Film kerap mengandung pesan politis, atau bahkan memiliki pendirian politik tertentu. Meskipun terkesan aneh, kombinasi ini telah bertahan lama dan masih berhasil menarik perhatian. Dan Hidden Figures adalah salah satu contoh film politis yang mengangkat isu yang sedang hangat: rasisme dan diskriminasi etnis dan gender.
Kita tentu telah akrab dengan berita seputar meningkatnya tindak rasisme serta diskriminasi etnis di Amerika Serikat selama beberapa bulan terahir, berkat hadirnya sosok Presiden Amerika ke-45 yang menormalkan rasisme, seksisme, bahkan xenophobia.
Hal yang tak jauh berbeda tengah terjadi di Indonesia berkat Pilkada DKI Jakarta. Suasana kampanye yang sarat isu ras dan agama ini sesungguhnya telah membuka jalan bagi orang-orang bersuara sumbang untuk berteriak lebih kencang dan menghantui negara ini dengan kefanatikan yang tidak pada tempatnya.
Film Inspiratif yang Menyenangkan, Meski Tidak Proporsional
Hidden Figures bercerita tentang perjuangan tiga perempuan keturunan Afrika-Amerika yang bekerja di divisi West Area Computers milik NASA. Katherine Goble Johnson (Taraji P. Henson) adalah seorang jenius matematika yang harus menghadapi diskriminasi setiap hari karena ditempatkan sebagai “computer” dan satu-satunya keturunan Afrika-Amerika di Space Task Group NASA yang dipimpin oleh Al Harrison (Kevin Costner).
Mary Jackson (Janelle Monae) harus berjuang melawan batasan hukum agar dapat memenuhi cita-citanya untuk menjadi salah satu insinyur perempuan pertama. Sementara Dorothy Vaughan (Octavia Spencer) harus menghadapi rasisme inheren yang menghalangi perkembangan kariernya.
Ketiganya sama-sama menghadapi rintangan diskriminasi dan segregasi, serta menginspirasi dengan caranya masing-masing. Sayangnya, Theodore Melfi dan Allison Schroeder tidak mampu membagi porsi cerita dengan baik.
Hidden Figures menempatkan Katherine sebagai sosok utama bukan hanya karena hasil pemikirannya berperan penting dalam kesuksesan peluncuran serta re-entry astronot John Glenn, namun juga karena ceritanya paling potensial untuk didramatisasi. Diskriminasi yang dirasakan Katherina terasa paling jelas karena seluruh rekan kerjanya berkulit putih dan hampir semuanya laki-laki.
Kisah Katherine dalam menghadapi prasangka dan perilaku meremehkan dari para rekan kerjanya adalah penggambaran tepat dari apa yang dihadapi para perempuan berkulit hitam pada masa itu. Sebuah kisah yang sayangnya sudah terlalu familiar.
Padahal, Hidden Figures bisa lebih jauh membahas usaha Mary untuk mengajukan banding hukum dan jatuh bangunnya saat menjadi satu-satunya keturunan Afrika-Amerika di kampusnya, hingga ia akhirnya sukses menjadi insinyur perempuan berkulit hitam pertama di NASA. Bagian yang paling disayangkan adalah kelalaian film ini dalam mengeksplorasi kisah Dorothy, yang sesungguhnya paling menakjubkan.
Ia belajar bahasa pemrograman secara otodidak, lalu mengajarkannya pada seluruh anggota West Computing Area. Diskriminasi yang dihadapi Dorothy jauh lebih halus dan tidak terasa, namun sama mematikannya. Tapi ia berhasil mengatasi itu, bahkan memberdayakan perempuan-perempuan di sekitarnya.
Di luar kekurangan dalam hal pembagian porsi cerita, Hidden Figures adalah film politis yang tetap berhasil memberikan pengalaman sinematis yang menyenangkan. Film ini menyampaikan cerita inspiratif dan pesan penting mengenai perjuangan untuk memperoleh kesetaraan, tanpa perlu berteriak terlalu keras mengenai isu sosial politis yang dibicarakan.
Tanpa emosi berlebih atau eksploitasi kesedihan, Hidden Figures berhasil menyampaikan sikap penuh semangat yang menghangatkan. Pesan yang positif dan penuh harapan mengenai perjuangan untuk memperoleh kesetaraan, tanpa memperhatikan ras dan gender penerimanya.
