Khaled Abou Fadl melalui karyanya The Great Theft; Wrestling Islam from the Extremist (“Selamatkan Islam dari Muslim Puritan” [Serambi, 2006]) hendak menyampaikan peringatan keras kepada publik bahwa keberadaan kaum puritan memang patut diwaspadai. Sebab, gerak ideologi mereka yang beririsan kuat dengan aliran radikal ekstrem seperti Khawarij selalu menampakkan wajah garangnya ketika berhadapan dengan siapa pun yang corak keberagamaannya dianggap tidak sesuai dengan ciri berpikir dan cara pandangnya.
Kehadirannya di dunia ini seolah ingin menakdirkan dirinya sebagai kelompok yang tugasnya memerangi setiap pemikiran yang dianggap menyesatkan, mengkafirkan setiap ajaran yang bertolak belakang dengan keyakinannya, bahkan membunuh setiap orang yang berani berseberangan dan melawan dirinya.
Di berbagai negara, kaum puritan menciptakan jaringan ortodoksi dengan berbagai pihak untuk menancapkan relasi kuasa yang kuat agar keberadaannya memiliki posisi tawar di hadapan umum. Terutama di beberapa negara berkembang yang sedang mengalami transisi demokrasi maupun meneguhkan iklim demokrasi.
Melalui iklim demokrasi yang secara asasional memberikan kebebasan kepada siapa pun untuk mengekspresikan aspirasinya, kaum puritan akan bebas mengkanalisasi gerak-geriknya dan berani menembus berbagai ruang-ruang pertahanan kultural yang selama ini tengah dirawat oleh punggawa kebhinekaan dan toleransi.
Bahkan beberapa hasil penelitian melansir hasil temuan yang cukup memilukan bahwa secara diam-diam kaum puritan dimanfaatkan oleh para komprador politik yang acap menciptakan intrik-intrik guna memudahkan manuvernya menuju kekuasaan yang ingin diraih. Lalu, ketika sang komprador politik mencapai tujuan, pada gilirannya kaum puritan kian menunjukkan gerakan radikal-ekstremnya secara terang-terangan.
Sesekali waktu keduanya saling bermesraan, namun di saat situasi sosial berada dalam tekanan global maupun tekanan masyarakat yang menghendaki kehidupan yang toleran, keduanya berlagak menjaga jarak untuk sementara waktu.
Kini, di saat para komprador sedang membutuhkan sokongan moral dan gerakan massa yang bisa menjatuhkan pihak lain yang secara politik berseberangan, kaum puritan kembali hadir dengan watak aslinya dengan cara memanfaatkan situasi yang sedang terjadi. Dan, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, misalnya, yang secara kebetulan sedang mengalami keseleo politik dijadikan mereka sebagai pintu masuk yang dianggap paling strategis untuk melancarkan berbagai ambisinya menguasai ruang publik.
Dampaknya, ruang publik yang sejatinya menurut filsuf Jurgen Habermas adalah proses deliberasi gagasa, di mana masing-masing pihak bisa saling menyalurkan dan mempertemukan pikiran-pikiran cerdasnya, di hadapan kaum puritan suasananya berpanca roba sebagai musim kekerasan. Dalam kaitan ini, kekerasan dijadikan instrumen untuk melibas berbagai pihak yang berlawanan,dan menyisipkan bahasa agama sebagai penyedap maupun pemanis corak kekerasannya.
Pada titik ini, ketika kaum puritan memperoleh panggung, berbagai adegan laga pun mewarnai setting pertunjukan dari awal hingga akhir. Sebagai pihak yang menonton aksi mereka, kita dengan serta merta bisa menebak setiap jalan cerita yang diekspresikan oleh kaum puritan. Bahkan tanpa harus menyaksikan keseluruhan pertunjukan, kita bisa menilai ada semacam simulakra pembelaan ketika kaum puritan menyatakan bahwa Ahok telah menista agama yang karenanya harus dihukum.
Ibarat seseorang yang pernah masuk televisi, apakah dia berperan sebagai penceramah, pengamat, komentator, dan pengisi acara lainnya, biasanya kemunculannya akan memperoleh efek cukup signifikan. Setidaknya seseorang yang pernah berceramah di televisi, meskipun sajiannya sangat sederhana dan tanpa perlu merujuk pada kitab-kitab klasik, maka publik pun memanggilnya ustaz dan akan mengundangnya ke berbagai acara pengajian.
