Jumat, April 26, 2024

Cak Nur dan Islam ala Nabi Muhammad

Ahmad Gaus AF
Ahmad Gaus AF
Penulis dan editor, dosen bahasa dan budaya Swiss-German University (SGU), Tangerang; berkhidmat di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Depok.

Cak Nur (Nurcholish Madjid) adalah sosok fenomenal, sekaligus juga kontroversial, karena pikiran-pikirannya berbeda dari kebanyakan orang. Ia melawan arus, mengagetkan, dan membuat goncangan yang besar.

Tentu ada juga sosok-sosok lain yang kontroversial, dengan pemikiran yang mengguncangkan. Tapi Cak Nur adalah episentrumnya, atau ‘pusat gempa dengan kekuatan 9,5 skala richter’ sehingga menimbulkan tsunami. Tsunami itulah yang kemudian disebut kontroversi. Sebagian mendukung dan sebagian menentang.

Ada satu masa ketika setiap sarjana muslim atau intelektual Islam merasa kurang afdol menjadi intelektual kalau belum menulis tentang pikiran Cak Nur, apakah itu dalam bentuk buku, artikel, kolom, makalah diskusi, skripsi, tesis, dan disertasi.

Begitu banyaknya orang yang terpengaruh oleh pemikiran Cak Nur, sampai-sampai almarhum Dr. Moeslim Abdurrahman, tokoh Muhammadiyah, mengatakan bahwa: pemikiran-pemikiran keislaman yang muncul dan berkembang sejak tahun 1970-an tidak lain dan tidak bukan adalah catatan kaki terhadap pemikiran Nurcholish Madjid. Baik itu yang mendukung, maupun yang menentang, atau yang berusaha netral.

Hal itu menunjukkan pengaruh yang sangat besar dari pemikiran Cak Nur. Jadi kira-kira dalam hal ini, posisi Cak Nur dalam pembaruan pemikiran Islam, sama dengan posisi Plato dalam filsafat Barat. Seperti dikatakan oleh AN Whitehead, semua filsafat Barat adalah catatan kaki terhadap Plato. Itu karena posisinya yang sentral, yang membangun dan mengarahkan sistem pemikiran filosofis, sehingga berbicara mengenai sejarah filsafat tidak mungkin tanpa membahas terlebih dulu mengenai Plato.

Begitu juga dengan Cak Nur. Bicara mengenai perkembangan pemikiran Islam di Indonesia tanpa menyebut Cak Nur, itu sama dengan bicara musik dangdut tanpa menyebut Rhoma Irama.

 

Mengapa Cak Nur begitu penting?

Setidaknya ada tiga alasan mengapa Cak Nur menempati posisi yang begitu penting dalam diskursus keislaman di Indonesia?

Pertama, masalah otoritas. Cak Nur sangat mumpuni untuk bicara soal-soal keislaman secara menyeluruh karena sejak kecil dia tumbuh di lingkungan itu. Keluarganya adalah santri. Ayahnya seorang kiai, murid Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari Rais Akbar NU. Nurcholish terdidik dalam lingkungan Islam tradisional karena ia belajar di Madrasah Wathaniah dan pesantren Rejoso dimana sejak kecil dia sudah akrab dengan kitab-kitab jurumiah, alfiah, imrithi, aqidatu awwam, dll.

Cak Nur juga terdidik di pesantren modern Gontor Ponorogo. Dia lalu kuliah di IAIN Jakarta dalam jurusan sastra Arab. Penguasaan Bahasa Arabnya tidak diragukan lagi. Jadi dari latar belakang pendidikan dan keluarganya, dasar keagamaan Nurcholish kuat sekali.

Kedua, Cak Nur begitu berpengaruh karena dia memikirkan hal-hal yang tidak dipikirkan, bahkan tidak terpikirkan, oleh orang lain. Dia selalu memecahkan masalah-masalah keumatan secara mendasar. Misalnya, di antara tembok-tembok komunalisme yang menguat di kalangan Islam waktu itu, Cak Nur mengetengahkan Islam ala Nabi Muhammad, yakni sebuah ajaran fitrah, ajaran hanif, yang bersifat terbuka, dan lintas batas.

