Perang Bintang yang diimajinasikan film garapan Rian Johnson dalam seri The Last Jedi itu kembali memukau para penggemar fiksi sains. Ranah yang sepanjang alaf dunia modern dianggap sebagai cikal-bakal hidup di masa depan. Sains memang selalu menawarkan perubahan yang kasat mata. Bisa dicandra dan dinalar sejauh yang bisa dilakukan manusia.
Sejatinya, hidup yang kita jalani hari ini, telah pula disiapkan perangkatnya oleh para ilmuwan dan saintis zaman lalu. Barangkali umat manusia yang akan datang memang akan terjebak perang teknologi canggih sebagaimana dinujum film tersebut. Namun, di luar soal itu, ada yang masih bisa kita amati berdasar imajinasi liar Johnson.
Pertama, manusia tak bisa lepas dari sebuah tatanan. First Order dalam Star Wars masih menegaskannya. Snoke sebagai Pemimpin Agung kerap berambisi memimpin galaksi dengan terus memburu dan menindas Resistance. Sama belaka dengan Amerika hari ini yang tak jemu meruyah Palestina. Begitu pula dengan dominannya kejahatan merajalela dalam kehidupan kita, yang seolah menenggelamkan kebaikan, meski sesungguhnya selalu saja ada kebaikan dalam setiap kejahatan. Kita hanya perlu membuka mata hati dan menutup mata kasat, demi menemukan rahasia indah hidup manusia.
Kedua, spirit bertahan. Resistance yang dikomandoi oleh perempuan berhati baja, Leia Organa, tak patah arang memimpin pasukannya melakukan perlawanan dengan hanya satu cara: bertahan. Itulah filosofi terbaik yang dipertahankan Leia hingga akhir pertempuran.
Mungkin gairah seperti ini yang sekarang mulai meluntur. Tekanan hidup zaman kiwari telah membuat manusia jadi rapuh. Gampang menyerah. Kalah menghadapi kenyataan hidupnya masing-masing. Secara universal, film ini meringkas isi ceritanya dengan, “Civilization known as the resistance.” Peradaban manusia dikenal dengan caranya bertahan.
Ketiga, pencarian identitas diri. Rey yang diutus Leia menemui saudara kandungnya, Luke Skywalker, demi meminta pertolongan menghadapi keganasan Snoke–adalah seorang gadis antah berantah di rimba raya galaksi. Apa yang dialami oleh Rey tak ubahnya kondisi semua manusia. Hadir begitu saja di semesta kehidupan, dalam sebuah keluarga, atau semata wayang. Tapi kenyataan paling terang yang kita hadapi, hidup ini menawarkan begitu banyak misteri tentang kenapa dan untuk apa kita hadir di bumi.
Teknologi informasi yang terus menggempur adab modern membuat kita kian sulit menemukan kesejatian di dalam diri. Manusia hari ini tepersonifikasi ke dalam akun demi akun. Deret algoritma. Baris kode. Identitas menjadi sesuatu yang semu, lebih tepatnya maya. Demi mengejar kegelisahan itu, nyaris semua hal yang kita lakukan harus diketahui oleh warga dunia. Bukan lagi semata untuk keluarga. Identitas manusia abad ke-21 adalah diri yang pecah-belah.
Keempat, energi tak terkendali yang dimiliki Kylo Ren. Sosok ini berada di bawah kendali Snoke dan menjadi kepanjangan tangannya. Ia juga pernah menjadi murid unggulan Luke Skywalker. Sayang, takdir terpaksa memisahkannya dengan sang guru, sejak Luke mengetahui potensi Kylo yang menyimpan sisi gelap semesta dan sanggup mengaktifkannya.
Kita juga mengalami hal serupa. Kerapkali berpisah dengan para guru terbaik dalam kehidupan, ihwal ketidakmampuan mengelola gelombang besar pertentangan yang terjadi dalam diri. Kita merasa lebih tahu tinimbang yang memberi tahu–yang menasihati. Banyak juga di antara manusia yang kemudian terjerembab dalam lembah kenistaan sendiri, manakala akal sehat mulai tak seiring jalan dengan desiran hati.
Kelima, tentang para Jedi. Anggota sebuah organisasi biarawan kuno dan luhur, yang terkenal karena bakat mereka dalam menggunakan dan menghormati The Force–menggunakan benda-benda hidup di sekitarnya. Para Jedi ini turut bertempur mempertahankan kedamaian dan keadilan di galaksi, dengan menggunakan pedang cahaya (lightsabers). Ya, cahaya adalah cara tuhan menerangi kegelapan dunia.
Sebagian besar jedi terdiri dari para polymaths: guru, filsuf, ilmuwan, dokter, diplomat, dan prajurit, yang menghargai pengetahuan-kebijaksanaan atas kebangsaan dengan melayani orang lain. Jedi menyerahkan diri mereka melalui dharma bhakti, kewarganegaraan, dan kesukarelaan. Master Yoda, Qui-Gon Jinn, Obi-Wan Kenobi, dan Luke Skywalker adalah para penjelajah langit yang sejati. Mereka adalah pengejawantahan manusia sebagai anak-anak langit yang berjalan di bumi.
Para Jedi, kendati menarik diri jauh dari hiruk pikuk perang bintang yang durjana, tetap dijadikan tumpuan oleh sesamanya. Di kehidupan kita saat ini, jedi bisa disejajarkan dengan para mpu, bhikku, brahmin, paus, kiai, atau dalai. Seperti Luke Skywalker yang memilih mukim di sebuah planet mirip bumi, mereka juga hidup menepi dari keramaian dan kedegilan manusia.
Pada merekalah umat manusia kerap menitipkan harapan. Doa-doa mereka langsung menembus kubah langit. Ketenangan dan kedamaian mereka jadi pelipur lara anak-anak manusia. Kebahagiaan di hati mereka bersemi setiap waktu. Menyebar ke seantero dunia yang porak poranda. Mereka tak pernah kehabisan cinta-kasih pada kita semua.
Dunia modern yang, konon, kian maju itu ternyata tak mampu menciptakan hati yang lembut dan seluas samudra. Zaman halai-balai dan serba canggih begini rupanya tak sanggup mengkloning para bijak bestari yang pernah ada di tengah umat manusia. Ajaibnya, mereka selalu lahir dari keadaan yang sumpek, jumud, dan nyaris terjun ke titik nadir. Rahim para ibu adalah gerbang bagi mereka yang akan hadir selaku salvator mundi (juru selamat dunia).
Kiranya, peran orangtua–terutama ibu itulah yang tak terlihat sepanjang film Star Wars: The Last Jedi. Padahal takkan ada peradaban unggul bila kaum ibunya terpinggirkan. Dari rahim seorang ibu, lahir Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad, Alexander, Ibn ‘Arabi, Rumi, Raden Wijaya, Gajah Ahmada, Gandhi, Hasyim Asy’ari, Sukarno, Theresa, Mandela, Gus Dur.
Ibu adalah lokus, yang darinya kehidupan menjadi semarak dan pusparagam. Kita berhutang darah, susu, dan airmata pada ibu. Sampai usia meranggas, takkan mampu kita membalas.