Tampaknya perundungan tak akan pernah beres dari negeri ini. Baru-baru ini, hanya karena seorang anak berperawakan mirip Ahok, dia dirundung. Anak itu sebenarnya bukan berasal dari etnis yang sama dengan Ahok. Dia benar-benar dari etnis Indonesia asli (Nias). Namun, karena wajahnya mirip Ahok, dia pun dirundung.
Tentu saja berita seperti ini sangat menyakitkan. Hanya karena wajah (belum etnis-agama), maka kita harus menerima serapah. Padahal, kalau dipikir-pikir, siapa dari kita yang bisa memilihkan wajah untuk diri kita sendiri? Siapa dari kita yang berhak memilihkan etnis untuk diri sendiri?
Kalau dilacak lagi kisah anak itu, kita tentu akan semakin merasa miris. Betapa tidak, anak itu sudah mengalami perundungan sejak tahun 2014. Artinya, sudah hampir tiga tahun dia mengalami siksaan batin karena sesuatu yang tak kuasa dia tolak: wajah. Ahok yang kontroversial, masakan jua anak itu harus mengalami getahnya.
Melihat ini semua, kecurigaan kita tentu memuncak pada pertanyaan ini: di mana pihak sekolah selama tiga tahun ini? Atau, jangan-jangan pertanyaan harus dibalik: apakah sekolah memang sengaja memelihara perundungan itu selama sekian tahun?
Siapa pun kita sudah semestinya mengkritik sekolah demikian karena alih-alih menolak, malah sekolah terkesan merawat perundungan. Sebab, bukankah pada dasarnya sekolah hanya ada untuk membebaskan anak: membebaskan dari kebencian hingga kebodohan? Bukankah sekolah adalah ruang yang ramah di mana toleransi seharusnya dibibitkan, bukan malah diperolok-olok? Bukankah sekolah adalah ruang untuk mengolah hati, bukannya malah ruang makan hati? Bukankah sekolah itu ibarat taman di mana setiap pengunjung bebas untuk menikmati taman itu?
Taman Kuburan
Ya, sekolah adalah taman. Sekolah dihadirkan bukan tempat untuk menambah beban, melainkan tempat untuk berbagi peran. Kiranya, itulah yang menjadi alasan mengapa pada tahun 197 SM, Plato mengajak anak-anak mengisi waktu senggangnya (schola) di sebuah academe (taman). Dibuat di taman karena sekolah adalah ruang yang sangat ekslusif: semua bisa masuk untuk beristirahat dan menikmati bunga-bunga kehidupan tanpa harus mengalami perundungan dan penghinaan. Sekolah adalah taman untuk merayakan keindahan.
Taman yang indah tentu saja tak pernah ditumbuhi oleh tanaman yang seragam. Harus ada bunga mawar, anggrek, melati, dan sebagainya agar mata yang melihatnya tak bosan dan jenuh. Dalam bahasa sastrawan besar John James Osborne, sekolah itu (harus) ibarat taman Tuhan. Namun, (ini harus saya katakan dengan sangat jujur) adalah kenyataan bahwa kini banyak sekolah kita sudah berubah menjadi taman makam yang seram: pekuburan. Semua penghuninya menjadi mayat-mayat dan hantu-hantu. Semua pengunjung yang datang pun penuh dengan ratap-ratap kesedihan.
Memang, di taman itu, ada bebungaan dan nisan-nisan keramik yang indah. Hanya saja, semua keindahan itu adalah semu. Seperti kata sastrawan kawakan kita, Sitor Situmorang, ini adalah deskripsi bulan di atas kuburan. Betapa tidak, jauh di balik nisan keramik itu, ada mayat-mayat busuk dengan hantu-hantunya.
Harus ditegaskan, saya tak sedang bermain-main dengan mengasosiasikan sekolah dengan taman makam. Kisah perundungan seperti dituliskan di awal tulisan ini hanyalah contoh yang sangat kecil. Bukankah di luar sana, kekerasan demi kekerasan, bahkan kekasaran, masih tetap bergelimang?
Melihat itu, di mana sekolah selama ini? Ya, di mata kita sudah tertanam dalam-dalam bahwa sekolah adalah penjaga budi. Pertanyaannya, jika sekolah adalah penjaga budi, apakah semestinya perundungan ini kekal dari tahun ke tahun?
