Ke pameran otomotif Indonesia International Motor Show (IIMS) di Jakarta pada Kamis, 19 April 2018, Presiden Jokowi tak membawa buku peta berukuran besar atau lembaran peta. Beliau datang mengenakan jaket berpeta. Di bagian dada jaket Jokowi, orang-orang melihat gambar peta Indonesia dalam paduan warna merah-putih.
Peta di jaket Jokowi seperti ajakan mengingat Indonesia adalah negara kepulauan pernah mengalami penjajahan. Di berita-berita berfoto, kita diundang melihat peta di jaket. Kita pun berhak berimajinasi kebermaknaan jaket itu. Joko Widodo perlahan ingin bercerita pelbagai hal dengan jaket.
Pada peristiwa pertemuan Jokowi dan ratusan murid di Istana Bogor, 3 Mei 2018, jaket jadi pesona lagi. Presiden mengenakan jaket berwarna hitam. Jaket unik dan memikat. Di bagian belakang, gambar-gambar dipamerkan bertajuk promosi Asian Games. Jaket itu dikenakan mengabarkan Indonesia selaku tuan rumah Asian Games 2018. Jaket Jokowi sengaja meminta perhatian para murid, berlanjut ke perhatian publik saat gambar-gambar beredar di media cetak, media elektronik, dan media sosial.
Jaket Jokowi memiliki kerja pengabaran dan pemaknaan Indonesia.
Hamdi Muluk, pengamat asal Universitas Indonesia, menganggap pilihan dan cara mengenakan busana Jokowi itu komunikasi. Pengenaan jaket di sekian acara dihadiri ratusan sampai ribuan orang memungkinkan pemunculan dan penguatan ingatan visual. Konon, pilihan berkomunikasi dengan jaket-jaket bergambar itu sesuai ungkapan bijak: satu gambar bicara ribuan kata.
Jokowi sadar ingin menebar pesan, tak rikuh atau merasa kikuk berjaket asal mengisahkan Indonesia. Jaket-jaket di raga Joko Widodo adalah pikat rupa dan pesan menular kepada publik supaya menjadi percakapan dan muncul keinginan peniruan.
Presiden berjaket itu cerita lama belum jua tamat. Dulu, Sukarno pun berjaket dalam pelbagai acara di Indonesia dan negara-negara asing. Jaket tak melulu ikhtiar melindungi tubuh dari dingin. Jaket adalah kepantasan dan kemauan berkomunikasi. Model, ukuran, dan warna jaket diperhitungkan matang demi capaian estetis, politis, dan etis.
Namun, foto-foto Sukarno mengenakan jaket masih kalah dengan busana khas berupa baju berkantong depan. Kesadaran mengisahkan diri dengan jaket justru menguat pada diri Soeharto. Di masa Orde Baru, pilihan berjaket Soeharto kadang berselera militer. Di raga penguasa Orde Baru, jaket itu kegagahan, kegantengan, dan mengabarkan nalar-imajinasi kekuasaan.
Jaket semakin mengacu ke arah gagah dan militer saat berada di raga SBY. Jaket-jaket para presiden terdahulu agak sepi dari pencatatan dokumentatif dan pengisahan sesuai peristiwa dan latar zaman.
Kini, kita perlahan mengetahui siasat berjaket Joko Widodo melampaui kesadaran berbusana. Jaket itu bergelimang makna.
Dulu, jaket tak mutlak bercerita presiden dan kekuasaan. Di Indonesia, jaket memiliki tokoh-tokoh dengan beragam pekerjaan. Jaket membentuk identitas atau biografi berkaitan kriminalitas, pers, asmara, dan seni.
Di majalah Djaja edisi 3 September 1966, kita bisa membaca (lagi) suguhan surat pembaca berjudul “Jacket, Oh, Jacket”, kiriman dari Handajani, beralamat di Pejompongan RT 3 RK 3, Jakarta. Surat agak panjang mengenai wabah berjaket di Indonesia era 1960-an.
