“Banyak orang hari ini, tampaknya lebih ingin menjadi benar daripada penuh kasih”
(Karen Armstrong)
Peristiwa di Lombok Timur, NTB pada Sabtu (19/05/18) yang terulang pada Minggu pagi (20/05/18), membuat kita menoleh kembali kepada komunitas Ahmadiyah. Kita sering alpa, tapi mudah-mudahan tidak amnesia. Ada saudara kita yang masih harus diperjuangkan nasibnya di negara yang sesungguhnya telah mereka turut perjuangkan di awal-awal kemerdekaan.
Jejak Ahmadiyah tak lepas dari sepak terjang para founding fathers bangsa ini di era 1920-an. Haji Agus Salim bahkan harus berdebat dengan sejawatnya di Sarekat Islam (SI) bahwa dari segala tafsir, tafsir Ahmadiyahlah yang paling baik untuk memberi kepuasan kepada pemuda-pemuda Indonesia terpelajar. Ketua Sarekat Islam sendiri, H.O.S. Tjokroaminoto diam-diam menterjemahkan karya Maulana Muhammad Ali, presiden Ahmadiyah Lahore, berjudul The Holy Qur’an, ke dalam bahasa Melayu (historia.id).
Ahmadiyah memang bukanlah pendatang baru. Kehadirannya jauh sebelum kemerdekaan. Ia setahun atau bahkan dua tahun lebih tua dibanding Nahdlatul Ulama (NU), ormas Islam terbesar di tanah air. Pada 1924, Ahmadiyah Lahore (GAI) mengirim utusannya, Mirza Wali Baig dan pada 1925 giliran Ahmadiyah Qadian (JAI) mengirimkan utusannya, Maulana Rahmat Ali.
Bung Karno (BK) sendiri menjalin hubungan persahabatan dengan tokoh-tokoh Ahmadiyah, seperti Mirza Wali Baig dan Maulana Rahmat Ali. Bahkan BK banyak membahas Ahmadiyah dalam tulisan-tulisannya yang masih bisa kita baca hari ini. Lihat misalnya di kumpulan tulisan yang dirangkum dalam buku tebal Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1. BK mengulas tentang organisasi yang lahir dari tanah Hindustan ini.
“Ahmadiyah adalah salah satu faktor penting di dalam pembaharuan pengertian Islam di India, dan satu faktor penting pula di dalam propaganda Islam di benua Eropa khususnya, di kalangan kaum intelektuil seluruh dunia umumnya. Buat jasa ini – cacad saya tidak bicarakan di sini – ia pantas menerima salut penghormatan dan pantas menerima terima kasih..”
Pada awal-awal kemerdekaan BK bahkan berterima kasih terhadap Imam Jema’at Ahmadiyah Internasional, Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad yang menyerukan kepada pemimpin negara Islam di seluruh dunia agar serentak mengakui berdirinya pemerintah Indonesia. Pada Desember 1946, Ia juga menginstruksikan agar seluruh anggota Ahmadiyah di seantero dunia melakukan puasa Senin Kamis dan memohon do’a kepada Allah SWT guna menolong bangsa Indonesia dalam perjuangannya. Dukungan ini terekam baik dalam Surat Kabar Kedaulatan Rakjat, edisi Selasa Legi, 10 Desember 1946.
Di sisi lain, pihak Ahmadiyah sendiri memiliki catatan historis mengenai hubungan mereka dengan “founding fathers” bangsa ini. Pada masa perjuangan beberapa tokoh seperti Bung Karno, Syahrir, bahkan Tan Malaka pernah mendatangi Rahmat Ali –utusan Ahmadiyah Qadian- untuk mendiskusikan berbagai hal. Juga di masa lalu, Haji Agus Salim sering merekomendasikan orang-orang yang ingin mendalami Islam agar datang ke mesjid Al-Hidayah, tempat tinggal Maulana Rahmat Ali (Suryawan,2005:187).
Pada 1953 pemerintah Soekarno memberikan Badan Hukum terhadap Jema’at Ahmadiyah Indonesia melalui SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953, sehingga keberadaannya dilindungi oleh hukum.
