Natal, 25 Desember 2017, saya menunaikan hajat penasaran untuk menonton film Ayat-Ayat Cinta 2” (baca: AAC2). Film ini baru dirilis 21 Desember 2017 dan telah mendapat sambutan hangat di tengah masyarakat. Sampai-sampai Ketua MUI KH Ma’ruf Amin, Prof. BJ. Habibie, dan tokoh lain ikut memberikan testimoni positif.
Film yang disutradarai oleh Guntur Soehardjanto ini sejatinya diangkat dari novel Habiburrahman El Shirazy dengan judul yang sama. Saya sendiri belum sempat membaca novelnya. Asumsi saya, kesuksesan novel dan film Ayat-Ayat Cinta yang membuat film AAC2 ini punya magnet kuat menyerap banyak penonton, setidaknya sampai saat saya menontonnya.
Film ini mengisahkan sosok Fahri sebagai dosen di salah satu universitas Eropa yang mengajar tentang Islam. Ia merasa kehilangan istrinya, Aisha, yang telah lama pergi menjadi relawan di jalur Gaza namun belum kunjung ada kabar. Saat rasa kehilangan itu, muncul Hulya dalam hidup Fahri, yang juga sepupu Aisha.
Relasi Keberagamaan
AAC2 menampilkan sosok Fahri sebagai Muslim yang hidup di tengah keragaman beragama. Tetangga Fahri, nenek Catarina, adalah seorang Yahudi. Keira, tetangga depan Fahri, adalah seorang beragama Katolik. Fahri digambarkan sebagai seorang Muslim yang taat dan sangat mengedepankan rasa kemanusiaan. Ia tak segan memberikan bantuan kepada tetangga-tetangganya yang sedang dalam masalah, walau mereka bersikap kasar kepada Fahri.
Film ini sedang memberikan edukasi pentingnya menghargai perbedaan dan menolong kepada siapa pun atas nama kemanusiaan. “Yang paling patut kita cintai adalah cinta itu sendiri dan yang paling patut kita musuhi adalah permusuhan itu sendiri”, ungkap Fahri dalam salah satu scene film.
Ketika Fahri difitnah oleh nenek Catarina, ia justru tetap menawarkan bantuan mengantar nenek Catarina ke Sinagog untuk beribadah. Ketika adik Keira dalam masalah dengan kasus pencurian di mini market milik Fahri, Fahri justru melakukan pendekatan persuasif dengan menampilkan akhlak sebagai Muslim yang ramah dan memaafkan.
Keira yang kesulitan melanjutkan sekolah musik, diam-diam oleh Fahri disewakan guru biola yang terkenal. Berkat itu, Keira mampu sukses berkarir dalam musik biola tanpa sepengatahuan jasa Fahri yang mendatangkan guru biola dengan biaya yang mahal.
Scene yang diperankan Fahri adalah inspirasi dari sunnah Nabi. Fahri menyebutkan membantu tetangga adalah perintah Rasulullah. Artinya, film ini juga bentuk living sunnah di mana komunitas film meresepsi hadis Nabi kemudian dituangkan dalam AAC2. Nilai-nilai sunnah Nabi berusaha dihidupkan dalam film ini.
Sampai di sini, Fahri digambarkan sebagai sosok Muslim yang baik dan bijak yang patut dicontoh. Bentuk toleransi Fahri terhadap pemeluk agama lain juga memberikan gambaran Fahri sebagai Muslim Indonesia yang memegang nilai-nilai Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, bukan hanya dalam teori tapi juga dalam tingkah laku kehidupan sehari-hari.
Hanya saja, ketika film ini berusaha membangun nilai-nilai toleransi, di saat yang sama ia menampilkan ketidakadilan toleransi. Beberapa scene di awal lebih banyak menampilkan sikap toleransi Fahri sebagai Muslim kepada non-muslim. Sebaliknya, tokoh-tokoh non-Muslim yang ada dalam kehidupan Fahri dicitrakan sebagai penganut agama yang fobia dan benci kepada Islam, termasuk kepada Fahri sebagai Muslim.
