Minggu, November 24, 2024

Garuda, Rolls Royce, dan Korupsi Emirsyah Satar

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
- Advertisement -
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (duduk kiri) dan Ibu Negara, Ani Yudhoyono (duduk tengah) didampingi Dirut Garuda Indonesia, Emirsyah Satar (kanan) mencoba sejumlah fasilitas yang dimiliki pesawat baru Garuda Indonesia jenis Airbus A330-200 di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (23/7/2009). Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara suap yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pengadaan mesin Rolls-Royce untuk pesawat Airbus milik Garuda Indonesia, dengan nilai suap itu lebih dari Rp 20 miliar. FOTO ANTARA/Widodo S. Jusuf/pd/17.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani Yudhoyono didampingi Dirut Garuda Indonesia Emirsyah Satar (kanan) mencoba sejumlah fasilitas di pesawat baru Garuda Indonesia jenis Airbus A330-200 di Bandara Soekarno-Hatta, Kamis (23/7/2009). Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara suap senilai Rp 20 miliar yang ditangani KPK terkait pengadaan mesin Rolls-Royce untuk pesawat Airbus milik Garuda.FOTO ANTARA/Widodo S. Jusuf/pd/17.

Belakangan ini nama Emirsyah Satar menjadi populer kembali. Tapi bukan karena prestasinya saat memimpin PT Garuda Indonesia (Persero), tetapi justru karena masalah hukum yang menderanya. Ia ditersangkakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atas dugaan menerima suap pembelian mesin pesawat Rolls Royce dari Inggris pada periode 2005-2014. Itu berarti ia melakukan tindakan tidak etis itu saat masih menjadi Direktur Utama PT Garuda Indonesia.

Tak tanggung-tanggung, Emirsyah menerima suap sekitar Rp 47 miliar dari Owner Connaught International, Soetikno Soedarjo. Selain itu, kasus ini sudah menyangkut suap transnasional yang melibatkan perusahaan asing, yakni Rolls Royce, korporasi di Inggris yang memproduksi mesin mobil dan pesawat terbang.

Atas perbuatannya Emirsyah disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. Sedangkan Soetikno dituduh melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang tentang tindak pidana korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 KUHP.

Tegasnya, oleh KPK, Emirsyah diposisikan sebagai penyelenggara negara yang menerima suap secara bersama-sama dalam konteks penyertaan (deelneming) dan perbuatan berlanjut (voortgezette handeling). Demikian pula Soetikno yang menempati posisi sebagai penyuap penyelenggara negara.

Pintu Masuk
Kegigihan KPK membongkar skandal suap yang melibatkan Emirsyah mesti diapresiasi. Sebab, kasus tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak. Ini juga menjadi peringatan dini kepada seluruh pimpinan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), agar tak mudah mengkhianati kepercayaan rakyat demi korupsi. Saya sendiri masih meyakini bahwa kasus suap Emirsyah adalah sebuah fenomena gunung es dan hanya potongan kecil saja dari banyaknya korupsi di tubuh Garuda Indonesia atau BUMN lain.

Karenanya, KPK seharusnya tidak hanya berhenti pada kasus Emir semata, tetapi juga mampu menjangkau kasus-kasus korupsi di BUMN yang lain. Intinya, suap Emir seharusnya menjadi pintu masuk bagi KPK untuk membongkar praktik culas para mafioso di Garuda Indonesia dan seluruh BUMN. Sebab, sudah menjadi rahasia umum, ada kongkalingkong yang sangat rapi bagi pimpinan BUMN dalam upaya mencuri uang negara, mendagangkan pengaruh (trading in influence) dan itu dilakukan secara sistematis. Untuk mengendusnya tentu tidak mudah, dibutuhkan lembaga sekaliber KPK.

