesejahteraan masyarakat. Beberapa negara di benua Afrika dan Asia, tumbuh sangat cepat dalam beberapa tahun terakhir, tetapi disaat yang bersamaan, potret kemiskinan yang parah juga tergambar disana.

Todaro (2004) dalam bukunya mengemukakan bahwa, pembangunan juga memerlukan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan cepat. Namun masalah dasarnya bukan hanya tentang bagaimana cara menumbuhkan, tetapi juga siapa yang akan menumbuhkan. Apakah sejumlah besar masyarakat yang ada di dalam sebuah negara, ataukah hanya segilintir orang didalamnya. Jika yang menumbuhkannya hanyalah orang-orang kaya yang berjumlah sedikit, maka manfaat pertumbuhan ekonomi itupun hanya akan dinikmati oleh mereka saja, sehingga kemiskinan dan ketimpangan pendapatan pun akan semakin parah. Namun jika pertumbuhan dihasilkan oleh orang banyak, mereka pula yang akan memperoleh manfaat terbesarnya, dan buah pertumbuhan ekonomi akan terbagi secara lebih merata.

Perhatian pembangunan ekonomi yang cenderung hanya terpusat pada pertumbuhan ekonomi, tanpa memperhatikan bagaimana pertumbuhan ekonomi tersebut dapat terdistribusi secara merata, justru memunculkan masalah baru yang dapat mengganggu keberlangsungan pembangunan suatu negara.

Distribusi pembangunan ekonomi yang tidak merata, akan  mengakibatkan terjadinya ketimpangan dalam berbagai hal, salah satunya ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi yang hanya dirasakan oleh segelintir orang, justru malah memperlebar jarak antara golongan atas dan golongan menengah kebawah. Hal ini dapat berdampak kepada ketimpangan pendapatan yang makin tinggi. Kondisi ini apabila terus dibiarkan, dapat mengganggu kondisi perekonomian suatu negara.

Teori ekonomi tentang trickle down effect (efek menetes kebawah) yang dianggap dapat memangkas disparitas pendapatan masyarakat atas dan bawah, nyatanya belum dapat dirasakan. Teori yang berlaku justru trickle up effect (efek menetes keatas), dimana kelompok masyarakat bawah yang justru berkontribusi banyak terhadap masyarakat kelas atas. Kegiatan ekonomi dalam skala besar nyatanya tidak memberikan keuntungan bagi kegiatan perekeonomian yang lebih kecil.

Ketimpangan pendapatan adalah perbedaan jumlah pendapatan yang diterima oleh masyarakat, sehingga mengakibatkan perbedaan pendapatan yang lebih besar antara golongan dalam masyarakat tersebut.

Bank Dunia mengelompokan penduduk ke dalam 3 kelompok berdasarkan tingkat pendapatannya, yaitu 20% penduduk dengan tingkat pendapatan tinggi, 40% penduduk dengan tingkat pendapatan menengah, dan 40% penduduk dengan tingkat pendapatan rendah.

Angka ketimpangan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan 40% masyarakat kelompok bawah, dengan total pendapatan seluruh penduduk. Ketimpangan pendapatan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan beberapa permasalahan sosial dan ekonomi pada suatu negara. Ketimpangan pendapatan yang tinggi terkait langsung dengan peningkatan angka kemiskinan, krisis finansial, masalah kriminalitas, beban utang, dsb.

- Advertisement -

Permasalahan ekonomi yang terkait dengan ketimpangan juga turut dialami oleh Indonesia. Ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia masih terbilang tinggi jika dibandingkan negara lain. Lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, melakukan survei  tentang kondisis ketimpangan Indonesia di tahun 2016.

Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa disparitas pendapatan antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk yang paling buruk di dunia. Satu persen orang dengan  pendapatan tertinggi di Indonesia menguasai sekitar 49,3 persen kekayaan nasional. Dalam hal ini, Indonesia hanya lebih baik jika dibandingkan dengan Rusia, India, dan Thailand.

Lembaga independen oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia Develop­ment (lNFID) pada tahun 2017 mencatat faktor-faktor yang  menyebabkan tingginya ketimpangan di Indonesia yaitu:

1. Fundamentalisme pasar yang mendorong orang kaya meraup keuntungan terbesar dari pertumbuhan ekonomi.

2. Political Capture yang meningkat, yaitu orang kaya mampu memanfaatkan pengaruh mengubah aturan yang dapat menguntungkan mereka.

3. Ketidaksetaraan gender.

4. Upah murah yang menyebabkan masyarakat bawah tidak mampu mengangkat diri dari jurang kemiskinan.

5. Ketimpangan akses antara perdesaan dan perkotaan terhadap infrastruktur

6. Sistem perpajakan yang gagal memainkan peran pentingnya dalam mendistribusikan kekayaan.

Indonesia menggunakan angka koefisien gini (gini ratio) dalam mengukur ketimpangan distribusi pendapatan. Nilai dari gini rasio berkisar antara 0 – 1.  Angka 1 menunjukan ketimpangan sempurna, 0,50 – 0,70 menunjukan ketimpangan tinggi, 0,31 – 0,49 menunjukan ketimpangan sedang, dan 0,21 – 0,30 menunjukan ketimpangan rendah. Badan Pusat Statistik (BPS)  mencatat gini rasio Indonesia pada Maret 2018 adalah sebesar 0,39. Hal ini menunjukan bahwa tingkat disparitas distribusi pendapatan antara penduduk berpendapatan tinggi dan penduduk berpendapatan rendah di Indonesia, berada pada kategori sedang.

Solusi dari permasalahan ini, yaitu dengan merubah orientasi perekenomian dari trickle up effect (efek menetes ke atas) menjadi trickle down efek (efek menetes ke bawah). Yaitu upaya pemecahan masalah dengan cara merangkul yang kaya untuk sama-sama memberdayakan yang miskin.

Kemudahan dalam mengakses fasilitas, jaminan sosial, pemberdayaan produktivitas, dan pekerjaan layak, harus diperhatikan guna mengikis kesenjangan pendapatan ini. Sistem perekonomian yang dipakai haruslah berlandaskan prinsip gotong royong. Hal ini menjadi salah satu solusi terbaik dari pengentasan permasalahan ketimpangan.

Pemecahan permasalahan ketimpangan bukan dengan tujuan agar semua masyarakat berada pada tingkatan yang sama. Melainkan bagaimana caranya agar disparitas itu mengecil. Seperti Kata Aristoteles, “The worst form of inequality is try to make unequal things equal”. Bersama memang tak harus sama. Tetapi konsep kebersamaan yang hakiki yaitu bagaimana yang kuat dan yang lemah bisa saling menyokong satu sama lain.

Fahrulraz M. Faruk
Fahrulraz M. Faruk
Pegiat Dunia Penulisan
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.