Handajani mengingat pernah menonton film berjudul Rebel without a Cause dengan bintang film bernama James Dean. Si aktor itu tampil mengenakan jaket berwarna merah-darah. Handajani tak mengingat tahun tapi lekas membuat simpulan: “Dan sejak itu memakai jacket di Indonesia seperti wabah influenza. Apalagi setelah ABRI pun mengimpor jacket untuk kesatuan-kesatuannja. Jacket-jacket ABRI bukan sadja dipakai oleh anggauta-anggauta ABRI, djuga oleh orang-orang preman dan tukang-tukang garong.”
Bermula dari menonton film, jaket gampang dilihat di pelbagai tempat di Indonesia. Jaket terasa militeristik meski membuat orang-orang bukan militer berlagak gagah dengan mengenakan jaket. Di mata Handajani, berjaket itu wabah.
Handajani di paragraf berbeda menulis jaket wabah jaket sampai ke dunia wartawan. Pengenaan jaket khas wartawan diingat Handajani dimulai oleh para wartawan di Jakarta. Di jaket, tulisan besar dipamerkan: PWI Djaja. “Tetapi tidaklah lebih baik wartawan-wartawan kita, tanpa ketjuali jang bermukim dan beroperasi kerdja di Ibukota, tetap memakai pakaian preman sadja, tidak usah turut-turut seperti adik-adik jang masih perlu berseragam tertentu, jacket loreng, jacket biru, dan sebagainja. Biar memakai dasi, biar memakai apapun, wartawan akan tetap dikenal dan dihargai sebagai wartawan. Dengan memakai jacket, dimata masjarakat, wartawan tidak akan tambah naik gengsi, diharap djuga tidak turun, asal kerdja bener, nulis bener, membuat berita jang bener.”
Handajani menulis jaket bertokoh militer, preman, mahasiswa, dan wartawan. Jaket belum berurusan dengan raga dan peran presiden.
Cerita jaket terus bertambah sejak pemuatan surat pembaca di majalah Djaja. Iklan-iklan menampilkan tokoh-tokoh berjaket mulai rajin dimuat di pelbagai majalah. Orang-orang mengenakan jaket bermunculan di jalan, kantor, pabrik, terminal, ruang publik, dan lapangan. Jaket-jaket dikenakan tanpa pertimbangan rumit bahwa hari sedang panas atau dingin. Jaket lalu mewabah pula dalam acara-acara pemerintah, partai politik, perusahaan, dan komunitas.
Jaket-jaket diproduksi demi pengesahan kekuasaan dan kebangaan orang-orang di pelbagai institusi. Konon, pengadaan jaket dianggap penting untuk menjadikan acara bermutu dan megah. Jaket-jaket jarang polos, terbebas dari kata dan gambar. Jaket terpilih untuk mengedarkan pesan dan persaingan pelbagi misi. Jaket-jaket mungkin diinginkan mengisahkan hal-hal besar, dari perkara kekuasaan sampai identitas.
Kini, jaket kembali minta perhatian, bermula dari kebiasaan Jokowi mengenakan jaket di acara-acara resmi dan acara-acara terlihat ribuan orang. Pada jaket, pesan-pesan diadakan dan diedarkan disokong pencantuman kata, pembuatan gambar, dan pilihan warna.
Jaket Jokowi tentu berimajinasi kekuasaan, melampaui ingatan kita pada para pelantun lagu-lagu pop cengeng pada masa 1980-an saat para lelaki tampak hobi melepaskan jaket dan disampirkan di pundak. Wajah murung semakin menimbulkan haru saat si lelaki dengan jaket disampirkan di pundak berjalan pelan di atas rel atau di jalan batas kota. Jaket itu bercerita kecengengan, patah hati, rindu berkelimpahan, dan kerapuhan.
Dulu, Handajani pernah mengingat jaket bercerita tentang militer, preman, dan wartawan. Pada masa 1980-an, jaket itu milik kaum lelaki cengeng. Pada abad XXI, jaket kembali memiliki cerita agung mengenai kekuasaan dan pengisahan Indonesia asal dikenakan oleh Presiden Jokowi.