Minggu, November 24, 2024

Ganti Fahri Hamzah Saja Sulit, Bagaimana Mau Ganti Presiden?

Wahyudi Akmaliah
Wahyudi Akmaliah
Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
- Advertisement -

Manuver terselubung yang dilakukan oleh PKS (termasuk Gerindra dan para simpatisannya), melalui tagar #2019GantiPresiden, terbilang cukup cantik meskipun menyisakan satu persoalan mendasar. Saya sebut demikian karena PKS bisa memainkan dua kakinya dalam melakukan agitasi politik, untuk menciptakan dalih prakondisi mengapa 2019 harus ganti presiden: dalih aspirasi masyarakat, sebagaimana ditegaskan oleh Neno Warisman—walaupun di sana hadir penggagas dan penggeraknya, Mardani Ali Sera, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera.

Dalam kampanye politik di Jawa Barat, gerakan ini bahkan terus didengungkan oleh para politisi PKS. Namun, karena tidak menggunakan atribut partai politik, baik bendera maupun simbol lain, Bawaslu tidak bisa menindak. Ini karena, itu merupakan aspirasi masyarakat dan sah saja untuk dilakukan. Dengan kata lain, deklarasi gerakan ganti presiden itu tidak dianggap bagian dari kampanye politik.

Dengan mengatasnamakan aspirasi rakyat, meskipun gerakan ini dalam kendali PKS, tagar ini menjadi semacam posisi tawar PKS kepada partai politik lainnya, sambil memperkuat basis untuk mendapatkan suara lebih besar dalam pemilihan legislatif 2019. Ini karena, PKS sendiri tidak bisa mengusung sendirian calon presiden, di mana perolehan suara secara nasional mereka hanya menempati urutan ketujuh, sebesar 8.480.204 suara (6,79%), di bawah PAN (6) dan PKB (5).

Sementara itu, yang dibutuhkan untuk mengajukan Presiden dan Wakil Presiden harus melewati ambang batas (threshold) 20 persen. Kursi PKS sendiri di DPR-RI dalam perolehan suara legislatif berjumlah 40 kursi, sedangkan syarat minimal kursi yang dibutuhkan adalah 112. Karena itu, PKS tetap membutuhkan mitra politik untuk berkoalisi dalam mencalonkan diri, baik itu dengan satu partai besar, seperti PDI-P, Golkar, Gerindra ataupun membentuk koalisi rombongan dengan PAN dan PKB.

Di sini, koalisi Gerindra yang sebelumnya terjalin sangat mungkin untuk diulang. Namun, narus diakui, elektabilitas Prabowo mulai menurun seiring pidatonya yang mencemaskan dan menjadi bahan tertawaan warganet, terkait Indonesia hilang tahun 2030 yang referensinya diambil dari sebuah novel fiksi. JIka harus berduet kembali dengan Gerindra, PKS juga harus rebutan kursi wakil presiden dengan PAN. Karena itu, di tengah kondisi tersebut, deklarasi yang diucapkan oleh Ketua DPP PKS tersebut hanya bisa menciptakan semacam prakondisi untuk kampanye politik terselubung agar ganti presiden. Ini karena, secara ambang batas mereka sangat tidak mungkin untuk mengajukan sendiri.

Pertanyaan mengenai siapa calon presiden yang diusung pun kemudian bahan perbincangan bagi publik Indonesia mengenai gerakan tersebut. Meskipun di tengah itu, di beberapa titik di Jakarta, muncul spanduk Mardani Ali Sera sebagai calon Presiden 2019 yang diusung oleh Pemuda Islam Untuk Perubahan. Ini merupakan manuver malu-malu yang memungkinkan dirinya menjadi tokoh publik yang dikenal luas. Apalagi, karena gerakan tagar ganti presiden ini, Neno Warisman kemudian menyebutnya sebagai Jenderal Gerakan. Hal ini, tentu saja, memberikan ruang publisitas bagi Mardani secara luas di tengah pencalonan Presiden Indonesia 2019, yang diusung oleh PKS bersama beberapa kader yang lain, seperti Ahmad Heryawan, Hidayat Nur Wahid, Anis Matta, Irwan Prayitno, Mohamad Sohibul Iman, Salim Segaf Al’Jufrie, Tifatul Sembiring, Al Muzammil Yusuf.

Di sisi lain, ada satu faktor celah dari PKS saat membangun gerakan ini. Celah inilah yang bisa menjadi bahan meme sekaligus tertawaan yang tersebar di pelbagai media sosial. Sederhana, tapi dampaknya akan massif jika tidak diantisipasi. Bahkan hal ini justru akan menjadi bumerang yang menyerang PKS sendiri: yaitu ketidakmampuan untuk mencopot Fahri Hamzah.

Meskipun PKS telah mengeluarkan surat resmi untuk pemecetannya di semua jenjang keanggotaan partai dan sebagai Wakil Ketua DPR RI, tetapi hal itu tidak membuatnya kehilangan pengaruh dan jabatannya di parlemen. Sebaliknya, Fahri Hamzah justru menang melawan PKS dalam gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ini karena, ia dipilih oleh lebih dari 100 ribu warga NTB dalam Pemilu 2014 meski menggunakan perahu PKS.

Tentu saja hal ini menjadi sangat kontraproduktif bagi PKS yang ingin melakukan gerakan besar mengganti Presiden 2019. Di luar mereka menggalang aspirasi masyarakat, bersuara keras mengkritik kepemimpinan lima tahun Jokowi, tapi di dalam mereka tidak bisa membenahi urusan rumah tangga sendiri. Inilah yang justru menjadi ganjalan utama dan persoalan mendasar PKS.

Padahal, kunci dan fondasi utama sebuah gerakan sosial yang bisa menginsipirasi banyak orang untuk bergerak adalan kesolidan internal dalam tubuh organisasi.

Wahyudi Akmaliah
Wahyudi Akmaliah
Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.