Argumen Cak Nur adalah kemanusiaan, bahwa manusia diciptakan sama dan setara. Karena itu manusia tidak boleh terpenjara di dalam kotak-kotak yang sempit. Sebab Islam itu rahmatan lil alamin. Kebaikan untuk semua. Maka salah satu kritik Cak Nur yang paling keras ialah terhadap komunalisme, dalam bentuk partai Islam, negara Islam, ideologi Islam, dsb.

Mengapa? Karena di dalam kotak komunalisme semacam itu Islam menjadi sempit. Rahmatnya menjadi terbatas. Kebaikannya terpenjara. Padahal Islam adalah rahmatan lil alamin.

Kita tentu ingat bahwa tahun 70-an itu aspirasi mengenai negara Islam masih sangat kuat. Ini sebetulnya aspirasi yang terus dihidupkan dari tahun 30-an. Bagi Cak Nur ini tidak produktif. Kalau umat Islam terus-menerus memperdebatkan negara Islam mereka akan tertinggal. Tahun ‘30-an, ‘40-an, ‘50-an ada perdebatan mengenai itu, bahkan terjadi di Majelis Konstituante. Dan setiap perdebatan itu selalu menggantung. Tidak pernah selesai. Baru di tangan Cak Nur, perdebatan mengenai negara Islam itu benar-benar tuntas.

Dari Cak Nur-lah kita tahu bahwa apa yang disebut negara Islam, partai Islam, ideologi Islam, itu tidak ada dasarnya dalam Quran maupun Hadis, juga tidak ada legitimasi historisnya, tidak ada di zaman Nabi dan para sahabat. Bahwa pernah ada dua imperium yang sangat besar dalam sejarah Islam, yaitu Abbasiyah dan Ummawiyah, menurut Cak Nur, itu adalah hasil ijtihad dan karena itu keduanya adalah rezim sekular.

Jadi apa yang disebut negara, partai, ideologi, semuanya adalah duniawi, sekular, karena itu tidak perlu diberi predikat kesucian. Harus disekularkan. Supaya tidak campur-baur dengan agama yang suci. Gagasan sekularisasi Cak Nur terkait dengan pandangan ini.

Jadi yang dimaksud sekularisasi oleh Cak Nur ialah tauhid tapi dalam bahasa sosiologi. Tauhid yang benar ialah menduniawikan hal-hal yang memang bersifat duniawi, dan tidak mensakralkannya. Maka negara, partai, ideologi, itu semua adalah sekular. Tidak perlu diberi predikat keagamaan, karena punya konsekuensi merusak tauhid. Dengan cara seperti itu maka Islam menjadi sangat luas. Rahmatnya tidak terkungkung oleh partai Islam, negara Islam, ideologi Islam, dsb.

Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi ini paling banyak diterima, walaupun banyak juga yang menentang karena penggunaan istilah sekularisasi itu. Tapi seandainya Cak Nur waktu itu tidak berbicara mengenai sekularisasi, mungkin sekarang kita sudah menjadi negara Islam, karena dorongan ke arah itu kuat sekali.  Dan umat Islam tidak punya perspektif lain. Umat Islam berpikir bahwa mereka harus mendirikan negara Islam, harus mendukung partai Islam, harus menganut ideologi Islam. Sebab kalau tidak begitu, mereka akan masuk neraka

Cak Nur telah membebaskan umat Islam dari belenggu teologis semacam itu. Umat Islam boleh berkiprah di partai apa saja. Umat Islam tidak perlu mendirikan negara Islam, karena memang tidak ada dasarnya dalam al Quran, hadis, maupun sejarah. Jadi partai Islam dan negara Islam itu bidah.