Kaum puritan yang baru-baru ini memperoleh panggung melalui serial aksinya juga mendapat ruang gerak terbilang cukup bebas untuk melancarkan ambisinya menentang dan menghadang siapa pun yang dianggap melanggar aturan sesuai dengan keyakinannya. Peristiwa pelarangan umat Kristiani yang akan melakukan acara Kebaktian Kebangunan Rohani di Sasana Budaya Ganesha ITB, Bandung, oleh sekelompok orang yang mengatasnaman dirinya sebagai Pembela Ahlus Sunnah (PAS) [8/12/2016] adalah salah satu efek panggung yang tengah berlangsung.
Di Yogyakarta, sikap intoleransi oleh Forum Umat Islam (FUI) yang meminta kepada Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) untuk menurunkan baliho yang memasang foto mahasiswi berjilbab dengan alasan jilbab adalah representasi simbol Islam. Namun, pihak universitas—sebagaimana diberitakan The Jakarta Post (8/12/2016)—menolak permohonan FUI.
Dalam konteks ini, sikap dan pandangan UKDW yang sangat akademis patut diapresiasi dan perlu didukung oleh berbagai elemen yang peduli dengan toleransi. Apalagi, Yogyakarta pernah disematkan sebagai “The City of Tolerance” dan seharusnya semua elemen di Yogyakarta merawat iklim toleransi ini dengan baik.
Beberapa kasus pelarangan peribadatan dan permohonan penurunan baliho seolah-olah menjadi labirin tragis yang semakin menegaskan bahwa sejak dulu hingga kini kaum puritan berada dalam jaringan ortodoksi yang berjalin-kelindan antara satu dengan yang lain. Walaupun corak aksinya berbeda-beda, modelnya ada kemiripan. Apalagi niat yang diresenonansikan adalah untuk memurnikan ajaran agama. Dan, sepertinya, pola ini akan terus berlanjut tanpa peduli bahwa negara ini adalah Indonesia yang dilandasi oleh semangat kebhinekaan.
Ruang gerak kaum puritan yang kerap mengusung wacana ortodoksi untuk melakukan intimidasi terhadap yang liyan tentu tak bisa dibiarkan. Wacana heterodoksi dan juga aksi yang diusung oleh kelompok-kelompok moderat untuk mengimbangi ruang gerak mereka amat dibutuhkan. Hal ini penting dilakukan agar negara ini berada dalam situasi yang damai dan toleran.
Apa yang dilakukan Deva Alvina, mahasiswi UKDW dan Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM, melalui tulisan sederhana namun penuh perlawanan terhadap FUI, merepresentasikan gerakan heterodoksi yang mencoba meretas panggung puritanisme. Keberaniannya melawan despotisme seseorang yang memaksakan kehendak akan memantik apresiasi dari berbagai kalangan. Deva adalah seorang perempuan yang tengah mewakafkan dirinya sebagai pembela kemanusiaan.
Dalam suratnya, Deva bercerita tentang perjuangannya bersama UKDW mengadvokasi masyarakat bawah yang mengalami penderitaan sosial. Bahkan Deva menunjukkan perasaan jujurnya bahwa bersama UKDW dia melihat keindahan Islam. Dalam hal ini, kita perlu belajar banyak kepada Deva tentang bagaimana caranya meretas panggung puritanisme yang hingga kini masih bercokol di bumi Nusantara ini.
Di samping itu, yang tak kalah penting untuk diapresiasi juga ketika Wali Kota Bandung Ridwan Kamil mengeluarkan pernyataan yang sangat melegakan kita. Sembilan poin yang dilansir dalam pernyataan bersama yang melibatkan elemen-elemen penting di Bandung merepresentasikan sebuah keterlibatan secara empatik (empathic enggagement) terhadap pluralitas keberagamaan yang sama-sama hak asasi untuk mengekspresikan sistem keyakinannya (system of beliefe).
Pendeknya, figur seperti Deva Alvina dan Ridwan Kamil bisa menginspirasi banyak pihak yang dengan kegigihannya meyakinkan kepada semua pihak bahwa hanya dengan menghargai perbedaan sebuah agama akan terasa damai. Dan bila perbedaan tidak bisa dirawat dengan baik, secara simultan Naga Bonar pun akan berteriak “apa kata dunia”. Wallahu a’lam bish shawab.