Yang ditakutkan benar-benar menjadi kejadian. Donald Trump, Presiden Amerika Serikat ke-45 benar-benar menepati janji yang diucapkan pada Juni 2016. Saat itu, ia berjanji kepada Benjamin Netanyahu, sang penguasa Israel, untuk memindahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. Dan janji tersebut telah dilaksanakan pada Rabu (6 Desember 2017), pukul 13.00 waktu Washington.
Langkah Trump sungguh tak main-main. Ia dengan lugas dan tuntas mengucapkan sebuah kalimat yang tentu memantik emosi para pemimpin Arab. Terhitung ada 12 negara baik dari wilayah Timur Tengah maupun Eropa yang mengatakan bahwa langkah Donald Trump benar-benar bodoh. Sebuah keputusan yang memicu perpecahan dan menambah konflik bahkan mungkin Perang Dunia III.
“It’s time to officially recognise Jerusalem as the capital of Israel.”
Pernyataan itu ditambahkan dengan sebuah kalimat bahwa sudah saatnya Israel menjadi negara modern dengan menempatkan Yerusalem menjadi sebuah ibukota. Ia beranggapan bahwa apa yang dilakukannya merupakan jalan ideal dan terbaik daripada harus mendukung langkah-langkah negara-negara Arab maupun Eropa untuk mendukung terjadinya dua negara: Israel dan Palestina.
Apalagi kalimat yang sungguh membuat terkejut adalah ia menganggap ucapannya adalah pertolongan untuk menuju jalan kedamaian. Padahal, Raja Salman sebagai Raja Arab Saudi dan Abdel Fattah al-Sisi sebagai Presiden Mesir mengingatkan secara simultan bahwa tindakan Trump sungguh berbahaya. Ini bukan tindakan solidaritas terhadap Israel tetapi justru provokasi terhadap umat Muslim di seluruh dunia.
Lalu, apakah tindakan Trump benar-benar salah? Ini yang patut disimak.
Pertama, kita harus memahami bahwa Trump adalah presiden yang pandai memanipulasi kata. Suka berakting. Retorika yang cukup epik selalu digelorakan. Namun yang menarik adalah keputusan yang dilakukan Trump hanya untuk mematuhi undang-undang di tahun 1995 yang menyatakan bahwa memindahkan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem adalah sebuah keniscayaan.
Namun, sejak Bill Clinton hingga Barrack Obama yang menjadi Presiden AS, tak ada yang berani meamatuhi keputusan tersebut. Mereka sadar bahwa jika hal itu dilakukan, tentu saja akan menambah perbendaharaan konflik di dunia internasional.
Karenanya, mereka hanya menandatangani surat penangguhan–yang intinya menunda kepindahan tersebut–setiap enam bulan sekali. Trump sudah melakukannya pada Juni 2017. Berdasarkan rentang waktu, Desember adalah bulan jatuh tempo. Dan seperti yang sudah digembar-gemborkan, terbukti Trump menepati janjinya.
Apa boleh bikin, keputusan tersebut memang kontroversial. Dan Trump memang pantas dijuluki sebagai raja retorika.
Kedua, ada beberapa survei yang menjadi acuan Trump. Salah satunya survei yang dilakukan kaum Kristen Evangelis, pendukung Trump. Hasilnya tak mengejutkan. 53% mendukung apa yang dilakukan Trump. Memindahkan Kedubes AS. Hanya 40% yang tidak setuju, sedangkan sisanya abstain.
Ketiga, Trump adalah salah satu Presiden AS yang hampir selalu menepati janji, meskipun janji yang dibuatnya selalu kontroversial. Tentu jika Anda masih ingat bahwa ia adalah presiden yang dengan jujur dan gamblang menyatakan bahwa “umat Muslim adalah pembawa masalah.” Dan itu dibuktikan dengan memblokade tujuh negara Muslim, di antaranya ada Iran dan Irak untuk masuk ke dalam Amerika Serikat.
Keputusan tersebut bahkan dilakukan tiga hari sebelum keputusan pemindahan Kedubes AS. Tidak hanya itu, ia juga benar-benar enggan mengakomodasi kepentingan umat Muslim di AS. Dan yang terhangat adalah pekan lalu ia merituit tiga video yang diunggah akun terindikasi anti-muslim tentang kasus penembakan yang dilakukan umat Muslim di Inggris.
Meskipun video tersebut bisa diperdebatkan kebenarannya, yang dilakukan Trump jelas melukai perasaan umat Muslim di Inggris. Wali Kota London Sadiq Khan hingga PM Inggris Theresa May mengecam tindakan bodoh Trump. Namun apa kata Trump? Ia justru mengkhawatikrkan dan menyayangkan tindakan May yang masih membiarkan imigran Muslim berkeliaran di Inggris.
Ilan Pape, penulis The Ethnic Cleansing of Palestine, menyatakan bahwa tindakan Trump akan memicu reaksi aktif dari dunia internasional. Ia pun menjelaskan lewat buku tersebut bahwa yang dilakukan Israel bukan sekadar okupasi melainkan kolonisasi. Jadi, sudah seharusnya mereka melakukan dekolonisasi terhadap Israel. Bukan membiarkan Israel menari-menari di tanah suci.
Kepindahan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem seakan ingin menegaskan bahwa Israel-lah yang berhak memiliki Yrusalem. Rekognisi yang dilakukan Trump memang didesain untuk menerbitkan huru-hara serta prahara, bukan tawaran kedamaian.
Namun, nasi sudah menjadi bubur. Trump sudah telanjur membuat keputusan. Apa yang dilakukan Hamas dan Fattah untuk bernegosiasi memperjuangkan Palestina menjadi negara seutuhnya akan menjadi sia-sia. Apalagi yang bisa dilakukan mereka bahkan dunia internasional jika AS memiliki segalanya.
Jika masalah tersebut dinaikkan hingga ke ranah PBB, lantas apa yang dilakukan PBB. Mereka mungkin mengecam yang dilakukan Trump. Namun, apa bisa mereka menolak keinginan AS? Hak veto pun masih dimiliki Amerika Serikat. Sekuat apa pun dukungan, justifikasi, glorifikasi dari negara-negara Arab maupun Eropa kepada Palestina, akan tetap mentah di mulut Donald Trump.
Saat ini mungkin belum ada yang bisa dilakukan oleh siapa pun. Kecaman tidak akan membungkam mulut Trump jika tak disertai tindakan. Namun, apakah muncul keberanian dari sekutu AS macam Arab Saudi dan sekitarnya untuk memblokade permintaan AS?
Jikalau belum atau bahkan tidak berani, maka biarkan tangan Tuhan yang bekerja untuk membungkam mulut Donald Trump.
Kolom terkait:
Trump dan Status Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel
Trump dan Politik Pompa Air di Timur Tengah
Kita dan Suriah: Tidak Trump, Tidak Putin, tapi Kita