Selasa, April 30, 2024

Spirit Asian Games dalam Kontestasi Politik

Rosidin
Rosidin
S3 IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pendidikan Islam [2010-2012]. Dosen STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang. Penggemar Kajian Tafsir Tarbawi (Pendidikan) secara khusus dan kajian keIslaman secara umum.

Demam Asian Games 2018 sedang melanda bangsa Indonesia selaku tuan rumah, apalagi banyak kontingen berhasil meraih prestasi memuaskan yang melampaui target yang dicanangkan. Kejuaraan tingkat Asia ini sedikit banyak berhasil mengalihkan isu capres-cawapres yang berpotensi membelah persatuan bangsa Indonesia.

Secara garis besar, kompetisi dalam Asian Games 2018 terbagi menjadi dua jenis. Pertama, perlombaan, seperti lomba lari. Kedua, pertandingan, seperti sepakbola. Kedua jenis kompetisi ini memiliki sejumlah perbedaan penting. Antara lain, perlombaan lebih mementingkan kualitas diri sendiri (intrinsik); sedangkan pertandingan cenderung lebih mementingkan respon terhadap kualitas orang lain (ekstrinsik).

Misalnya, dalam lomba lari, pemenang ditentukan oleh kecepatan lari; yang tercepat adalah juaranya. Dalam pertandingan sepakbola, pemenang ditentukan oleh keberhasilan strategi; yang paling tepat adalah juaranya. Itulah mengapa, tim sepakbola yang lemah dapat mengalahkan tim sepakbola yang kuat, karena ketepatan strategi yang dimainkan.

Jika dikaitkan dengan kompetisi capres-cawapres Indonesia 2019, kedua pasangan calon minimal membutuhkan dua faktor utama. Pertama, kualitas diri sendiri. Kedua, ketepatan strategi yang diterapkan.

Kualitas diri sendiri berkenaan dengan kualifikasi dan prestasi capres-cawapres. Yang terpenting, kualifikasi dan prestasi tersebut bersifat faktual, bukan abal-abal. Inilah yang disebut integritas (shiddiq; kejujuran) yang mencerminkan kesesuaian antara data dan fakta.

Misalnya, orang mukmin diibaratkan seperti pohon yang berdiri kokoh, karena faktanya memang ditopang akar yang kokoh (Q.S. al-Fath [48]: 29). Berbeda halnya dengan orang munafik yang diibaratkan al-Qur’an seperti pohon yang bersandar pada tembok. Tampaknya kokoh, padahal faktanya mudah roboh (Q.S. al-Munafiqun [63]: 4).

Atas dasar itu, tim sukses dan simpatisan tidak perlu melambungkan kualifikasi dan prestasi capres-cawapres dengan data palsu nan menyesatkan, demi menarik perhatian masyarakat pemilih. Yang demikian itu bagaikan penjual jamu yang promosi sambil teriak-teriak, “jamu ini adalah obat segala penyakit”.

Pasti calon pembeli tidak akan percaya, karena setiap jamu itu memiliki keterbatasan fungsi. Demikian halnya capres-cawapres yang bukan merupakan figur paripurna (insan kamil) yang tanpa cacat. Selalu ada sisi baik dan buruk; ada catatan kesuksesan dan kegagalan. Apalagi al-Qur’an menegaskan bahwa setiap insan pasti memiliki kelemahan (Q.S. al-Nisa’ [4]: 28) dan juga kelebihan (Q.S. al-Tin [95]: 4).

Kendati kualifikasi dan prestasi capres-cawapres dinilai lebih unggul, tidak otomatis memenangkan kompetisi; karena masih dibutuhkan faktor lain, seperti ketepatan strategi dan pertolongan Ilahi.

Misalnya, kisah pasukan Badar yang berjumlah 313 orang dan tanpa perlengkapan perang yang memadai, berhasil menaklukkan pasukan kafir Makkah yang berjumlah 1.000 orang dan dilengkapi berbagai senjata perang.

Salah satu sebabnya adalah ketepatan pemilihan lokasi, yaitu berdekatan dengan sumur yang memudahkan pemenuhan kebutuhan air. Di samping pertolongan Allah SWT yang menurunkan kantuk di malam hari jelang peperangan, sehingga membuat kondisi fisik dan psikis pasukan Badar kembali segar-bugar; serta menurunkan hujan, sehingga lokasi pasukan Badar yang semula berpasir, menjadi padat dan mudah dibuat berjalan; sedangkan lokasi pasukan kafir yang semula berupa tanah liat, menjadi becek dan sulit dibuat berjalan (Q.S. al-Anfal [8]: 9-11).

