Ketika reformasi 1998 menandai berakhirnya rezim Orde Baru, banyak yang mengira dan berharap, semua jendela represi telah pecah dan seisi rumah menjadi terang benderang oleh sinar fajar kebebasan.
Saat hal itu terjadi, saya tidak merasakan euforianya, karena saya masih terlampau muda–baru menginjak usia 3 tahun. Sampai lebih dari 19 tahun setelahnya, saya masih tidak merasakan euforia itu. Ya… karena rumah kita masih gelap.
Selama beberapa bulan belakangan, saya berkesempatan memperbincangkan mengenai hal ini–kegelapan. Kebebasan beribadah, kebebasan berkumpul dan berpendapat, bahkan kebebasan untuk mandi air panas bersama ikut dirampas, baik oleh sipil maupun otoritas.
22 Mei 2017, sekelompok Gay digrebek warga dan aparat ketika sedang berkumpul di dalam ruko pribadi. Di dalam ruang Anda yang paling personal, termasuk ruang chatting WhatsApp–seperti dalam kasus Rizieq Shihab dan Firza Husein–Negara dan masyarakat dapat mengobrak-abrik kebebasan Anda.
4 Juni 2017, pemerintah kota secara kembali menyegel masjid milik jemaat Ahmadiyah dengan alasan klise, “masalah perizinan”. Masjid tersebut terhitung sudah enam kali dibuka dan disegel lagi. Proses penyegelan selalu dibarengi kedatangan massa yang mengaku berasal dari Ormas Islam–you know who.
Belum lagi masjid milik Ahmadiyah di daerah lain banyak yang bernasib lebih buruk. Bukan disegel, tetapi dibakar dan dirusak oleh sekelompok orang yang juga mengaku sebagai anggota Ormas Islam itu. Alasan mereka, “meresahkan warga”.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana mereka bisa memuja dan memuliakan suatu masjid sementara memandang hina masjid yang lain, apalagi sampai menganggapnya berbahaya. Sampai di sini, posisi Negara kalau tidak diam ya ikut mencederai hak orang.
Dalam urusan kebebasan berpendapat, Negara menyediakan dua senjata ampuh bagi mereka yang tidak tahan dengan keragaman ide; (1) UU ITE dan (2) UU Penodaan Agama. Tentu Anda masih ingat kasus yang menimpa Muhadkly Acho, seorang stand up comedian yang dilaporkan pihak pengelola Apartemen Green Pramuka karena menulis kritik di blog pribadinya.
Beruntung kasus tersebut akhirnya tidak jadi dilanjutkan dan dihentikan secara damai. Karena memang menjadi konyol sekali jika kita bisa dipidana untuk menyampaikan kebenaran. Tetapi, senjata itu masih ada dan korban terus berjatuhan.
Pada akhir Agustus 2017, giliran Ravio Patra yang dilaporkan oleh seorang motivator dengan tuduhan pencemaran nama baik–tuduhan yang juga dijatuhkan pada Acho. Ravio menulis sebuah status Facebook yang berisi verifikasi atas klaim prestasi maupun penghargaan yang selama ini disampaikan sang motivator kepada publik.
Di awal bulan September, senjata yang sama dipakai Repdem PDIP untuk menyerang Dandhy Dwi Laksono setelah semata-mata menyampaikan fakta sejarah yang mungkin kurang mengenakkan bagi sebagian orang.
Kegelapan demi kegelapan terus memenuhi rumah kita. Sabtu, 16 September 2017, Kapolsek Menteng beserta puluhan aparat kepolisian memblokade diskusi Sejarah 65 di LBH Jakarta. Peserta seminar ditahan di luar, tidak boleh masuk. Aparat meminta diskusi dibatalkan.
Aksi pemberangusan hak sipil oleh otoritas ini diiringi suara nyaring massa Aliansi Masyarakat Pancasila Antikomunis yang sedang berorasi mengenai berbagai hal yang jaka sembung makan ikan gembung… gak nyambung, Mblung!
Lilin. Dari waktu ke waktu, malam ke malam, kita mencoba menyalakan lilin. Satu, dua, berharap semakin besar pendar cahayanya. Mungkin suatu hari nanti, cukup memenuhi seisi rumah. Apabila jendela represi tak kunjung pecah.
Minggu petang, di LBH Jakarta sedang berlangsung kegiatan kesenian ASIK ASIK AKSI yang berisi penampilan musik, pembacaan puisi, stand up comedy, dan lain sebagainya. Tidak sedikitpun membahas 65, PKI, apalagi komunisme. Murni kegiatan seni. Meskipun motif diadakannya memang terkait langsung dengan tragedi blokade acara diskusi oleh polisi yang terjadi semalam sebelumnya.
Tiba-tiba, massa berdatangan. Awalnya, hanya berjumlah sekitar 50 orang. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Tetapi, jumlahnya terus bertambah. 100, 200, 300, 500 orang bahkan lebih. Mereka memadati area kantor LBH Jakarta-YLBHI.
Lama-kelamaan, mereka mulai menggedor-gedor pagar, sambil teriak “bunuh!” dan “bakar!”. Mereka juga berteriak, “Bubarkan PKI!”. Di berbagai grup WhatsApp dan linimasa media sosial, beredar kabar bahwa di LBH sedang berlangsung pembentukan PKI. Ya, acara seni itu diberitakan sebagai acara pembentukan (ulang) PARTAI KOMUNIS INDONESIA.
Massa sebanyak itu. Berteriak-teriak, menggedor pagar, melempari gedung dengan batu. Berjam-jam. Di tengah malam hingga dini hari. Satu-satunya hal yang terlintas di kepala saya, “Siapa yang bayar? Berapa dan untuk apa?”
Semalam suntuk teman-teman aktivis terjebak di YLBHI. Paginya, tidak satupun dari mereka mengatakan akan mundur. Tidak sedikitpun terucap bahwa mereka akan menyerah pada kegelapan.
Banyak jendela pecah. Jendela masjid Ahmadiyah, jendela rumah orang Syiah, jendela gedung lembaga pejuang HAM, jendela ruang-ruang diskusi publik, jendela kamar pribadi dan tempat permandian air hangat. Sama sekali bukan seperti yang kita harapkan.
Sampai di titik ini, masa dimana jendela represi semakin tebal kacanya, saya melihat orang-orang yang sama masih memegang lilin itu. Mereka masih menjaganya menyala. Apapun yang terjadi, hanya membuat mereka lebih kuat dari sebelumnya.
Dan saya berharap, seterusnya tetap begini, sampai jendela itu pecah.