Setidaknya saya tiga kali satu forum dengan AHY. Di Kementerian Pertahanan di Jakarta, di ITB dan Universitas Parahyangan Bandung, terakhir di Berlin, Jerman. Waktu itu AHY masih di dinas kemililiteran, sebelum mendapat pangkat Mayor.
Kesan pertama saya, kagum dan simpatik. Sebagai anak Presiden, dia tidak manja, punya kharisma, juga tidak angkuh. Tata bahasanya teratur, fokus dan sangat menguasai teori-teori yang terkait dengan pertahanan dan militer. Kalaupun AHY meloncat dari Mayor menjadi Kolonel, orang seperti saya tidak akan menolak, personel militer sepertinya memang sayang jika berlama-lama di medan tempur, lebih cocok ditempatkan di markas komando.
Namun itu di dunia militer, tidak demikian di dunia politik. Dunia yang lebih kompleks dari sekedar bertahan, mengintai, dan menyerang. Di medan tempur orang hanya mati sekali, di politik orang bisa mati berkali-kali, setelah mati pun pikirannya masih bisa menghantui pihak lawan dan memengaruhi kawan satu barisan.
Dalam pidatonya berjudul “Muda adalah Kekuatan”, AHY menyampaikan bahwa kekuatan utama anak muda terletak pada tiga poros: fisik, mentalitas, dan intelektual. Tata panggung yang megah, tayangan ekslklusif oleh salah satu stasiun televisi nasional, serta isi pidato yang sangat normatif adalah percobaan politik yang gagal dan tidak akan memberikan efek elektabilitas apa pun kepada AHY apalagi Partai Demokrat.
Membedah satu per satu konsep dalam pidato AHY, baiknya saya menceritakan kisah beberapa tokoh muda bangsa Indonesia—sebagai pebandingan. Tentang konsep fisik, ketika menyusun buku MADILOG, di usia muda, Tan Malaka sudah mengidap berbagai penyakit, yang paling parah asalah TBC. Namun pena, pikiran, dan gerakannya termasuk salah satu yang paling ditakuti oleh Kolonial Belanda saat itu.
Kisah lain adalah dari Sukarno. Sebelum membacakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Bung Karno dalam serangan malaria yang parah. Dia dibantu bangkit dari tempat tidur untuk membacakan naskah Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Sehingga kekuatan dan kesehatan fisik bukanlah menjadi persoalan utama anak muda untuk berbuat sesuatu.
Setelah fisik mari kita bahas konsep berikutnya. Definisi mentalitas yang dimaksud AHY adalah mentalitas yang menuntut penghormatan dan pengabdian absolut kepada orang tua. Itu tidak salah, tetapi perlu diingat: jika Kartini muda tidak melawan semua tradisi yang membelenggu kemerdekaan dirinya sebagai perempuan, mungkin hari ini tidak akan kita baca buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang menginspirasi perjuangan perempuan Indonesia untuk keluar dari keterbelakangan.
Intelektual bagi AHY adalah penguasaan ilmu pengetahuan yang terjebak dalam tradisi formal lembaga pendidikan. Perlu AHY sadari bahwa intelektual tidaklah semata diukur dari gelar yang bederet di depan atau di belakang nama. Intelektualitas adalah senjata utama melawan keadaan yang sekilas terlihat buntu tanpa jalan keluar. Karenanya intelektualitas harus memilki keberpihakan. Semua orang boleh menjadi Doktor bahkan Profesor, tapi semua itu tidak akan ada artinya jika tidak disertai keberpihakan pada sesuatu.
Posisi berdiri dan keberpihakan ini jauh lebih berharga di tangan orang yang tanpa gelar, tapi pengetahuannya memberi manfaat rakyat banyak. Ini yang disebut Gramsci sebagai intelektual organik; bahwa teori terbaik adalah teori yang bisa dipraktekkan, bukan dihafalkan; pengetahuan terbaik adalah pengetahuan yang lahir dari rahim dialektika masyarakat, bukan dari dinding lembaga pendidikan.
Satu hal penting justru terlewat oleh AHY, bahwa kekuatan utama anak muda justru terletak pada “kepeloporan.” Sebuah tindakan menembus kemapanan, kebuntuan dan sumbatan keadaan, sehingga sejarah bisa mengalami loncatan-loncatan tak terduga ke arah yang lebih maju. Kepeloporan butuh keberanian yang kadang tanpa mempertimbangkan resiko kesehatan, mental bahkan nyawa.
Kepeloporan ini yang menggerakkan anak muda Indonesia tahun Oktober 1928 untuk mengadakan Kongres Pemuda di bawah todongan dan ancaman Kolonial Belanda. Kepeloporan dan kejuangan ini yang membuat Jenderal Sudirman bergerilya tanpa memedulikan kesehatan fisiknya. Kepeloporan ini yang membuat anak muda begerak melawan otoritarianisme Order Baru.
Di bidang politik, kepeloporan ini yang membawa anak-anak muda Indonesia mampu mendirikan partai politiknya sendiri di awal masa kemerdekaan Indonesia, termasuk ketika Partai Rakyat Demokratik (PRD) dibentuk pada 1996. Saat itu jangankan mendirikan partai politik, sekadar berdikusi bisa menyebabkan seseorang dijebloskan ke penjara bahkan diculik atau dihilangkan. Di sana fisik, mental, dan inelektual formal dikesampingkan demi sebuah kepeloporan sejarah.
Saya tidak menemukan sedikit pun hal baru dalam pidato AHY. Saya bahkan tidak melihat seorang AHY berdiri di atas panggung. AHY malam itu seakan sedang membawakan sebuah kuliah di hadapan Sesko TNI atau Lemhanas. Itu sama sekali bukan pidato politik. Tidak bertenaga apalagi menginspirasi. Pidato seperti itu adalah khas SBY, pidato tanpa ruang diskusi, apalagi ruang kritik. Pidato itu terlalu SBY kurang AHY.
AHY bisa lebih baik dari itu, jika dia diberi ruang untuk mengekspresikan isi kepalanya. Jika ingin melihat AHY menjadi politisi yang hebat, AHY harus dilepaskan dari tradisi formalistik ala SBY, dia harus diterjunkan ke garis depan politik Indonesia bersama pasukannya sendiri. Pasukan yang dia rekrut, dia pilih, dan dia gerakkan sendiri. Bukan dengan mesin tua peninggalan Bapaknya.
Seandainya malam itu AHY berpidato sebagai seorang militer, saya yakin publik akan angkat topi—bagaimanapun, Indonesia butuh perwira TNI yang mampu menerjemahkan doktrin pertahanan Indonesia dalam konteks pengetahuan dan keadaan dunia yang baru. Namun malam itu AHY adalah seorang politisi.
Saya harus bilang, sebagai sebuah pidato politik, “Muda adalah Kekuatan” telah gagal memberi inspirasi dan menggerakkan kesadaran publik untuk melakukan lompatan sejarah. Terlalu militer, kurang sipil.