Selasa, April 30, 2024

Islam, Sakralitas dan Tradisi Teks Kita

Mohammad Ikhwanuddin
Mohammad Ikhwanuddin
Pendidik di Hukum Keluarga Islam (Ahwal Syakhshiyyah) UMSurabaya, sedang menempuh Studi Doktoral di Prodi Dirosah Islamiyah (Islamic Studies) Pascasarjana UIN Sunan Ampel, melalui Beasiswa MoRA Program 5000 Doktor Kemenag RI.

Saya memiliki 2 kisah mengenai Islam yang saya alami, rasakan dan yakini. Kisah ini menjadi semacam ekstraksi pijakan awal dalam pengembaraan studi Islam saya ke depan.

Kisah Pertama. Tahun 1999, awal saya memulai pendidikan di sebuah Pesantren, daerah Bululawang Malang. Ada sebuah kisah yang sangat membekas. Selepas Shalat Maghrib, saya menemukan beberapa kertas bertuliskan arab tercecer di depan Musholla, di samping pijakan dan alas kaki. Saya memungut, dan mengumpulkannya lalu menaruh di dinding depan kamar.

Ahmadi, salah seorang santri senior dan penjaga Koperasi Pesantren, memperhatikanku sedari tadi lalu bertanya. Sebuah dialog, kurang lebih, sebagai berikut:

“Tulisan apa itu?”.

Saya menjawab, “Tulisan Arab”.

“Al-Quran?”. Tanya Ahmadi kembali

“Saya tidak tahu pasti. Yang jelas, memakai huruf hijaiyah”. Ungkap saya dengan cepat.

“Kalau bukan Al-Quran, apakah tetap kau melakukan hal yang sama seperti tadi?”, dia bertanya dengan nada menyeledik.

“Ehm, bisa jadi. Tapi saya tidak yakin. Terlepas dari itu, Al-Quran kan juga memakai huruf hijaiyah.”.

Saya merasa memberi jawaban yang tepat. Bahwa saya menghormati teks Arab, karena bahasa itulah yang dipakai oleh Al-Quran (Yusuf:2, al-Rad :2, al-Nahl:103, Taha:113, al-Syuara:195, al-Zumar:28, Fushshilat:3, al-Syura:7, al-Zukhruf:3, al-Ahqaf:12). Oleh karena itu, penghormatan saya terhadap teks Arab berupa serangkaian huruf Hijaiyyah mendapatkan legitimasi. Apapun bentuknya.

Dialog berhenti, dan saya tergerak untuk melihat kembali serpihan kertas yang saya pungut tadi. Bukan al-Quran, bahkan bukan bahasa Arab. Tulisan Arab Pegon, sebuah aksara Huruf Hijaiyyah yang “dipinjam” untuk membahasakan bahasa jawa. Pesantren di Jawa, sangat mengenal Arab Pegon.

Kisah Kedua. Terjadi di kisaran Tahun 2006. Saya tengah berada di Pesantren daerah Singosari Malang. Sebelumnya, saya di Annur 1 Bululawang Malang (3 Tahun), Bahauddin Ali Rofii Sepanjang (2 bulan), Al-Khoziny Buduran (1 Tahun), Nurul Huda Singosari (2 Tahun), lalu terakhir di Al-Fattah Songosari (2005-2007). Kisah kedua ini ada di Pesantren Al-Fattah.

Saat itu saya kelas 3 Aliyah (setingkat SMA) dan sedang menggandrungi sastra. Saya senang sekali membaca tulisan di Jawa Pos, yang berada di kantor sekolah, terutama pada Hari Minggu. Itupun, saya baca pada Hari Senin. Cerpen, Esai / Opini Sastra, serta resensi buku, yang sering saya baca. Setelah melihat tumpukan koran bekas tak terurus di gudang kantor, saya memberanikan diri meminta izin kliping koran bekas. Biasanya hanya 3 hal itu -cerpen, esai dan resensi- yang saya kliping. Tidak lebih. Kliping tersebut saya kumpulkan di almari saya, di pesantren.

Suatu ketika ada razia di pesantren. Seluruh barang yang dianggap pengurus dilarang dibawa, dirazia. Termasuk bacaan yang dinilai tidak layak dibawa santri. Saat itu, saya melihat ada barang elektronik, koran bola, komik, majalah dan novel “dewasa”, juga kliping koran saya, dirazia. Semua yang dirazia, berbentuk kertas, akan dibakar. Saya bersikukuh menjelaskan bahwa kliping saya bermanfaat serta ada hubungannya dengan pelajaran. Kliping saya tidak layak dibakar.