Ahmadiyah banyak aktif di bidang sosial. Donor darah adalah aktivitas yang sering kita temui di masjid-masjid milik JAI. Banyak anggota JAI yang sudah diganjar penghargaan dari pemerintah karena sedemikian aktifnya melakukan donor darah. Bahkan, anggota JAI yang sudah wafat pun masih berguna bagi warga sebangsanya. Pasalnya, mereka kerap mewakafkan agar matanya bisa didonorkan. Jaya Suprana dari Museum Rekor Indonesia (MURI) baru-baru ini memberikan penghargaan kepada JAI sebagai organisasi paling aktif mendonorkan mata. Bahkan rekor yang mereka pecahkan, bukan rekor Indonesia, tapi rekor dunia ! (merdeka.com, 23/07/17).
Di dunia internasional nama Ahmadiyah tidak asing lagi. Tokoh semacam Abdussalam, muslim pertama peraih Nobel Fisika pada 1979 adalah seorang Ahmadi. Begitu pula dengan Sir Muhammad Zafrullah Khan, Menteri Luar Negeri Pakistan, dan mantan Ketua Majelis Umum PBB sekaligus mantan ketua Mahkamah Internasional PBB adalah seorang Ahmadi.
Organisasi ini sudah melebarkan sayapnya di 200 lebih negara, dengan jumlah yang terkonfirmasi sebanyak 10 juta anggota. Pada 2018 ini, Ahmadiyah sudah berusia 129 tahun. Didirikan pada 23 Maret 1889, oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Beliau berasal dari sebuah desa kecil lagi terpencil, Qadian, Punjab India. Untuk memantapkan dakwahnya, Ahmadiyah memiliki MTA (Muslim Television Ahmadiyya) sebuah jaringan televisi internasional yang mengudara 24 jam tanpa iklan.
Imam Jema’at Ahmadiyah dan Gus Dur
Di era reformasi, kiprah Ahmadiyah semakin berkembang. Puncaknya, pada Juni 2000 Imam Jema’at Ahmadiyah Internasional, Hazrat Mirza Thahir Ahmad berkunjung ke tanah air dan berkesempatan beraudiensi dengan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Ketua MPR pada waktu itu, Amien Rais.
Berbalik 180 Derajat
Lima tahun kemudian, yakni pertengahan Juli 2005 suasana berbalik 180 derajat. Kehidupan para anggota JAI yang selama puluhan tahun terbilang rukun dan damai di tanah air mulai terusik. Pertemuan Tahunan JAI yang setiap tahun diadakan dan sudah mengantongi izin dari aparat keamanan tiba-tiba saja diserbu ribuan massa intoleran.
Aset-aset Kampus Mubarak -markas JAI- di Parung Bogor yang menjadi pusat kegiatan semenjak awal 1980-an dirusak dan dihancurkan. Kampusnya sendiri disegel. Ironisnya, yang turut menyegel adalah aparatur daerah seperti Satpol PP dan aparat Kepolisian yang sebelumnya justru telah memberikan izin.
Peristiwa paling mutakhir adalah terjadinya penyerangan terhadap JAI di Dusun Grepek Tanak Eat, Desa Greneng, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat di awal Ramadhan ini, yakni pada Sabtu (19/05/18) dan diulangi keesokan harinya (20/05/18). Sekelompok massa tak dikenal merusak rumah, menjarah harta dan mengancam jiwa anggota JAI di sana. Sebagian besar penghuni yang terdiri dari ibu-ibu dan anak-anak –karena kebanyakan suami mereka merantau-mengungsi hingga ke hutan-hutan.
Kejadian di NTB bukan kali pertama. Bagi anggota JAI di sana, NTB menjelma menjadi tempat yang tidak aman. Sudah 12 tahun, ratusan anggota JAI mengungsi di Asrama Transito Mataram dan Praya tanpa suatu kejelasan hingga kini. Keduanya menjadi tempat pengungsian paling panjang di Indonesia (2006-sekarang).
Ahmadiyah dan Tuduhan Sesat
Dengan seabrek kiprah positif tentang keberadaan Ahmadiyah, organisasi ini difatwakan sesat oleh sebagian ormas Islam lainnya, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwanya.
Ahmadiyah pun dituduh sesat di negara asalnya. G.H. Jansen, dalam bukunya “Islam Militan” menjelaskan ironi ini. “Ironisnya, gerakan yang telah bekerja begitu keras untuk menyebarkan Islam ini telah dinyatakan sebagai sekte nonmuslim di Pakistan, tempat pusat kegiatannya” (Jansen, 1983: 123).
Lalu, di mana peran Negara? Sekali lagi, jangan sampai negara alpa, dan mudah-mudahan tidak amnesia terhadap persoalan ini. “Those who forget history are doomed repeat it” ujar Goerge Santayana.