Duka sedang menyelimuti Indonesia. Salah satu warga negara kita yang bekerja di Arab Saudi, yaitu Muhammad Zaini Misrin, telah dihukum mati. Penyebabnya, ia dituduh membunuh majikannya di tahun 2004. Apa benar demikian?
Media-media daring di Indonesia mengatakan bahwa tuduhan terhadap Zaini tidaklah benar. Majikannya itu meninggal kemungkinan karena sakit. Apesnya, Zaini adalah korban tunggal karena saat itu hanya dia yang berada di rumah.
Kepolisian Arab Saudi tak mau tahu menahu. Mereka lantas melayangkan dan menayangkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) bahwa Zaini benar-benar membunuh majikannya. Ada kecenderungan paksaan dalam tuduhan itu. Entah motifnya apa, namun yang dilakukan oleh Arab Saudi adalah tindakan irasional.
WNI di Arab Saudi
Arab Saudi memang bukan negara yang menjadi tujuan utama para pekerja migran. Sebelum Arab Saudi, ada Malaysia dan Taiwan yang menjadi negara pertama dan kedua tujuan pekerja migran Indonesia. Arab Saudi menempati peringkat ketiga untuk tujuan pekerja migran Indonesia.
Pada tahun 2015, sedikitnya ada 1,5 juta WNI yang berada di Arab Saudi. Ada yang sebagai pekerja dan ada pula yang sekolah. Jumlah itu hanya kalah dari India dan Bangladesh yang rata-rata warganya mencapai 4-5 juta di Arab Saudi.
Bagi para WNI, Arab Saudi adalah tujuan yang menggiurkan. Negara yang dilimpahi oleh Allah SWT dengan cadangan minyak berlebih itu, konon, menawarkan pundi-pundi riyal yang bahkan jika mereka balik ke Indonesia mampu membeli mobil dan rumah.
Nyatanya, tak semua tawaran menggiurkan didapatkan WNI, utamanya yang menjadi pekerja migran. Ada yang dilecehkan, disiksa, hingga dieksekusi tanpa sepengetahuan pemerintah Indonesia. Tapi, entah mengapa Arab Saudi menjadi pesona utama bagi para pekerja migran Indonesia. Mungkin Mekkah dan Madinah menjadi alasan utama untuk bisa beribadah secara lebih intim kepada Allah SWT.
Padahal, data dari Migrant Care mengemukakan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir Arab Saudi telah menghukum mati lima orang tanpa pemberitahuan kepada pemerintah Indonesia terlebih dahulu.
Dengan tanpa melakukan pemberitahuan terlebih dahulu, Arab Saudi juga melanggar Konvensi Wina tahun 1963 yang menyatakan bahwa setiap negara harus memberi kabar tentang penyelidikan, penahanan, hingga eksekusi terhadap warga negara lain.
Bukan hanya itu. Sejak kejadian eksekusi berulang kali tanpa pemberitahuan, Arab Saudi dan Indonesia telah menjalin kesepakatan tentang buruh migran sejak tahun 2015. Itu dilakukan karena tidak ingin kejadian eksekusi mati asal-asalan tak terulang lagi dan Indonesia menjadi penyumbang pekerja migran terbesar ketiga di Arab Saudi.
Pemerintah Indonesia melalui KBRI di Jeddah pun sempat dua kali melakukan Peninjauan Kembali (PK) atas hukuman mati tersebut. Bahkan, saat Raja Salman dan rombongan besarnya berkunjung ke Indonesia yang menghebohkan jutaan rakyat Indonesia, Presiden Joko Widodo juga memanfaatkan kesempatan itu untuk renegoisasi atas eksekusi mati.
Apesnya, saran tersebut agaknya dihiraukan. Arab Saudi tetap kekeuh untuk melakukan eksekusi mati itu. Kematian Zaini Misrin menambah daftar panjang pekerja migran yang meninggal di Arab Saudi. Sejak tahun 2015-2017 ada lima puluh pekerja migran yang dipulangkan ke Indonesia dengan kondisi meninggal.
Sikap Indonesia
Masyarakat Indonesia yang mendengar dan membaca kabar tersebut tentu saja menjadi geram. Tak jarang, banyak yang menyayangkan dan mengecam lambatnya pemerintah Indonesia untuk tidak turut campur terhadap eksekusi mati Zaini.
Padahal, seperti telah diungkapkan di atas, pemerintah Indonesia telah melakukan upaya sebisa mungkin untuk menahan eksekusi mati terhadap Zaini. Tapi, sekali lagi, apa bisa pemerintah Indonesia menekan kerajaan Arab Saudi?
Kita tidak lupa beberapa bulan silam menyambut kedatangan Raja Salman dan segenap pejabatnya untuk berkunjung di Jakarta dan Bali. Bahkan, Bali menjadi tempat yang istimewa bagi Raja Salman dan rombongannya.
Bagi sebagian masyarakat kita, Arab Saudi memang menjadi tempat istimewa, terlebih untuk umat Muslim. Di sana, ada dua kota suci, Mekkah dan Madinah, yang selalu diimpikan para umat Muslim untuk mengunjunginya. Tapi, jangan lupa juga, Arab Saudi menjadi tempat nyaman bagi ulama yang lari dari jeratan hukum di Indonesia.
Untuk memberi pelajaran kepada Arab Saudi, sebaiknya Presiden Jokowi perlu membatalkan kunjungan ke Arab Saudi pada Mei 2018. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan tindakan tegas dari pemerintah Indonesia agar Arab Saudi sadar bahwa pemerintah Indonesia tidak main-main.
Tetapi, apakah Jokowi berani melakukan hal tersebut? Tentu ada dilema yang berkelindan. Jika membatalkan kunjungan, dikhawatirkan Arab Saudi malah bertindak lebih sewenang-wenang. Namun, jika menghadiri kunjungan, Indonesia bisa dianggap lemah dari Arab Saudi.
Semestinya Arab Saudi lebih jeli dan adil dalam menentukan hukuman. Apalagi menyangkut nyawa seseorang yang belum tentu jelas kesalahannya. Jika Arab Saudi saja mau melindungi orang yang jelas melakukan kesalahan di Indonesia, mengapa Arab Saudi justru tak melindungi orang-orang Indonesia yang tak pasti kesalahannya?
Yang perlu diperhatikan oleh pemerintah Indonesia adalah saat ini ada dua puluh satu pekerja migran yang terancam terkena hukuman mati. Dua di antaranya adalah Eti binti Toyib dan Tuty Tursilawati yang terkena kasus serupa dan telah divonis bersalah sejak tahun 2010.
Keputusan Arab Saudi untuk menghukum mati pekerja migran Indonesia tanpa pemberitahuan jelas menyalahi etika diplomatik. Tindakan Indonesia untuk memanggil Dubes Arab Saudi agar memberikan penjelasan adalah salah satu cara cukup baik. Namun, yang patut diingat bagi sebagian masyarakat Indonesia, tindakan yang dilakukan Arab Saudi merupakan seperangkat bentuk pelecehan dan arogansi terhadap pekerja migran Indonesia.
Kolom terkait:
Raja Salman dan Nasib Buruh Migran Kita