Sebagian pengurus tetap membakarnya, karena tidak ada hubungannya dengan pesantren dan  Diniyah (sekolah berjenjang non-formal di Pesantren). Lalu saya berseloroh “Apakah jika saya membawa majalah porno berbahasa Arab, tidak akan dirazia?” Seorang pengurus, sepertinya memahami ucapan saya, mengambil sisa kliping saya, memilah kembali (untuk dibakar) lalu menyerahkan sisanya pada saya. Selesai.

Begitulah Islam, lebih tepat (Arab) Islam yang saya rasakan. Islam adalah Arab, seperti pinang dibelah dua, atau bisa jadi sebuah entitas tunggal. Saat mempelajari Islam, maka tentu saja mempelajari Arab. Berislam, berarti ber-Arab. Ini mirip dengan guyonan satire Prof Masdar Hilmy saat mengatakan “Semakin tidak sesuai dengan budaya Arab, semakin kita merasa tereduksi keislamannya”. Sikap saya dalam memperlakukan Arab dengan Islam, mengingatkan saya atas sikap saya pada Huruf Hijaiyyah yang digunakan teks al-Quran tersebut.

Seiring dengan waktu dan pengalaman, setelah menuntaskan strata satu dan dua hingga mendapat kesempatan studi doktoral melalui Beasiswa MoRA Program 5000 Doktor Kemenag RI di UIN Sunan Ampel Surabaya, saya mendapati Islam yang saya rasakan dengan sikap yang sama. Perlakuan saya terhadap teks-teks keagamaan kemudian mewujud menjadi Islam itu sendiri.

Ada sakralitas teks keagamaan yang sedang berakumulasi, mencari bentuk, dan memagut dalam stagnasi pemikiran keagamaan. Agama memang sakral dan suci. Namun proses sakralisasi yang terjadi, berdasar pada pengalaman individu saya, justru membuat agama anti-nalar, anti-kritik, dan tafsir atas agama menjadi menjadi hal yang tak boleh ditentang, dipikirkan, dan ditelaah. Semua diterima apa adanya, taken for granted.

Maka benar sekali, saat Nasr Hamid menjelaskan bahwa peradaban dunia itu ada 3, peradaban filsafat di Yunani, peradaban teks di Arab, dan peradaban ilmu di Eropa. Arab, di mana Islam lahir, menjadi peradaban teks yang demikian kuat. Kebenaran, idealitas, dan standarisasi diukur berdasarkan teks. Fiqih, Qanun, Keputusan Peradilan dan Fatwa, setidaknya 4 ruang lingkup pemikiran Hukum Islam menurut Prof Atho Mudzhor, berporos pada tradisi teks.

Ada semacam taqdis al-nas wal fikr (sakralisasi teks dan pemikiran) dalam sikap saya. Tentu ini lebih baik, daripada taqdis al-khat (sakralisasi khat, huruf Arab) yang pernah saya alami, dalam kisah pertama di atas, tentang perlakukan saya terhadap huruf hijaiyah. Namun dalam pengembangan studi Islam ke depan, dengan ragam problematika kontemporer yang terus bermunculan, dan relasi serta situasi yang kian berkembang, kajian tentang studi Islam harus dicarikan pola baru yang lebih komprehensif. Hal ini memiliki semangat yang sama dengan Sahal Mahfudz dalam pengantar Ahkamul Fukaha yang mengatakan “kalau ada fiqh klasik yang tidak relevan, atau tidak bermuara pada keadilan, maka harus dibuat fiqh baru”.

Tradisi teks memang tidak bisa dikesampingkan, namun pembacaan serta penerapannya harus menggunakan dan berbasis pada metodologi kontemporer. Pada titik inilah, kelas Metodologi Studi Islam asuhan Amin Abdullah memiliki relevansi yang kuat.

(Catatan Pembuka General Review Kelas Metodologi Studi Islam Prof. Dr. M. Amin Abdullah, MA)

Mohammad Ikhwanuddin
Mohammad Ikhwanuddin
Pendidik di Hukum Keluarga Islam (Ahwal Syakhshiyyah) UMSurabaya, sedang menempuh Studi Doktoral di Prodi Dirosah Islamiyah (Islamic Studies) Pascasarjana UIN Sunan Ampel, melalui Beasiswa MoRA Program 5000 Doktor Kemenag RI.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.