Memperjuangkan Kesetaraan, Melawan Diam
Tak hanya hangat dan inspiratif, Hidden Figures juga menyadarkan bahwa sesungguhnya kita masih menghadapi hal yang sama sejak puluhan tahun yang lalu.
Tentu Anda dapat dengan mudah menemukan banyak literatur dan laporan mengenai diskriminasi terhadap keturunan Afrika-Amerika di Amerika Serikat, apalagi terhadap perempuan. Namun, perlu diingat bahwa diskriminasi juga menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Indonesia, terutama diskriminasi etnis, gender, dan agama.
Hanya saja, masyarakat cenderung terbutakan dan tidak menganggapnya sebagai masalah karena “sudah begitu seharusnya” (dianggap familiar, normal, dan wajar). Ada pula yang mati-matian mempertahankannya dengan dasar norma serta agama.
Diskriminasi sesungguhnya kerap kita dengar dan alami di kehidupan sehari-hari. Mulai dari stereotip negatif terhadap etnis dan suku tertentu yang tertanam dalam otak dan kerap dijadikan bahan lelucon. Pun dengan seksisme yang mendarah daging, mulai dari pandangan mengenai kodrat perempuan dan stigma negatif terhadap perempuan yang belum atau tidak menikah, hingga pelecehan seksual dan sistem hukum serta tekanan sosial yang menyudutkan korban.
Dan tentu saja diskriminasi agama yang belakangan ini semakin marak. Tak sebatas menganggap tak ada kaum yang menganut kepercayaan yang berbeda, namun juga membubarkan acara keagamaan dan menyerang tempat ibadah agama minoritas.
Sebagaimana yang ditampilkan oleh karakter-karakter di film ini, bukan tidak mungkin kita sendiri yang tanpa sadar melakukan dan melanggengkan diskriminasi. Mungkin kita enggan melawan peraturan yang merugikan kita dan memilih untuk diam karena tak ingin terlibat masalah.
Bisa jadi kita abai terhadap perlakuan tidak adil yang dialami orang-orang di sekitar kita. Atau bisa jadi kita adalah sosok Vivian Mitchell yang berpikir bahwa kita tak pernah mendiskriminasi orang lain, namun sebenarnya mempersulit mereka dan tak berusaha untuk membantu mereka, dengan kedok peraturan serta norma. Yang perlu kita ingat, diskriminasi sesungguhnya diajarkan melalui keseharian.
Seperti dijelaskan oleh Albert Bandura melalui teori pembelajaran sosial, kita mengadopsi perilaku diskriminatif melalui proses pembelajaran observatif. Proses pembelajaran itulah yang membuat pemikiran tersebut tertanam dalam kepala kita dan mempengaruhi perilaku kita sehari-hari.
Namun, itu artinya diskriminasi adalah perilaku yang bisa diubah jika kita mau belajar ulang. Dengan pikiran dan sikap yang terbuka untuk mempertanyakan nilai yang selama ini kita miliki, kita dapat mengubah pemahaman dan melawan diskriminasi, dimulai dari perilaku kita setiap hari.
Ada sebuah dialog dalam film ini yang sungguh membuat saya termenung: “Terpisah dan setara adalah dua hal yang berbeda. Hanya karena itu cara yang dianut sekarang, bukan berarti cara itu benar, apa kau paham?” Dialog itu tak hanya merangkum nyawa dari film ini, namun juga mengirimkan pesan yang sangat kuat.
Pesan yang mempertanyakan cara kita berpikir dan berperilaku selama ini. Seperti idiom “the road to hell is paved with good intentions”, terkadang justru kepatuhan dan ketidakpedulian kita yang membiarkan ketidakadilan terus terjadi. Keengganan kita untuk menentang, mengajukan keberatan, atau bahkan sekadar mempertanyakan dan membicarakan status quo lah yang membiarkan rasisme serta diskriminasi tetap merajalela sebagai norma.
Sudah saatnya kita mengubah hal itu. Sudah saatnya kita tidak hanya berteriak menuntut perombakan sistem, tapi juga mengubah sudut pandang diskriminatif yang melekat dalam diri kita. Sungguh-sungguh mengaplikasikan nilai-nilai kesetaraan dalam kehidupan sehari-hari dan mengubah pemikiran orang-orang melalui apa yang kita lakukan, bukan hanya apa yang kita katakan.