Gara-gara Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 tahun 2017 tentang Hari Sekolah, terjadi huru-hara politik nasional. Kebijakan yang kemudian populer dengan FDS (Full Day School atau Five Days School) ini memang sudah kontroversial sejak awal sebelum menjadi Permen.
Nahdlatul Ulama (NU) menggelar demonstrasi untuk menolak FDS yang melibatkan seluruh warga Nahdliyyin di beberapa daerah, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)–yang notabene partainya kaum Nahdliyyin mengancam akan mencabut dukungan pada Presiden Jokowi jika FDS tidak dibatalkan. Tagar #JihadTolakFDS pun menjadi trending topic dalam beberapa hari.
Satu hal yang menggembirakan kita, di balik huru-hara ini, terdapat kemauan kuat untuk menghindari perseteruan antara Muhammadiyah dan NU. Sangat berbahaya jika dua kekuatan umat ini berbenturan baik di alam maya (media sosial) maupun alam nyata (di arena politik elite maupun akar rumput).
Bahwa Muhammadiyah mendukung FDS dan NU menolaknya adalah hal yang perlu didialogkan, setidaknya untuk membangun saling pengertian jika tidak bisa disamakan. Dalam banyak hal, NU dan Muhammadiyah memang seringkali berbeda, dan itu biasa saja, bahkan sangat baik untuk memperkaya khazanah keislaman kita.
Meskipun dalam Permendikbud dijelaskan tidak akan menghilangkan fungsi Madrasah Diniyah, bahkan akan memperkuatnya, tetap saja tidak lantas membuat penyelenggara Madrasah Diniyah menjadi lega. Mengapa demikian? Ini tidak bisa dilepaskan dari politik pendidikan kita.
Sejak periode dini saat republik ini berdiri, sistem pendidikan kita berada di bawah dua rezim, Kementerian Pendidikan (dengan nomenklatur yang berubah-ubah), dan Kementerian Agama. Padahal, dalam praktik, antara pendidikan “umum” dan “agama” tidak bisa didikotomikan. Dalam perguruan tinggi, terutama yang dikelola lembaga-lembaga Islam, misalnya, terdapat sejumlah fakultas yang secara struktural harus menginduk pada kementerian yang berbeda, padahal masih dalam wadah universitas yang sama.
Sengkarut tentang kebijakan FDS, menurut saya, tidak lepas dari dikotomi sistem pendidikan ini. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya, banyak pihak yang mengusulkan agar terjadi dialog konstruktif antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama. Dalam kebijakan dikotomis, sinergi mutlak diperlukan. Sinergi tidak mungkin bisa dibangun tanpa dialog yang konstruktif.
Mengapa FDS dianggap mematikan Madrasah Diniyah? Mungkin karena belum adanya kesepakatan antara Menteri Pendidikan dan Menteri Agama. Bahkan penjelasan Presiden Jokowi bahwa tidak ada keharusan sekolah menerapkan FDS belum bisa meredam huru-hara karena kabarnya masih banyak pihak yang menganggap FDS wajib diterapkan.
Apalagi NU, sebagaimana ditunjukkan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Sirodj, sudah bersikap apriori. “Saya menolak, diajak diskusi oleh Mbak Puan tidak. Gak ada diskusi, gak ada kompromi, gak ada dialog, gak ada seminar,” tegas Kiai Said dalam 164 Channel yang viral dan sudah diputar/ditonton ratusan kali.
Saya menduga, sekali lagi menduga, mungkin karena sikap NU itulah, PKB mengambil langkah taktis dengan mengancam Jokowi, akan menarik dukungan jika FDS tidak dibatalkan.
Di tengah anggapan publik mengenai kinerja menteri-menterinya yang kurang perform dalam mengelola kementeriannya sehingga mencuatkan beragam isu tak sedap, PKB tampak ingin memanfaatkan isu FDS sebagai alat bargaining politik. Alamak…., ini yang amat disayangkan banyak kalangan. Tak heran jika tagar #StopPolitisasiSekolah8Jam pun sempat berada di puncak trending topic, sebelum kemudian disalip tagar #JihadTolakFDS
PKB memang sangat berkepentingan dengan suara kaum Nahdliyyin yang menolak tegas FDS. Tapi menjadikannya sebagai alat politik untuk mengancam Jokowi merupakan langkah yang kurang etis. Aktivis NU yang berada di partai lain selain PKB menganggap ancaman itu terlalu berlebihan atau lebay dalam bahasa yang lebih populer.
Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan bahwa PPP juga keberatan dengan FDS, namun bagi PPP terlalu jauh kalau untuk menyelesaikan soal kebijakan lima hari sekolah ini harus dengan mengancam pencapresan Jokowi di Pemilihan Presiden 2019.
Setiap persoalan pasti ada jalan keluarnya. Republik ini punya sejarah panjang dalam menyelesaikan konflik secara elegan. Misalnya, bisa belajar pada para pendiri bangsa dalam menyikapi pihak-pihak yang menolak “Piagam Jakarta” yang sebelumnya telah menjadi kesepakatan bersama.
Menolak FDS atau menerimanya hanyalah soal pilihan. Pasti ada ruang kompromi di antara keduanya. Apalagi jika kebijakan FDS hanyalah opsi, bukan harga mati. Bersikap apriori, apalagi dengan menebar ancaman, yakinlah bukan jalan keluar yang tepat. Wallahu a’lam!