Supaya lebih sahih, baik saya kutipkan beberapa hasil studi ke hadapan Tuan dan Puan betapa sekolah itu menjadi ruang yang sangat mengerikan. Tujuan dari data ini saya suguhkan bukan untuk menakut-nakuti. Sebab, sesungguhnya, sekolah itu sendiri sudah menjadi lumbung dari ketakutan itu sendiri.
Simaklah hasil studi Endang Turmudi (2017). peneliti senior dari LIPI. Di sana disebutkan sebuah fakta yang benar-benar sangat gawat dan menakutkan. Pertama, ada 21 persen siswa menyatakan Pancasila sudah tak relevan lagi sebagai dasar negara. Kedua, 84,8 persen setuju agar Pancasila ditukar. Ketiga, jauh lebih gawat, 52,3 persen siswa sepakat dengan kekerasan atas nama solidaritas agama. Ini tak mengherankan sebab guru kita, sebagaimana dianalisis Endang Turmudi, ternyata 76,2 persen sepakat menukar Pancasila.
Jadi, wajar jika kemudian siswa menirunya secara melimpah sehingga sebanyak 84,8 persen ingin menukar Pancasila. Bukankah nenek moyang kita sudah mengingatkan bahwa jika guru kencing berdiri, maka siswa kencing berlari? Bukankah tidak ada yang lebih cepat menular daripada teladan perbuatan-buruk akan beranak pinak menjadi perbuatan buruk (Francois de La Rochhefoucauld)?
Saya pikir, di titik ini semuanya sudah sangat benderang. Karena itu, pertanyaan judul di atas harus ditukar menjadi: ada apa dengan guru-guru kita, juga orangtua kita, sehingga anak-anak kita menjadi peternak kebencian?
Pertanyaan untuk Kita
Ini ditanyakan karena anak hanyalah miniatur orangtua. Anak hanya suka meniru apa yang dilakukan oleh orangtuanya. Sudah kita lihat lamat-lamat bahwa sedemikian banyak orangtua menghujat Ahok secara masif dan bergelombang. Maka, sangat “wajar” jika kemudian anak membaca bahwa seseorang yang mirip Ahok pun harus dihujat juga. Maksud saya (maaf kalau ini keras), adanya kekerasan selama ini terjadi tak lain tak bukan adalah justru karena guru di sekolah tidak pernah melakukan teladan yang becus. Guru terkesan menjadi peternak kebencian. Guru menjadi penyiram api-api kemarahan.
Akibatnya, seperti kata Sir Ken Robinson, sekolah menjadi muasal dari krisis sumber daya manusia. Apa yang dituturkan Robinson bukan pepesan kosong. Francis Wahono (2003) juga sudah mengingatkan bahwa selama ini kekerasan justru lebih sering terjadi pada unsur utama pendidikan, yakni pelaku pendidikan.
Simaklah data dari Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW). Di sana disebutkan bahwa 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah (2015). Apakah Tuan dan Puan masih tak sadar bahwa data-data ini sudah sangat mengerikan?
Mengerikan sekali, malah. Sebab, kekerasan, jika tak ditangani dengan baik, niscaya akan semakin subur. Kekerasan itu sangat gampang menular. David Farrington menyebut bahwa korban kekerasan di masa depan akan melakukan kekerasan pula. Bahkan, kekerasan bisa menjadi semacam kesenangan.
Seperti kata Jon Bloch (2013), para pelaku kekerasan benar-benar menikmati bagaimana menyakiti orang lain. Mereka menikmati kekuasaan dan membuat orang lain menderita. Kekerasan menjadi bahan permainan.
Di akhir tulisan ini, saya hanya mau mengatakan, apakah Tuan dan Puan belum juga melihat bahwa sekolah kita saat ini menjadi tempat yang garang, ganas, dan sadis? Adakah seseorang yang bisa membebaskan anak-anak kita dari kekerasan ini? Atau, apakah kita harus kembali menyalahkan anak dengan bertanya: ada apa dengan anak-anak kita, padahal kita sendiri tak kunjung bertanya pada diri sendiri, ada apa dengan kita?
Saya ingin agar kita mau dengan sadar mengganti judul tulisan di atas menjadi pertanyaan untuk kita, bukan untuk anak!
Kolom terkait:
Terbahak-bahak karena Bully alias Perundungan
Awkarin dan ‘Penyakit’ Media Sosial