Dewasa ini banyak penceramah/pendakwah yang menyampaikan ceramah keagamaan di berbagai mimbar jumatan dan forum pengajian (offline maupun online) di ragam kanal dengan materi-materi yang provokatif. Atas nama keyakinan mayoritas, setiap ujarannya menyelipkan nuansa intimidasi terhadap kelompok minoritas. Bahkan, tebaran kebencian kepada kelompok yang berbeda aliran diniscayakan sebagai cara jihadiyah yang dianggap sebagai anjuran ajaran agama.
Berbekal referensi keagamaan yang diklaim diambil dari dalil-dalil bernuansa jalaliyah—meminjam istilah Sachiko Murata dalam The Tao of Islam—serta pendapat para ulama yang segaris dengan cara pandang keagamaannya yang serba rigit, normatif, dan eksklusif, setiap kata dan kalimat yang disampaikan kepada pendengar (mustami’) disublimasi sebagai pedoman hidup yang perlu disampaikan kepada yang lain secara berantai.
Para pendengar yang sepakat dengan isi ceramah keagamaan yang penuh sarkasme dan satirisme tersebut tentu akan mereproduksi isi ceramahnya sebagai ajaran yang paling benar lalu menyebarkannya ke berbagai kelompok masyarakat. Mereka juga akan mendatangi berbagai kelompok masyarakat yang pengetahuan agamanya dianggap masih minim. Tak cuma itu, mereka pun meneguhkan isi ceramah yang sudah diterima sebagai ajaran agama yang dianggap paling bisa memperkuat akidah keumatan.
Bahkan tidak jarang janji-janji surga digunakan sebagai bahasa agama yang diungkap secara simbolik dan metaforik untuk meyakinkan pihak yang mendengarkan. Intinya, bila apa yang disampaikan—dengan merujuk kepada isi ceramah yang diperoleh dari penceramahnya—bisa dijalankan, maka identitas “syahid” akan menjadi jaminan.
Implikasinya, isi ceramah yang disebarkan para pendengar setianya dan tidak diimbangi nalar kritis memadai dalam memahami muatan teks dan konteks ajaran yang disampaikan dalam isi ceramah para penceramah panutannya, perlahan-lahan isi ceramah tersebut akan membentuk jaringan komunikasi laten. Tak hanya itu, isi ceramahnya akan menimbulkan keresahan bagi banyak kalangan melalui cara dan mekanisme yang berbeda.
Hal ini tampak dari berbagai kesaksian sekelompok orang yang terjaring dalam lingkaran yang diduga teroris yang rela mengorbankan jiwa raganya, sanak keluarganya, bahkan kehormatannya sebagai “mujahid artifisial”. Pemicunya adalah kuatnya pengaruh doktrinal yang menjanjikan surga bagi siapa pun yang rela berjuang dan berkorban dengan cara keberagamaan yang radikalistik.
Selain itu, pesan keagamaan yang radikalistik tersebut membentuk sebuah pertahanan diri yang berfungsi membela kelompok teroris maupun gerakan ekstremis yang secara nyata telah merugikan banyak kalangan, baik di lingkungan masyarakat, bangsa, maupun negara.
Nalar Provokatif
Tak sedikit para pendakwah yang tanpa sadar menyatakan pembelaan bahwa yang dilakukan kelompok ekstremis dan teroris dianggap sebagai salah satu pesan Ilahi yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam. Sebab, apabila seorang Muslim berani melaksanakan pesan Ilahi, dan di saat itu yang bersangkutan meninggal dunia, maka jenazahnya tergolong syahid.
Dalam kaitan ini, pembenaran perilaku kekerasan yang dibela melalui penyampaian ceramah keagamaan, ditambah labelitas mati syahid bagi yang berjihad dengan cara ekstrem, tentu bisa menjadi bumerang bagi umat Islam umumnya. Ya, pesan yang sarkastik tersebut akan bereproduksi secara berkelanjutan sebagai pengetahuan baru dan membentuk gelombang jihad dengan mengatasnamakan Islam.
Maka, tidak heran, bila umat Islam selalu dicurigai sebagai produsen terorisme. Jika dicermati, banyak kalangan teroris yang melakukan tindak kejahatan kemanusiaan dengan cara mengebom yang dipengaruhi oleh pesan keagamaan bernuansa provokatif dan tegang plus tebaran kebencian kepada pihak lain.
Cara penyebaran pesan keagamaan semacam ini tentu perlu dicermati dan direspons sebagai salah satu bentuk “penyimpangan” indoktrinasi yang harus diperbaiki sekaligus diantisipasi. Agar Islam tidak selalu dihadapkan dengan satu situasi dan persepsi kekerasan dan tidak menganut prinsip toleransi dan inklusivitas. Padahal, dalam sejarahnya, Islam selalu disampaikan dengan bahasa yang damai dan menebarkan kerahmatan di antara perbedaan yang terjadi di kalangan umat manusia (Machasin, Islam Dinamis dan Islam Harmonis).
