Tentu saya harus menghargai Ardi Wirdamulia yang menghentikan ocehannya di linimasa Twitter dan memilih untuk menulis artikel untuk menanggapi tulisan saya yang berjudul “Polemik Pidato AHY: Terlalu Militer Kurang Sipil, Terlalu SBY Kurang AHY.” Bagaimanapun tradisi polemik melalui tulisan panjang jauh kebih sehat daripada berpolemik di linimasa dengan kalimat pendek-pendek yang berpotensi besar mendapatkan penafsiran yang keliru.
Baik, langsung saja, tudingan Ardi bahwa saya melakukan agitasi melalui arikel itu sebenarnya hanya mempertegas kekhawatirannya mengenai kelemahan yang terkandung dalam pidato AHY berjudul “Muda adalah kekuatan.” Kata “Agitasi” sebenarnya lebih cocok diperuntukkan pada Pidato AHY yang menurut Ardi “diliput” TVOne itu. Ardi terlalu naif dengan kata ‘diliput’ karena yang benar adalah AHY membayar mahal agar pidatonya bisa disiarkan LIVE di televisi yang merupakan saluran publik.
Kenaifan Ardi berikut adalah tudingan bahwa saya memiliki motif politik. Terus terang saya tertawa dengan tudingan itu. Ardi rupanya kurang ‘pelan-pelan’ kali ini, kalaupun saya punya motif politik, saya melakukannya dengan cara dan kritik yang benar. Lagi pula apakah Ardi berharap sebuah pidato politik berbayar disaluran publik, harus direspons dengan komentar fesyen, koreografi, musik atau analis psikologis? Ardi rupanya sangat naif sebagai pendukung AHY, sehingga terlupa bersikap kritis dan obyektif.
Jelas dan terang, AHY tidak menyebutkan kepeloporan sebagai bagian penting dari “Muda adalah Kekuatan.” Pidato AHY hanya menyebutkan tiga hal, itu juga tertulis jelas di layar latar LED dan prompter yang dibaca AHY saat berpidato. Artinya, walaupun kemudian AHY bicara banyak hal yang mirip-mirip dengan makna ‘kepeloporan’, jelas dirinya tidak menempatkan kepeloporan sebagai poros kekuatan anak muda. Ini merupakan hal pertama yang harus diakui dan diterima sebagai fakta oleh Ardi yang kali ini terburu-buru.
Kepeloporan jelas bukan hal yang remeh, bahkan kepeloporan bisa saja mengabaikan soal fisik, mental, dan intelektualitas. Karena kepoloporan, walaupun bagi Ardi merupakan bagian anekdotal, jelas membutuhkan nyali dan keberanian. Bukan hanya nyali dan keberanian ala militer, tapi nyali keberanian sipil yang menolak tunduk pada keadaan. Kepeloporan selalu dekat dengan kata kebaruan, kepeloporan adalah kata kedua setelah penciptaan. Ini yang tidak ada di pidato AHY. Berbeda dari kemudaan yang dipraktekkan Sukarno, Tan Malaka, Sjahrir dll—yang jelas tidak menyerah pada todongan senjata, jeruji penjara, pengasingan politik, apalagi keinginan orang tua. Ini bukan zaman Siti Nurbaya, Ardi!
Maka, kritik saya yang utama terhadap pidato itu jelas: Tidak ada sesuatu yang baru, tidak ada kepeloporan, tidak berani, tidak menyala, karenanya dia gagal sebagai sebuah pidato politik. AHY tidak sedang menunjukkan intelektualitasnya, dia seakan hanya dipaksa berjalan di atas catwalk dan berharap beberapa persen elektabilitas datang kemudian dari fans seperti Ardi Wirdamulia yang terkagum-kagum kepadanya; bukan karena susbtansi pidatonya, melainkan pada kemasan. Dalam hal ini, Mario Teguh mungkin akan lebih berhasil.
Apakah itu motif politik? Bisa ya bisa tidak. Tapi yang pasti itu kritik mendasar, saya rasa sebagai anak muda yang punya kekuatan fisik, mental, dan intelektual, AHY akan menerimanya dengan baik. Tidak ada fitnah di sana, tidak ada hasutan di sana. Karena itu, saya tidak sedang melakukan agitasi. Saya melakukan hak konstitusional saya sebagai publik pengguna informasi, yang salurannya sedang digunakan oleh AHY untuk berpidato. Jadi, Ardi Wirdamulia, pelan-pelan saja.