Secara politis, apa artinya kalau Indonesia menjadi negara Islam? Artinya kita akan terpecah belah sebagai bangsa, sebagian wilayah Indonesia akan hilang karena memisahkan diri. Sisanya wilayah-wilayah yang diduduki oleh kaum muslim, dan itu akan terjadi perang saudara. Karena watak dari negara Islam adalah menghabisi kelompok-kelompok Islam yang berbeda aliran dan pandangan.

Coba bayangkan sekarang, kelompok-kelompok yang suka mengejar-ngejar Syiah, Ahmadiyah, dll, kalau mereka memerintah di negara Islam, maka habislah kelompok minoritas. Jadi untung kita bukan negara Islam.

Ketiga, mengapa Cak Nur begitu berpengaruh, karena dia berani mengangkat perkara-perkara yang tidak diangkat oleh orang lain, oleh ulama lain. Cak Nur adalah pemikir Islam pertama di Indonesia yang berani “membunyikan” ayat-ayat toleransi. Selama ini ayat-ayat toleransi dalam al-Quran ditelantarkan, dianggap tidak ada, atau disembunyikan karena kepentingan-kepentingan tertentu. Padahal banyak sekali ayat-ayat yang berhubungan dengan toleransi agama di dalam al-Quran, tapi orang tahunya cuma satu, yaitu lakum dinukum waliyadin. Mengapa? Karena para mubaligh menyampaikannya hanya itu.

Padahal lakum dinukum itu bukan ayat toleransi. Itu ayat tentang ibadah, atau menyembah hanya kepada Allah. Makanya disebut juga surah al-Ibadah. Kalau Cak Nur berbicara mengenai toleransi maka ayatnya bukan itu, ia mengutip al-Baqarah ayat 62, al-Maidah ayat 65, Ass-Syura ayat 13, dsb.

Karena pada umumnya orang memilih ayat yang kurang cocok, maka setiap kali orang bicara toleransi, justru yang terjadi ialah menutup kemungkinan lahirnya sikap-sikap toleran. Akibatnya adalah lahirnya kesadaran palsu tentang toleransi. Toleransi hanya menjadi asesori, menjadi ajaran pinggiran yang dianggap tidak penting. Cak Nur mengingatkan bahwa toleransi adalah ajaran inti atau pokok dalam Islam.

Kalau tidak penting kenapa dia masuk di dalam ayat-ayat pertama surat al-Baqarah; Walladzina yuminuna bima unzila ilaika wama unzila min qablika. Kita diminta untuk mengimani ajaran-ajaran sebelum Nabi Muhammad. Kalau tidak penting, kenapa ia masuk di dalam rukun iman yang enam. Setelah beriman kepada Allah, beriman kepada Malaikat, kita beriman kepada kepada kitab-kitab Allah SWT, dan para nabi dan rasul. Jadi menurut Cak Nur, toleransi adalah bagian integral dari keimanan itu sendiri.

Islam yang Humanis

Dengan pandangan toleransi semacam itu, maka Islam menjadi agama yang sangat humanis. Biarkan orang beriman sesuai dengan pilihan bebas mereka. Sebab, iman hanya bermakna kalau lahir dari kebebasan, bukan dipaksa.

Bukan wewenang manusia untuk menghukumi mereka sesat, itu urusan Tuhan. Urusan manusia adalah fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan.

Inilah pandangan Islam yang banyak dieksplorasi oleh Cak Nur. Jadi ketika Cak Nur bicara toleransi maka yang ia bicarakan ialah kemungkinan mengembangkan doktrin toleransi itu sejauh yang dimungkinkan oleh al-Quran sehingga menjadi upaya emansipasi. Kata-katanya yang sering dikutip adalah: “Semakin dekat orang Islam pada al-Quran maka ia semakin toleran; semakin jauh dari al-Quran semakin tidak toleran.”

Tulisan ini didedikasikan untuk mengenang almarhum Nurcholish Madjid yang lahir pada tanggal/hari ini (17 Maret).

Ahmad Gaus AF
Ahmad Gaus AF
Penulis dan editor, dosen bahasa dan budaya Swiss-German University (SGU), Tangerang; berkhidmat di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Depok.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.