Melalui dakwah tersebut, reproduksi pesan keagamaan yang represif-otoritanian (Khaled Abou Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan) perlahan dan berkelanjutan memicu munculnya gerakan radikalisme di kalangan umat Islam. Bahkan, gerakan ini membentuk jejaring relasional yang saling berkelindan antara satu dengan yang lain hingga berwujud arus kelompok yang merepresentasikan diri sebagai penjaga moralitas keagamaan.
Kondisi demikian bisa dicermati dari pola tindakan memaksa dan mengintimidasi keberadaan kelompok umat Islam yang lain untuk terlibat secara pasif dan aktif di berbagai model keyakinan mereka dalam menginternalisasi dan mengimplementasikan ajaran Islam yang ekstremistik.
Dalam kaitan ini, radikalisme keagamaan yang telah membentuk arus laten acapkali menyulut timbulnya konflik sosio-kultural dan bahkan persitegangan struktural pada masing-masing level kehidupan masyarakat. Karenanya, wajah Islam kerap dilabelisasi sebagai sumber pemicu utama terciptanya kehidupan yang disharmoni, intoleran, dan totalitarian. Dari sinilah kemudian lahir mispersepsi berkepanjangan dari kalangan nasional maupun internasional terhadap umat Islam sebagai umat penebar keencian.
Padahal, inti ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad jauh dari mispersepsi yang ada saat ini. Sebab, Islam merupakan agama yang menghargai perbedaan, agama yang penuh kerahmatan, agama yang menjunjung tinggi hak asasi, agama yang tidak pernah memaksakan kehendak kepada kelompok lain, dan agama yang bernuansa kedamaian bagi semua makhluk yang ada di muka bumi. Namun, lantaran ulah sebagian kecil kelompok umat Islam yang menampilkan “wajah garang”, citra Islam tidak pernah surut dari stigmatisasi dan penilaian negatif yang lain.
Mencerahkan Pendakwah
Di tengah-tengah suasana psiko-sosial keagamaan yang sangat rentan dan naif ini, tentu dibutuhkan kehadiran penceramah yang menyampaikan ajaran keberagamaan yang santun, bersikap ramah, menghargai perbedaan, berpandangan moderat, toleran, dan inklusif. Penceramah harus memiliki pengetahuan yang luas, pendekatan keilmuan yang integratif dan interkonektif agar bisa mempertautkan konten keagamaan dengan problem realitas yang berimbang, serta wawasan kebangsaan dan kewarganegaraan nan komprehensif.
Penceramah yang banyak berkiprah di tengah-tengah masyarakat yang heterogen, misalnya, harus bisa menyeleksi dan memverifikasi materi ceramah yang tepat dengan situasi dan kondisi di lapangan. Agar materi yang disampaikan tidak menimbulkan kerancuan pandangan yang bertolak belakang dengan norma sosial yang ada. Bahwa di dalam referensi keberagamaan yang dipilih terdapat berbagai dalil dan pendapat ulama yang tidak simetris dengan pengetahuan umum dan kebiasaan masyarakat, penceramah harus memberikan alasan dan penjelasan yang logis dan kontekstual.
Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat tidak terprovokasi oleh suatu sebab yang—karena ada dalil al-Qur’an, riwayat hadis, maupun pandangan ulama—bisa berdampak kepada terjadinya disharmoni dalam kehidupan mereka. Dengan kata lain, merujuk pada istilah KH A. Mustafa Bisri, penceramah harus memiliki mental mamlakah (inner of knowledge) dalam menjelaskan ajaran keagamaan secara etis sehingga masyarakat bisa memahami bahwa kebenaran adalah keniscayaan yang harus ditegakkan dan ketidakbenaran adalah persoalan yang harus diluruskan.
Dengan demikian, masyarakat bisa menghayati dan menjalankan ajaran agama yang disampaikan sebagai pedoman hidup yang mencerahkan dalam berperilaku, baik antar sesama dan dengan lain, proporsional menyikapi perbedaan yang ada, mengatasi masalah yang arif yang timbul di tengah kehidupan sosial yang heterogen, dan berusaha bijak menghargai tradisi dan berbaur dengan ajaran al-Qur’an dan sunnah, dan cara lainnya yang dilingkupi oleh nuansa akhlak karimah.
Di sinilah tanggung jawab para pendakwah dalam membingkai keselarasan antara materi (maddah) dan cara (thoriqoh) ceramah keagamaan yang akan disampaikan. Mereka harus menyadari bahwa keselamatan orang berada dalam kemampuannya menjaga lisan (salamatul insan fi hifdzil lisan). Dan lisan adalah modal utama pendakwah dalam menyebarkan kebenaran yang sinergis dengan keramahan dan keharmonisan.
Kolom terkait:
Kaleidoskop 2017: Tahun Keprihatinan Beragama
Catatan dari Notre Dame: Belajar Menghargai Perbedaan Keyakinan
Khutbah: Antara Kebebasan dan Ujaran Kebencian