Faktor pertolongan Ilahi ini, dalam dunia olahraga, sering disebut sebagai “keberuntungan” atau “dewi fortuna”. Misalnya, tim A melakukan tembakan ke gawang 10 kali, tapi tidak ada yang masuk (gol); sedangkan tim B hanya melakukan tembakan ke gawang 1 kali dan langsung berbuah gol, sehingga memenangkan pertandingan.

Problemnya adalah penerapan strategi yang curang bin culas demi meraih kemenangan. Misalnya, pemain sepakbola melakukan aksi diving (“menipu wasit”) agar mendapat hadiah penalti; pura-pura cedera untuk mengulur-ulur waktu; hingga memprovokasi lawan agar diusir wasit.

Dalam konteks politik, ada saja tim sukses atau simpatisan yang mempolitisasi ayat-ayat al-Qur’an, demi menarik perhatian masyarakat pemilih. Seperti melabeli capres-cawapres sebagai pro-Islam atau anti-Islam dengan mengutip ayat-ayat al-Qur’an secara serampangan dan ditempelkan di meme-meme yang bertebaran di media sosial.

Melakukan kampanye hitam pada capres-cawapres yang dibela, demi mendapatkan simpati masyarakat pemilih, dengan alasan telah dizhalimi. Hingga menebar ujaran-ujaran kebencian (hate speech) yang membongkar segala bentuk keburukan capres-cawapres kubu lawan.

Dalam bahasa al-Qur’an, segala bentuk strategi yang curang bin culas itu disebut sebagai “makar”. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh saudara-saudara Nabi Yusuf AS untuk menyingkirkan Nabi Yusuf AS (Q.S. Yusuf [12]: 102). Mereka berpamitan mengajak Nabi Yusuf AS untuk bermain bersama; lalu beralibi bahwa saat mereka asyik bermain, Nabi Yusuf AS dimakan serigala.

Mereka pun melumuri baju Nabi Yusuf AS dengan darah palsu dan pulang ke rumah saat malam hari sambil pura-pura menangis, sehingga Nabi Ya’qub AS yang sudah lansia, lebih sulit untuk mendeteksi asli-tidaknya darah maupun tangis tersebut (Q.S. Yusuf [12]: 12-18).

Cepat atau lambat, pasti Allah SWT akan menyingkap segala bentuk strategi yang curang bin culas, serta menunjukkan siapa yang benar dan yang salah; paling lambat pada saat di akhirat kelak (Q.S. al-Thariq [86]: 9).   Hal ini sangat penting untuk diperhatikan dengan seksama, terutama oleh tim sukses dan simpatisan, agar mereka lebih mengedepankan strategi yang jujur dan sportif.

Selain kubu capres-cawapres yang berkompetisi, pihak-pihak yang dituntut netral juga harus menjunjukkan sikap adil. Antara lain: KPU, Mahkamah Konstitusi, TNI, Polri. Mereka semua bagaikan “wasit” atau “panitia penyelenggara” yang harus bersikap adil dan tidak boleh menampakkan dukungan pada salah satu capres-cawapres. Jika sampai melanggar prinsip keadilan ini, berarti mereka telah mengkhianati amanat (Q.S. al-Nisa’ [58]: 48).

Sejalan dengan itu, menarik untuk menyimak kisah Khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib RA saat disidang di pengadilan. Ketika hakim memanggil nama lawan beliau dengan sebutan “Wahai Fulan”, lalu hakim itu memanggil nama beliau dengan sebutan: “Wahai Khalifah”; Sayyidina ‘Ali RA sangat marah, lantas berkata: “Bersikap adillah. Jika engkau memanggil dia dengan nama aslinya; maka panggillah aku dengan nama asliku”.

Walhasil, tulisan ini menganalogikan kompetisi capres-cawapres dengan dua jenis kompetisi dalam Asian Games 2018, yaitu perlombaan yang mengedepankan kualifikasi dan prestasi capres-cawapres; dan pertandingan yang mengedepankan ketepatan strategi yang diterapkan oleh tim sukses dan simpatisan capres-cawapres.

Namun, keduanya harus dibungkus oleh etika Islami, agar kemenangan yang diraih adalah kemenangan sejati (al-fath), bukan kemenangan semu yang disesaki berbagai kecurangan (makar), termasuk kecurangan yang melibatkan pihak-pihak yang seharusnya bersikap netral.

Sumber Gambar

Rosidin
Rosidin
S3 IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pendidikan Islam [2010-2012]. Dosen STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang. Penggemar Kajian Tafsir Tarbawi (Pendidikan) secara khusus dan kajian keIslaman secara umum.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.