Ketika film ini menampilkan flashback Aisha di jalur Gaza, bentuk toleransi yang sedari awal ingin dibangun menjadi lumpuh. Scene tentara Israel yang menganiaya Aisha memberikan penggambaran tentara Israel sebagai representasi Yahudi yang kejam. Film ini akhirnya menimbulkan kesan bukan saling toleransi antaragama, tetapi sebatas toleransi Muslim kepada non-Muslim. Sebaliknya, non-Muslim tidak ditampakkan sebagai toleran kepada Muslim.
Dalam dunia perfilman hal ini mungkin dianggap biasa untuk menambah dramatisasi alur cerita demi meningkatkan emosi agar pesan tersampaikan kepada penonton. Tetapi harus segera disadari bahwa film punya peran penting untuk membuat opini dan mengkonstruksi persepsi masyarakat. Jika tidak bijak, maka massa penonton menjadi prioritas utama, sedangkan pesan damai dan toleransi tak tersampaikan dengan baik.
Relasi Gender
Sebagai sebuah produk, AAC2 patut diapresiasi dengan banyak cara. Salah satunya dengan memberikan komentar. Film ini memiliki alur cerita yang bagus dan mampu mengaduk emosi penonton. Saya sendiri merasa terenyuh menonton film ini. Terdengar jelas isak tangis para penonton, terutama kaum hawa ketika menyaksikan beberapa scene yang terbilang menyentuh.
Jika dilihat dari sisi relasi gender yang ditampilkan, ada beberapa alur cerita yang membentuk kesan ketidakadilan ataupun ketimpangan gender. Merujuk kepada almarhum Mansour Faqih, ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam melihat relasi gender dianggap sebagai sebuah ketidakadilan. Namun dalam film ini ada empat hal yang perlu disoroti.
Pertama, marginalisasi terhadap kaum perempuan. Aisha dalam film ini menjadi tokoh yang terasingkan dalam kehidupannya. Ia layak bahagia bersama Fahri namun tak tega jika jujur kepada Fahri. Ungkapan Aisha “Saya bahagia melihat Fahri bahagia” adalah bentuk keterpaksaan. Scene lain yaitu ketika Fahri setelah menikahi Hulya dan memintanya untuk berhijab adalah pengukuhan posisi keterbatasan Hulya menjalankan yang diyakininya benar.
Kedua, stereotip. Keira dicitrakan sebagai perempuan yang berani “menjual diri” untuk memenuhi keterbatasan ekonomi. Keira adalah cerminan perempuan lemah yang butuh bantuan sampai-sampai harus dibiayai untuk kursus musik oleh Fahri. Keira merasa bodoh karena telah dibantu.
Selain itu, dalam film ini ditampilkan sosok Fahri yang dikagumi oleh banyak perempuan. Ini memberikan kesan bahwa kaum perempuan lebih mudah tertarik dan agresif kepada laki-laki. Bahkan, Aisha pertama kali bertemu kembali dengan Fahri dalam keadaan imigran ilegal yang disangka sebagai pengemis oleh orang-orang.
Ketiga, subordinasi. Perempuan digambarkan sebagai makhluk nomor dua. Fahri digambarkan sebagai dosen, berpendidikan tinggi, dan pengusaha sukses. Adapun Aisha memilih penyamaran sebagai imigran ilegal yang butuh bantuan dan akhirnya menjadi pembantu rumah tangga di rumah Fahri.
Selain itu, scene Hulya yang ingin melanjutkan pendidikan postgraduate harus menerima saran orangtuanya agar menikahi Fahri yang telah beristri. Di scene lain, Keira karena sumpahnya, rela berlutut agar dinikahi Fahri yang pada saat itu Hulya jelas-jelas telah menjadi istri Fahri. Pada bagian akhir, Aisha merunduk meminta maaf kepada Fahri, hanya karena ingin melihat Fahri bahagia dan merasa tak pantas menjadi istri Fahri lagi.
Keempat, kekerasan. Kekerasan fisik terlihat perempuan menjadi tahanan para tentara Israel bahkan Aisha rela melukai diri dan tubuhnya demi menjaga kehormatannya. Selain fisik, kekerasan emosional juga ditampilkan ketika Aisha harus menerima kenyataan Fahri menikahi Hulya. Menurut penuturan beberapa penonton kaum hawa, scene inilah yang paling menguras emosi, membuat air mata tak tertahankan.
Berbahagiakah pernikahan keduanya? Bagaimana dengan nasib Aisha?
Kolom terkait
Surga (Patriarkis) yang Tak Dirindukan 2