Ramadan menjadi “bulan peci”. Permintaan peci di pasar meningkat selama Ramadan. Pengguna peci meningkat pesat, berlipat ketimbang bulan-bulan biasa. Lelaki berpeci saat Ramadan adalah kelaziman, tampilan demi imaji kesalehan.
Pengusaha peci di Kudus mengaku terjadi peningkatan penjualan peci menjelang Ramadan. Peci bermerek Kang Santri diminati pembeli di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pesanan peci sekitar 400 buah per bulan. Menjelang Ramadan, pemesanan naik sampai 800 buah. Jumlah itu mengabarkan orang-orang ingin berpeci saat mengalami Ramadan dan Idul Fitri.
Pilihan berpeci juga muncul di televisi. Para pemain sinetron dan sinema religi mengajukan diri sebagai sosok saleh, mendandani diri dengan berpeci.
Pengenaan peci memang hak siapa saja, berdalih agama, politik, hiburan, sosial, pendidikan, kultural. Kita cuma bercuriga, penampilan mereka berpeci tak hanya penghormatan Ramadan, mereka tentu memiliki permainan simbolik: mengecoh dan “mendustai” mata publik.
Peci mengandung seribu arti mengacu si pemakai, ruang, waktu, dan peristiwa. Orang-orang di desa-desa Jawa terbiasa berpeci dalam keseharian. Kaum politikus memilih peci sebagai pelengkap keparlentean saat mengikuti sidang di gedung parlemen dan mengikuti acara-acara resmi. Artis-artis pun berpeci selama Ramadan, berdalih pekerjaan dan imaji kesalehan di mata publik.
Namun peci tak selalu bermakna kesalehan. Peci bisa berarti kemunafikan dan muslihat. Kita melihat para koruptor kadang mengenakan peci di gedung pengadilan. Si pemakai peci itu adalah manusia rakus uang, pembohong, dan perusak etika berbangsa. Mereka masih berani mengenakan peci, alat simbolik agar tak terlalu disalahkan atau dikutuk.
Peci pun tak pernah selesai diartikan, dari zaman ke zaman. Peci mengingatkan kita ke misi Sukarno, penggerak nasionalisme dan manusia peka simbol. Sukarno, selaku presiden, berkelana ke pelbagai negara di dunia, 1950-an sampai 1960-an. Sukarno menghampiri para penguasa, menampilkan diri sebagai penguasa berpeci. Tutup kepala ini mengisahkan Sukarno dan Indonesia. Peci tak pernah absen, turut memberi identitas dan makna nasionalisme Indonesia.
Winoto Danoemoro (1956) mendeskripsikan peristiwa jamuan makan di Gedung Putih: “Presiden Sukarno memakai pakaian militer rapi dan peci beludru hitam serta membawa sebuah tongkat pendek berhulu emas. Presiden Eisenhower memakai stelan baju linen biru tua dengan dasi biru.” Peci tampil sebagai simbol, representasi dari pembentukan identitas-nasionalisme dalam imajinasi Sukarno.
Kita mafhum bahwa Sukarno adalah manusia berpeci, manusia berimajinasi Indonesia. Ratusan foto Sukarno dalam pelbagi peristiwa mesti mengikutkan peci. Apa pamrih Soekarno mengenakan dan “mengiklankan” peci bagi rakyat Indonesia, sejak diri dalam pergerakan politik pada masa kolonial?
Sukarno membuat pengakuan: “pemakaian peci” adalah bukti “egoisme” berbingkai nasionalisme. Sukarno mendefinisikan peci sebagai “kopiah beludru hitam, mendjadi tanda pengenalku, mendjadikannja lambang kebangsaan kami.”
Pemakaian peci mengacu pada resistensi Soekarno terhadap kaum terpelajar pribumi. Mereka sering menghinakan kaum rakyat berpeci atau berblangkon. Kaum terpelajar merasa risih dengan pakaian khas rakyat, memilih tak mengenakan tutup kepala atau mengenakan topi ala Eropa demi gengsi intelektual dan politis. Sukarno memaknai peci sebagai pengikatan diri dengan jiwa dan kultur rakyat, simbol populis demi nasionalisme.
Peci membuat Soekarno mengambil sikap: “… aku memutuskan untuk mempertalikan diriku dengan sengadja kepada rakjat djelata.” Keputusan itu ditampilkan melalui pemakaian peci (Cindy Adams, 1966). Seruan Sukarno tentang peci dan kepribadian Indonesia: “Kita memerlukan suatu lambang daripada kepribadian Indonesia. Peci jang memberikan sifat khas perorangan ini, seperti jang dipakai oleh pekerd ja-pekerdja dari bangsa Melaju, adalah asli kepunjaan kita…. Ajolah saudara-saudara, mari kita angkat kita punja kepala tinggi-tinggi dan memakai petji ini sebagai lambang Indonesia merdeka!”
Konon, sejak itulah ada sejenis pengesahan kultural-politik, peci melambangkan nasionalisme dan identitas kebangsaan Indonesia. Kees van Dijk (2005) menerangkan bahwa kehadiran kolonial di Jawa telah memicu kompetisi identitas, melalui politik pakaian dan politik tutup kepala.
Pemerintah kolonial menjadikan sesuatu di kepala sebagai alat kontrol dan tertib politik. Politik tutup kepala memang telah meresapi ruang-ruang istana, pendidikan, kantor pemerintahan, pusat hiburan, masjid, dan jalan. Pemerintah kolonial turut campur, mengadakan politisasi tutup kepala bernuansa Eropa demi klaim pembentukan kelas intelektual dan intervensi ke diri para penguasa tradisional. Tutup kepala adalah representasi keturunan, etnis, profesi, iman, dan ideologi.
Sukarno tampil menantang kolonial dengan peci. Pilihan peci itu didambakan sebagai simbol kepribadian Indonesia.
Peristiwa fenomenal terjadi saat Sukarno berkunjung ke Kuba, 1962. Ada sebuah foto politis. Sukarno tampak mengenakan topi tentara milik Fidel Castro. Peci Soekarno dikenakan oleh Fidel Castro. Dua ikon revolusioner dunia duduk bersama dengan gelak tawa. Mereka seolah hendak memberitakan bahwa tutup kepala adalah representasi revolusi dan identitas politik-kultural.
Peristiwa saling bertukar tutup kepala itu menandai pemaknaan revolusioner. Peci jadi simbol revolusioner dari Indonesia.
Kini, kita mulai kehilangan cerita-cerita heroik dan menakjubkan tentang peci, berganti cerita-cerita picisan demi hasrat kekuasaan dan mengais rezeki melalui muslihat nasionalisme dan kesalehan mendadak mumpung Ramadan.