Selain skandal suap dari Rolls Royce, KPK juga mencatat bahwa Emirsyah ditengarai terlibat dalam beberapa kasus lain di Garuda Indonesia. Pertama, pengalihan penjualan tiket domestik dari biro perjalanan ke satu bank pada 2001. Kedua, penyimpangan dana restrukturisasi kredit Garuda Indonesia pada 2001 senilai Rp 270 miliar.

Ketiga, indikasi penyimpangan biaya promosi dan periklanan yang nilainya mencapai ratusan miliar rupiah. Keempat, penyimpangan pengelolaan infrastruktur teknologi informatika pada 2005. Kelima, penjualan aset perusahaan ketika kantor Garuda Indonesia dipindahkan dari Jalan Merdeka Selatan ke Cengkareng pada 2007.

Dari kasus Emirsyah tersebut, seharusnya menjadi momentum bagi pemerintahan Joko Widodo agar secara serius membenahi korupsi di BUMN. Teramat dibutuhkan langkah-langkah konkrit pemerintah untuk menyehatkan BUMN kita. Artinya, mesti ada upaya sungguh-sungguh dari Kementerian BUMN sebagai leading sektor untuk melakukan perbaikan atau reformasi struktural di BUMN. Sebab, bila tidak dilakukan, tentu BUMN kita hanya akan menjadi tempat para pembajak (baca: mafia) fungsi negara.

Dilema KPK
Hakikatnya BUMN adalah sebuah korporasi atau badan hukum. Namun demikian, ia berbeda dengan korporasi swasta. BUMN sering kita sebut sebagai korporasi plat merah. Sebab, di dalamnya terdapat penyertaan modal dari negara. Secara tegas mengenai hal ini dapat dijumpai dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagain besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

- Advertisement -

Jadi, jelas bahwa dalam tubuh BUMN terselip adanya keuangan negara. Ihwal status keuangan negara di BUMN sebetulnya sudah sangat jelas. Melalui putusan Mahkamah Konstitusi No. 48/PUU-XI/2013 dan Putusan No. 77/PUU-XI/2011 disebutkan bahwa meskipun kekayaan negara yang dipisahkan tetapi hakikatnya tetaplah keuangan negara.
Keuangan negara inilah yang menjadi dilema bagi KPK jika ingin memberangus korupsi di BUMN. Sebab, bila terjadi korupsi di tubuh BUMN, itu berarti yang sedang dikorupsi adalah uang negara (state money).

Karena itu, bila korporasinya dipidana, misalnya pidana denda atau pembayaran uang pengganti, pada akhirnya uang negara dalam tubuh BUMN juga yang digunakan untuk melaksanakan sanksi pidana. Intinya, negara membayar pada negara. Negara yang dirugikan tetapi anehnya negara juga yang memberi ganti rugi. Dengan demikian, negara tetap mengalami kerugian.

Atas dasar itulah di Eropa, seperti Belanda, pemberantasan korupsi di sektor badan usaha lebih difokuskan pada korporasi swasta bukan pada BUMN. Namun, berbeda halnya dengan kasus Emirsyah. Kasus ini jelas-jelas hanya memberi keuntungan kepada Emirsyah, Garuda Indonesia justru sebagai korban (crimes against corporation).

Untuk itu, penting dipikirkan agar pemberantasan korupsi di BUMN lebih difokuskan pada personil-personil pengendali (directing mind and will) korporasi. Orang-orang yang diamanatkan mengendalikan BUMN. Merekalah yang mesti bertanggung jawab atas tindak korupsi itu. Pendeknya, jika terjadi korupsi dalam BUMN, maka seharusnya yang diproses adalah pengurusnya. Lain halnya dengan korporasi swasta, selain pengurus, korporasi juga dapat dipidana.

Bagaimana bila tindakan pengurus justru menguntungkan BUMN? Hal ini telah diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a PERMA No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Pidana oleh Korporasi. Bahwa korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana jika korporasi memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana dilakukan untuk kepentingan korporasi.

Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 20 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi, bahwa dalam hal tindak pidana korupsi dilkukan oleh atau atas nama korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi atau pengurusnya.

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.